Waduuuh kok ngeri amat nih.. mosok kita bicara tentang bunuh sih?! Mosok kita bicara tentang bunuh bunuhan?! Ngeri serem takuut. Bunuh itu bisa sebagai istilah. Bisa sebagai perintah. Kegiatannya disebut membunuh. Bentuk pasifnya adalah dibunuh. Pelakunya disebut pembunuh. Memang, BUNUH terkesan mengerikan. Namun, kali ini kita akan menelisik kata tersebut. Bukankah: Music is Beyond The Words. Jadi mestinya musik memang mampu menguak dan menyeruak apapun. Tentu, termasuk BUNUH ini. Kita akan menelisik BUNUH dalam ranah musik untuk kemudian mengambil pelajaran. Siapa tahu bisa menjadikan hidup anda bertambah stress dan pusing serta tak happy.
5 Desember 1791. Si Genius Wolfgang Amadeus Mozart, meninggal. Kematiannya menimbulkan banyak spekulasi. Salah satu yang paling ramai adalah bahwa Mozart dibunuh. Siapa pembunuhnya? Kenapa pemusik, komposer jenius seperti dia dibunuh? Berbagai rumor beredar. Diantaranya adalah bahwa Mozart dibunuh oleh Salieri. Akibat persaingan “dagangan” komposisi. Tapi hal ini sangat tidak logis. Karena pada jaman Mozart pun, dagangan komposisi musik bukanlah sebuah profesi yang menjanjikan dan membuat seseorang menjadi tajir. Mungkin status sosial. Komposer dan pemusik yang luar biasa bisa sangat dekat dengan kekuasaan. Tapi, Mozart sejatinya tidak begitu suka dengan aristokrasi bau-bau penguasa. Mozart lebih khusyuk berasyik masyuk dengan kebebasan dan keeksentrikannya. Kematian Mozart memang misterius. Semisterius kejeniusannya. Ia meninggalkan beberapa karya yang belum selesai. Termasuk Fantasia dalam D minor. Karya ini kemudian diselesaikan dengan hasil rekayasa untuk keperluan publikasi oleh August Eberhard Müller.
Dari abad Romantik, kita melompat ke era yang agak kekinian. Adalah Trumpetis Jazz legendaris Chet Baker. Rumor bahwa legenda Jazz Chet Baker dibunuh dimulai tak lama setelah kematiannya. Pembuat film Bruce Weber, saat itu, masih dalam pasca produksi film dokumenter Chet Baker “Lets' Get Lost” ketika dia mendapat kabar bahwa pemain terompet jazz itu jatuh hingga tewas dari jendela hotel di Amsterdam. "...melompat untuk bunuh diri bukanlah gaya Chet," kata Weber kepada Los Angeles Times pada tahun 1988, tujuh bulan setelah kematian Baker. "Dia selalu mendapat masalah dengan pengedar narkoba. Dia menelepon saya satu setengah bulan sebelum kematiannya dan berkata, 'Sesuatu mungkin terjadi. Pengedar kokain ini mengejar saya.' Jika pengedar narkoba mengincar Chet Baker, ini bukan pertama kalinya.
Menurut John Wooley dalam "What Happened, Man," Chet Baker pernah diserang pada tahun 1966 oleh banyak penyerang di luar klub Jazz San Francisco. "Apa pun motivasinya," tulis Wooley, "Baker telah kehilangan banyak gigi." Wooley menduga itu ada hubungannya dengan narkoba. Chet Baker: His Life and Music karya Jeroen De Valk menegaskan hal ini, menggambarkan lima preman yang dikirim oleh pengedar narkoba untuk mengalahkan Chet. Born to Be Blue, yang dibintangi oleh Ethan Hawke sebagai Baker, menceritakan pemukulan yang sama, dan bagaimana kerusakan tersebut membuat Chet, yang kehilangan banyak giginya, harus berhenti dan keluar dari ranah permainan Jazz.
Dari peristiwa Chet Baker, kita dapat mengambil hikmah pada beberapa hal. Yang pertama, narkoba merupakan momok monster bagi pemusik. Beban perfectionist yang berat, “tekanan” popularitas dari para penggemar, merupakan hal–hal yang bagi sebagian pribadi tak bisa ditanggulangi dengan berdoa dan melakukan pendekatan religius. Tentu hal semacam ini sangat berbahaya. Dan seperti Chet Baker, dapat menjadikan seseorang dibunuh. Selain itu, pergaulan yang “sehat” juga mestinya diperjuangkan. Chet Baker dibuat cacat terlebih dahulu. Gigi-giginya habis rontok dipukuli. Tentu, gigi adalah organ vital bagi pemain Trumpet. Ya bisa saja dibuatkan Prothesa Gigi yang implan misalnya. Namun tetap saja eksplorasinya akan sangat berbeda dengan gigi yang asli. Chet Baker membayar mahal semua penderitaan yang dialaminya. Predikat Legenda Jazz ia torehkan dalam sejarah Jazz dengan berdarah-darah dan tentu dengan nyawanya.
