Saturday, 27 May 2023

SAAT - by: Michael Gunadi | Staccato, June 2023

“SAAT”
By: Michael Gunadi
Staccato, June 2023


Seorang guru gitar sedang gundah gulana, bingung lintang pukang. Dia bingung memainkan karya BACH PRELUDE dari Lute Suite BWV 998. Yang membuatnya bingung adalah bahwa di score nya sama sekali tak ada petunjuk seberapa cepat Prelude tersebut dimainkan. Karena dia produk jaman sekarang, mulailah ia mencari jawaban kegundahannya pada GOOGLE. Eeeee gak ketemu. Dia kemudian mencari contoh para Maestro. Dibukalah YOUTUBE. Di YouTube dia lihat permainan John Christopher William, Julian Bream, Andres Segovia, Juara-juara Kompetisi Gitar Dunia, semua memainkan Prelude Bach BWV 998 dengan sangat lambat.




Giranglah hatinya. Kemudian, secara tak sengaja, ia melihat permainan Paul Galbraith. Terkejutlah ia. Galbraith main Prelude tersebut dengan tempo sangat cepat. Kembali bingung. Ini mana yang bener yach?! Bertanyalah ia kesana kemari. Eeee ketemunya maestro jadi-jadian. Bukannya tambah paham malahan jawaban sok tahu dan belagu yang ia dapatkan. Kembali ia merenungi kegundahannya sambil pergi ke warung sembako untuk ngutang rokok kretek.



Ada pula seorang guru Piano yang bernasib sama. Ia bingung akan Prelude In C Major WTK Buku 1. Seberapa cepat ini. Dia lihat Barenboim, Andras Schiff, Ashkenazy, semua main dengan tempo yang berbeda beda. Waduhhh. Pusing. Beda dengan guru gitar tadi, si guru piano gak ngutang kretek tapi buru buru makan mie pangsit. 


 

Apa yang dialami oleh dua “kawan kita” tadi sebetulnya bertalian dengan apa yang dikenal sebagai TEMPO. Tempo dalam musik sebetulnya bukan hanya soal seberapa cepat sebuah karya dimainkan. Sejatinya Tempo bicara tentang SAAT. Saat lah yang merupakan penentu esensi musik itu sendiri. Khusus karya jaman Baroque, semisal karya Bach, Tempo menjadi perbincangan yang klasik dan tak pernah ada selesainya. Sebab Musababnya adalah: bahwa rentang waktu nya antara Bach dan kita sudah terlalu jauh. Kita hanya membaca dari tulisan turun temurun para musikolog yang tentu sangat subyektif. Tidak pernah ada rekaman bach atau siapapun di jaman Baroque. Kita juga merujuk pada pendapat para musikolog yang professor masa kini, yang tentu, dengan segala hormat, akan banyak pula unsur subyektifitasnya.

 

Di periode Classical, keadannya bukanlah semakin mudah. Tetap banyak keruwetan dan multi tafsir seputar tempo ini. Ambil contoh saja dunia gitar klasik. Ada beberapa komposer yang hidup sejaman. Fernando Sor, Mauro Giuliani, Dionisio Aguado, Luigi Legnani dan kolega koleganya. Di zaman mereka, gitar baru saja dinobatkan sebagai sebuah instrumen yang diakui sebagai CONCERT INSTRUMENT, setelah sebelumnya, gitar mengelana dan hina dina hanya sebagai pengiring. Bentuk gitar pun berubah. Double string pada gitar menjadi sirna dan digantikan oleh 6 dawai seperti yang kita kenal sampai saat ini. Lalu... apa arti fenomena ini? Bahwa saat itu gitar benar benar merupakan sebuah instrumen yang “baru”. Itulah sebabnya tiap tiap komposer di zaman Sor, Aguado, Giuliani, Legnani memiliki “sekolah” Gitar tersendiri sesuai dengan teknik yang dikuasainya.



Hal yang menarik adalah, bahwa di era tersebut, komposer juga adalah performer. Zaman itu, konser diisi oleh komposer yang memainkan karya nya sendiri. Tak hanya di gitar, piano juga mengalami hal ini. Jarang, bahkan langka karya seorang komposer dimainkan oleh orang lain, kecuali dalam keadaan yang teramat sangat istimiwiiiir. Apa artinya? Bahwa musik di zamannya Sor dan kawan-kawan memiliki konsep “Their Own tempo”. Tempo yang berlaku khusus untuk si Komposer itu sendiri. 

