Friday, 1 July 2022

Menggelitiki Musik (Kritik Musik) - by: Michael Gunadi | Staccato, July 2022

MENGGELITIKI MUSIK
By: Michael Gunadi
Staccato, July 2022


KRITIK MUSIK

Sebagai seni yang dihadirkan pada khalayaknya, tentu, musik, tak elok jika berdiri dan sibuk dengan dirinya sendiri. Kehadiran musik dan keberadaan musik, membutuhkan respon dan impuls. Respon yang bukan saja berupa apresiasi ataupun kesaksian katarsis penikmatan alunan musik sebagai materi auditif, melainkan juga sanggahan, penolakan atau bahkan mungkin kutukan terhadap musik itu sendiri. Tanpa itu semua, musik menjadi sebuah entitas seni hanya mengalun tak tentu rimbanya dan tak tentu rima nya.

 

Untuk itu, dan oleh karena itulah, musik membutuhkan KRITIK. Sebuah kegiatan yang diberi batasan sebagaikecaman atau tanggapan, atau kupasan kadang-kadang disertai uraian dan pertimbangan baik buruk terhadap suatu hasil karya, pendapat, dan sebagainya. Dalam ranah musik, kritik sudah menjadi seni. 

 

Seni yang usianya setua musik itu sendiri. Kritik musik sudah ada dan hadir, sejak zaman supremasi akal dalam tatanan peradaban Yunani kuno. Plato, seorang filsuf jaman Yunani kuno, memiliki quotes yang bunyinya begini: “Music gives soul to the universe and wings to the mind”. Sepintas, quotes Plato tersebut terkesan sebagai sebuah pernyataan. Namun jika kita cermati, sebetulnya Plato melemparkan sebuah kritik. Kritik terhadap musik. Yang diwujudkan dalam bentuk “pernyataan bersyarat” - conditional sentence, bahwa musik itu “harus” bisa membawa jiwa ke semesta dan memberi sayap bagi pikiran. Dengan kata lain, musik yang “tak seperti itu” belum bisa disebut sebagai musik.



Kritik musik, sebagai entitas seni, dalam esensinya adalah satu kegiatan untuk menggelitiki musik. Musik digelitiki, hingga tergelitik, tergeli-geli, sampai secara tak langsung musik membuka dan mengupas dirinya sampai benar-benar tak lagi tertutup dan tersaput. Mengkritik musik adalah menggelitiki musik. Bukan menyerang musik. Bukan membully pemusik. Bukan mengolok-olok dan mencemooh. 

 

Kenyataannya, kritik musik malahan kerap kali diceloteh bahkan dimaki sebagai: Nyinyir, sok tahu, belagu alias berlagak melagu, kurang kerjaan dan bahkan acapkali dituding dengan: “ahhh bisanya hanya kritik.... coba dia suruh main musik”. Dalam ranah ini, nyata bahwa kritik musik membutuhkan BUDAYA. Budaya yang dibangun dan terbangun bukan atas dasar suka atau tidak suka. Melainkan budaya cerdas yang dibangun dan terbangun dari: Ide, konsep, logika, postulat, dan bahkan pemahaman dan sikap yang juga harus mutlak berbudaya. Tanpa itu semua, kritik musik hanya akan menjadi sumbu penyulut “perang” yang tak berkesudahan. Jadi kritik musik adalah menggelitiki musik dalam ranah estetisnya.



THE ATTENTIVE LISTENER

Henry Huskell, seorang penulis hebat, menyunting satu buku berjudul: THE ATTENTIVE LISTENER. Terbit perdana 1995. Buku ini merupakan suntingan terhadap aneka kritik musik selama tiga abad. Judulnya sangat menarik dan sama menggelitiknya dengan kritik musik itu sendiri. The Attentive Listener. Pendengar yang teramat sangat memperhatikan. Dari judul ini, nampak tersirat makna, bahwa, setidaknya bagi seorang HenryHuskell, kritik musik adalah perwujudan dari kegiatan memperhatikan musik secara sungguh-sungguh, intens dan cermat. 

 

Judul itu seakan menjadi postulat sebagai pijakan langkah dalam kritik musik. Dalam buku tersebut, disunting beberapa kritik musik yang sebagian terbesar akan membuat kita tercengang dan tercekat. Bahwa kritik musik memang selama tiga abad sudah menjadi kegiatan menggelitiki musik yang bisa membuat musik tergeli-geli, komposernya termehek-mehek atau bahkan pendengarnya menjadi salah tingkah. Namun, semua itu tetap dalam ranah budaya. Bukan brutalisme intelektual.