Masih di seputar ranah musik Jazz. Penggemar Jazz tentu kenal teknik permainan Bass listrik dalam musik Jazz yang dikenal sebagai SLAP BASS DAN FUNKY THUMB. Yang mana, Bass listrik tidak dipetik dan dibetot melainkan di slap atau ditampar. Dengan menggunakan ibu jari dan jari lainnya membetot dengan keras. Bunyi yang dihasilkannya sangat unik dan teknik ini merupakan andalan para pemain Bass listrik Jazz sampai detik ini. Teknik tersebut ditemukan dan didemokan oleh seorang Jaco Pastorius.
Sepanjang karirnya, Jaco Pastorius banyak bermain bersama legenda Jazz. Gitaris Pat Metheny, Pianist dan Keyboardist Herbie Hancock. Sayang ia mati pada usia 35 tahun. Dan tentu ia TERBUNUH meski bukan dibunuh. Kisahnya, setelah menyelesaikan satu sesi musik, Jaco pergi ke Club untuk relax. Entah bagaimana ujung pangkalnya, ia terlibat keributan di Bar Club tersebut. Security Club yang adalah seorang yang menguasai ilmu bela diri, kebablasan menghajar Jaco. Jaco sempat dilarikan ke Rumah sakit, namun cedera di kepalanya akibat pukulan si Security, merenggut jiwanya. Si security pun dihukum. Dari apa yang dialami seorang Jaco Pastorius, kita bisa mengambil hikmah bahwa, hati-hati jika anda melakukan sesi relaksasi. Cermat-cermatlah memilih lingkungan relaksasi dan hati-hati terhadap perilaku dan cara bicara anda.
Selanjutnya kita akan menelisik musisi yang di bunuh. Yakni Tupac Shakur. Tupac adalah Rapper, yang membawakan musik gaya berceloteh tentang keberadaan orang Negro di USA. Tupac Shakur meninggal pada 13 September 1996, enam hari setelah seorang pria bersenjata dengan Cadillac putih menembaknya empat kali di dada di lampu lalu lintas di Las Vegas. Investigasi Los Angeles Times yang diterbitkan pada tahun 2002 menetapkan bahwa saksi yang tidak kooperatif dan sedikit pencarian petunjuk terkait geng, mengakibatkan kasus pembunuhan ini tidak terselesaikan.
Bagian pertama dari investigasi yang dibaca secara luas ini, yang ditulis oleh jurnalis pemenang Hadiah Pulitzer Chuck Philips, memberikan analisis mendalam tentang identitas pembunuh Shakur. Philips memberikan bukti bahwa Southside Crips, sebuah geng dari Compton, California, yang melakukan pembunuhan tersebut. Shakur memang memiliki ikatan dengan Mob Piru Bloods, sebuah geng jalanan yang sering bertarung dengan Crips memperebutkan wilayah dan penghinaan pribadi. Terjadi satu kesalahan kecil yang mengakibatkan Shakur dan pengawal Bloods-nya memukuli anggota Crips Orlando Anderson di lobi tempat pertarungan tinju Mike Tyson. Peristiwa ini, menurut Philips, mendorong Anderson untuk mendatangi sesama anggota gengnya dan menuntut pembalasan, yang kemudian mereka sepakati untuk ditindaklanjuti.
Lebih lanjut, Philips mengemukakan bahwa saingan Shakur dan rapper New York Notorious B.I.G., yang bernama resmi Christopher Wallace, menyediakan senjata untuk membunuh Tupac dan sebelumnya menawarkan untuk membayar Crips jika mereka berhasil membunuh Shakur. Perseteruannya dengan rapper tersebut telah meningkat sedemikian rupa sehingga Wallace menawarkan untuk membayar Crips $1 juta untuk pembunuhan tersebut. Artikel Philips menyatakan bahwa Anderson menggunakan pistol Glock kaliber 40 milik Wallace untuk melakukan serangan tersebut. Baik Anderson maupun Wallace terbunuh dalam waktu dua tahun setelah kematian Shakur.
Pelaporan Philips didasarkan pada wawancara dengan serangkaian informan yang setuju untuk mengungkapkan pengetahuan mereka tentang kasus tersebut dengan imbalan anonimitas. Meskipun dipuji karena penyajiannya yang terperinci dan struktur logisnya, investigasi Philips di Los Angeles Times dikritik karena mengandalkan sumber yang tidak disebutkan namanya, terutama mereka yang melibatkan dua orang yang telah meninggal dan tuduhannya belum dibuktikan kebenarannya.