 

Dari paparan panjang tersebut, konsekuansinya menjadi begini: Sebuah Score adalah naskah. Naskah ini harus ditempatkan dalam kesekitaran atau KONTEKS. Nah, Konteks inilah yang tentu saja berubah seiring perubahan masa. Jadi, konteks kita hari ini, tentu beda dengan konteks atau kesekitaran zaman Sor, Chopin. Konsekuensinya adalah: Menjadi satu hal yang rumit untuk bisa mengatakan satu Tempo yang benar benar pas bagi karya musik di jaman itu.

 

Kerumitan tersebut sebetulnya juga sekaligus menjadi tantangan bagi para pemusik di masa kini. Untuk bisa menafsir Tempo. Sebagai sebuah konsep, Tempo TIDAK HANYA tentang seberapa cepat sebuah karya dimainkan. Seperti sudah disebut di bagian awal, Tempo adalah tentang SAAT. Dalam musik, Tempo itu sendiri terdiri dari 3 elemen, yaitu: The WordThe Meters & The figuratives.

 

The Words adalah deskripsi Tempo dengan menggunakan kata-kata. Kita semua tentu tahu bahwa segepok istilah Tempo. Lazimnya dalam bahasa Italia, Inggris, Perancis dan Jerman. Misalnya: allegro berarti cepat. Yang lebih cepat lagi ada allegro assaipresto dan sebagainya. Andante dimaknai sebagai kecepatan sebagaimana orang normal berjalan. Lalu timbul kontroversi. Yakni dengan istilah andantino. Di abad 19, andantino dimaknai sebagai lebih cepat dari andante. Tetapi Mozart dan Rossini memiliki pemahaman yang berbeda di seputar istilah andantino ini.

 

The Meters menunjuk pada skala kecepatan. Lazimnya ditunjukkan dengan angka angka skala dalam satu alat bikinan Maezel yang disebut Metronome. Meskipun ada skala angka angka, jangan pernah lupa bahwa musik mengenal konsep TACTUS dari jaman Renaissance.Tactus ini bukan sekedar relatifitas bahwa oh ini lebih lambat dari itu. Bukan Cuma itu. Tactus membawa konsekuensi pula pada Marka dan Matra Birama. 2/4,3/4,4/4 dalam konsep Tactus memiliki konsekuensi mana yang lebih cepat dibanding lainnya.

 

The Figuratives. Mari kita lihat contoh yang bagus sekali dari moonlight Sonata karya Beethoven.



Cara kita memainkan dotted note yang disertai triplet, sangat menentukan kesan tempo dari lagu yang bersangkutan.

 

Sampai disini, konklusi yang bisa kita tarik adalah bahwa tempo memang tak semata tentang kecepatan semata. Melainkan tentang saat. Dan tempo bisa bersifat sangat relatif dan subyektif. Ada baiknya jika kita mensitir perkataan Louis Spohr seorang Pebiolin legendaris tentang Style. Kok style pak?? Ya. style. Karena tempo adalah penggambaran SAAT dalam style atau gaya permainan seseorang.



Style is the way in which the singer or player executes The music notated by The composer. If He aor She gives faithfully what is written in notes, signs, and words of art, this is called the correct style; if the plater adds ideas, and if they are capable of intelectually animating The subject in such a way that the listener may discover and participate in the composers intentions, this is called a beautiful style, in which correction,sentiment and elegance are united

 

Dari perkataan Louis Spohr tersebut, intinya adalah, penampil diperbolehkan mengambil keputusan untuk dua macam gaya. GAYA PAKEM, yang mana persis plek score nya dan GAYA INDAH dimana ada ide-ide si penampil yang bisa membuat pendengar malahan lebih menghayati karya si Komposer. Dan ini termasuk PEMILIHAN DAN PENGOLAHAN TEMPO dalam artian penerapan SAAT yang wuihhh pas.



Carl Czerny, seorang pianis, guru piano, author dari aneka teknik canggih dalam bermain piano yang sangat terkenal pada jamannya juga memberikan komentar begini


Almost in every line there are some notes or passages, where a small and often quite imperceptible relaxation or acceleration of The movement is necessary, to embellish expression and raise The interest of The listener.

 

Czerny seakan akan membuka satu kenyataan bahwa di setiap frase atau kalimat musik, dia menyebutnya dengan Passages, selalu dan harus ada “tarik ulur” kesesaatan (bukan kesesatan lho ya) supaya pendengar lebih merasa joss jreng cling.

 

No comments:

Post a Comment

Note: only a member of this blog may post a comment.