 

Menempatkan kritik musik dalam ranah dan perspektif budaya, sebetulnya sangat penting, khususnya dalam keadaan kemajuan teknologi seperti sekarang ini. Dulu, zaman kuno, para filsuf Yunani, yang memberi kepada kita kata “criticism”, memiliki pengertian akan kritik musik yang sangat berbeda dengan apa yang kita kenal sekarang ini. Para filsuf Yunani jaman itu, memaknai kritik musik sebagai: seni untuk bisa membedakan dan membuat keputusan terhadap musik, yang dilakukan perorangan. Dengan demikian, kritik musik, pada zaman Yunani kuno dapat dilakukan oleh siapapun. Meski demikian, yang terjadi bukanlah asal ngomong, asal nyerang dan asal njeplak. Masyarakat Yunani kuno malahan tertantang intelektualnya untuk cermat memberi pembedaan dan vonis terhadap sebuah karya musik. Hal itu terjadi karena situasi di zaman para filsuf Yunani kuno, sangat menjunjung tinggi tantangan untuk mencapai kebijaksanaan.



JURNALISME MUSIK

Saat ini, kita berada pada zaman media massa. Banyak bahkan sangat banyak media mainstream, media sosial, dan media racun abal-abal nan fitnah bin hoax. Situasi ini tentu sangat berbeda dengan keadaan masyarakat di zaman Yunani kuno. Situasi kita sekarang, berupa banyaknya produksi musik. Dengan macam-macam genre. Jutaan. Pemusik nya jutaan. Dan tersebar luas bagai lalat berkerumun karena adanya media dan teknologi komunikasi yang luar biasa majunya. Dalam keadaan seperti ini, semua orang (sama seperti jaman Yunani kuno) bisa menjadi pengkritik musik. Bedanya, zaman sekarang, banyak, bahkan sangat banyak, orang yang asal ngomong, asal nyerang dengan dasar perasaan suka tak suka, dan asal njeplak. Yang tidak paham musik berlagak sok tahu sok pinter sampai nyungsep keblinger. Dalam keadaan seperti itulah, sejatinya, dunia jaman sekarang sangat memerlukan kritik musik. Dalam artian upaya menggelitiki musik dengan cara berbudaya dan berdasar, logis, dan tentu sistematis.



Di keadaan zaman seperti saat ini yang, sekali lagi, sarat teknologi, sarat media, sarat produksi musik,sebetulnya, sangat dibutuhkan JURNALIS MUSIK. Juga JURNALISME MUSIK. Sebagai Kompas. Pedoman. Agar masyarakat tak sesat arah. Agar masyarakat tetap mendapat asupan akan makna hakiki dari keindahan seni bunyi bernama musik. Agar para netijen yang suka mejen (ngeden) mendapat pembanding. Bahwa kritik musik bukanlah serangan atas dasar suka tak suka berdasarkan paras rupa, kehalusan kulit dan lenggak lenggok pamer ketek dari para pemusik. Bahwa sensasi tak selamanya bagus. Bahwa bermain gitar dengan dikeplak keplak tak selamanya lebih hebat dari Musik Klasik tua yang bikin kantuk. Bahwa bermain piano dengan kalem tak kalah hebat dengan yang berjingkrakan dan buka buka baju. Peran Jurnalis dan Jurnalisme adalah membangun dan mengedepankan prima. Prisma yang mampu menghadirkan banyak spektrum cahaya pencerahan namun tetap menyemburat dalam obyektifitas telaah yang ada dasarnya.

 

Sebetulnya, terjadi juga hal-hal yang ironis. Misalnya saja. Pasti suatu saat, seorang jurnalis musik, yang punya blog pribadi ataupun video blog yang berisi kritik musik, diundang oleh panitia penyelenggara konser. Lazim dalam undangan tersebut diberi semacam “memo”. Mention. Pak atau Bu atau Miss atau apalah.... kami mengundang anda untuk dapat hadir dan menikmati konser, serta, eh, kalo gak keberatan, bikin review ya Pak BMiss.... Dari hal hal semacam ini, nampak bahwa sebetulnya ada kelompok sosial yang sadar, bahwa kritik musik, entah untuk apa peruntukannya, menjadi sebuah “kebutuhan”. 