Dari kasus Tupac Shakur ini, kita bisa mengambil beberapa hikmah. Bahwa dalam musik industri dan industri musik, persaingan usaha bisa sampai pada taraf BUNUH. Dalam industri musik, seringkali melibatkan beberapa pihak “yang kurang ramah” karena industri musik memang merupakan satu bisnis yang ranahnya menyebar pada beberapa ruang. Di negara seperti USA, premanisme sudah dalam bentuk terorganisir. Mereka tak lagi hanya mengandalkan persaudaraan melainkan mengikat satu komitmen yang terstruktural dalam sebuah GANG yang seringkali bersifat kriminal dan segan untuk melafalkan tindakan BUNUH.
BUNUH selanjutnya adalah apa yang dialami oleh musisi legendaris JOHN LENNON. THE BEATLES. Bresler, seorang pengacara Inggris, percaya bahwa Mark Chapman, pembunuh John Lennon, bukanlah orang yang 'gila' tetapi diprogram oleh CIA, melalui obat-obatan dan hipnosis, untuk melakukan pembunuhan tersebut. N.Y.C. letnan polisi yang menginterogasi Chapman pada malam pembunuhan tahun 1980 dikutip di sini mengatakan: ``Dia tampak seolah-olah dia telah diprogram.'' Bresler membangun kasus yang sepenuhnya tidak langsung dan tanpa sedikit pun bukti kuat, tetapi dia mengangkat beberapa pertanyaan menarik. Mengapa, misalnya, Chapman, yang pada tahun 1975 adalah seorang warga Selatan berusia 19 tahun, religius, dan antikomunis, memilih Rusia sebagai tujuan pilihannya dalam program pertukaran YMCA, dan malah berakhir di Beirut? Bresler berpendapat bahwa Chapman direkrut oleh CIA sebagai seorang pembunuh dan terus ``menahan'' sampai CIA menemukan targetnya: Lennon, yang digambarkan di sini sebagai magnet bagi perjuangan sayap kiri. Dia berpendapat bahwa Chapman menghabiskan tiga ``hari yang hilang'' di Chicago sebelum tiba di New York untuk memotret bintang rock tersebut. Seperti yang dilaporkan Bresler , Lennon diawasi oleh FBI dan CIA, tetapi hal itu tidak membuktikan apa pun.
Pembunuhan John Lennon ini tergolong jalinan kisah yang sangat rumit. Pembahasannya malahan sudah diterbitkan dalam sebuah buku. Beberapa pertanyaan masih tersisa hingga kini untuk dijawab secara komprehensif. Apa urusannya dengan CIA? Sebegitu kuatkah pengaruh Lennon terhadap pergerakan kaum pemuja sayap kiri komunis? Lalu siapa Chapman sebetulnya. Ada apa dia melanglang buana sampai ke Rusia dan terdampar di Beirut. Kemudian, apakah entitas kesenian, dalam hal ini adalah musik pop, memiliki daya hipnose massal yang begitu luarbiasa. Apakah fenomena ini juga yang mendasari lahir dan maraknya musik protes sosial sebagaimana juga terjadi di tanah air tercinta.
Kisah selanjutnya adalah tentang Sam Cooke. Komposer dan Penyanyi Soul yang merupakan seorang legenda. Hits nya yang abadi adalah CUPID. Cupid dirilis pada tahun 1961 dan merupakan permohonan kepada dewa cinta Romawi, Cupid, untuk membantu Sam menemukan cinta sejatinya. Lagu ini dianggap sebagai salah satu lagu khas Cooke dan salah satu lagu cinta paling populer sepanjang masa. Dan telah di-cover oleh banyak artis, seperti Johnny Nash, Tony Orlando dan Dawn, The Spinners, dan Amy Winehouse. Lagu tersebut terinspirasi oleh seorang gadis yang pernah dilihat oleh produser Cooke di acara TV Perry Como, tetapi mereka memutuskan untuk menyimpan lagu tersebut untuk Cooke sendiri setelah mendengarnya bernyanyi.
Cooke diduga menjadi sangat marah ketika dia melihat ceweknya, bernama Boyer dan pakaiannya sendiri yang hilang. Dibutakan oleh kemarahan dan alkohol, dia membungkus dirinya dengan mantel olahraga – satu-satunya pakaian yang tersisa – dan berhadapan dengan manajer motel, Bertha Franklin, 55 tahun, yang diyakini Cooke sedang melindungi Boyer. Franklin mengklaim pertemuan itu berubah menjadi kekerasan, dengan Cooke mendobrak pintu dan mencekiknya. "Dia meraih kedua lengan saya dan mulai memelintirnya," Franklin bersaksi, "dan bertanya kepada saya, 'Di mana gadis itu?' Saya mulai menendang. Saya mencoba menggigitnya melalui jaket. Saya berkelahi, menggigit, mencakar, semuanya." Franklin mengambil pistol 22 miliknya dan melepaskan tiga tembakan. Dua tembakan meleset, namun tembakan lainnya menembus jantung dan paru-paru Cooke. Cooke tersentak, "Nyonya, Anda menembak saya!" sebelum jatuh mati.
No comments:
Post a Comment
Note: only a member of this blog may post a comment.