 

Sayangnya, masih ada juga ketidaktahuan tentang bagaimana sebetulnya satu proses kritik musik dilakukan. Seorang kritikus musik sejati, tentu TIDAK BISA menikmati konser SEKALIGUS mempersiapkan kritik. Dalam membuat kritik musik, seorang jurnalis, atau siapapun harus berdiri di luar zona kenikmatan terhadap sebuah sajian musik. Ia harus terisolasi. Menyendiri. Dengan berbekal pengetahuan, dan obyektifitasnya terhadap sajian musik yang sedang ia hadapi. Kenikmatan sebagai hasil kegiatan menikmati musik, tentu seberapapun akan dapat mengaburkan’ sikap kritis nya.



BENTUK KRITIK MUSIK

Hal lain yang masih membingungkan, termasuk bagi masyarakat dan/atau komunitas musik itu sendiri adalah bagaimana bentuk kritik musik. Apakah cukup hanya satu dua kalimat dalam post Instagram? Apakah satu frase dalam Facebook? Satu artikel dalam blog pribadi? Ataukah bicara bak penjual jamu dan penjaja kecap dalam vlog?

 

Sebetulnya, forma atau bentuk kritik musik, bisa apapun. Intinya adalah bahwa ada PERNYATAAN, STATEMENT tentang penilaian sebuah sajian musik dengan dasar tertentu. Dan sebetulnya, tidak perlu lisensi khusus untuk seseorang melontarkan kritik terhadap sajian musik. Ia bisa siapa saja. Ia bisa seorang dokter, guru, ilmuwan, agamawan, amatiran yang miskin dan hidup acak-acakan, pengacara. Yang penting ia memiliki selera musik yang layak (belum tentu baik, karena baik itu relatif), memiliki “sedikit” pengetahuan musik dan bisa menjaga obyektifitas. Dan sebetulnya, orang-orang seperti inilah yang oleh Henry Huskell, dalam bukunya, disebut sebagai THE ATTENTIVE LISTENER. Pendengar dengan atensi penuh. 



BENTUK KRITIK MUSIK

Hakekat kritik musik sebetulnya adalah MUSIK DAN KATA. Orang Jerman menyebutnya sebagai Ton-Wort. Di sinilah seninya. Bagaimana musik, yang adalah materi auditif hendak digambarkan secara verbal dengan menggunakan kata-kata. Banyak orang berpendapat bahwa upaya ini sebuah kebingungan sendiri. Karena jangan lupa. Ada peribahasa begini: saat kata kata tak lagi mampu mengungkap makna, saatnyalah musik berbicara. Peribahasa tersebut sudah menjadi semacam “mega quotes” dan dianut serta diyakini begitu banyak orang. Intinya, peribahasa tersebut mengedepankan SUPERIORITAS musik terhadap kata-kata. 

 

Lalu pertanyaannya menjadi: bagaimana musik yang lebih superior, hendak ditafsir dengan kata-kata (kalimat) yang inferior? Sebetulnya, jika kita bicara dalam ranah kritik musik, baik dan bijak jika kita mensitir kata kata dari komposer hebat, Felix Mendelssohn Bartholdy. Music is not to vague to words but too preciseSebuah reverse logic. Bahwa musik sebetulnya memiliki presisi yang luar biasa terhadap kata kata. Meski demikian, hubungan musik dan kata-kata tetap menjadi problem. Hans Keller, seorang penulis jempolan, sampai mengusulkan adanya non verbal music critic. Mengkritik musik TIDAK ATAU BUKAN MELALUI KATA-KATA. Dan metodenya itu dijuluki FUNCTIONAL ANALYSIS OF MUSIC. Jadi kritik dengan kata-kata nya tidak ditujukan terhadap musik secara an sich, MELAINKAN MENGANALISA FUNGSIONALNYA.



Banyak Jurnalis musik yang melakukan kritik musik dengan berusaha sekuat tenaga untuk mengilustrasikan dengan kata-kata, kalimat atau frase musik yang dibut oleh seorang komposer. Usaha ini tak selamanya berhasil meski si Jurnalis sudah menuangkan milyaran kata yang ia pilih secara hati-hati. Musik tidak bisa digelitiki dengan cara semacam itu. Musik semestinya digelitiki dengan mengungkap apa sebetulnya yang ada di benak pikiran para pendengar pada umumnya. 

 

Hal yang paling logis dalam menghadirkan kritik musik sebagai upaya menggelitiki musik adalah dengan cara menyambungkan atau menghubungkan, mencari metafora atau ungkapan perlambang, untuk mencapai kesimpulan akan apa yang ada di benak pendengar. Perwujudan kritik musik yang “layak” dalam ranah kesejatiannya adalah: receiving, amplifying, transmitting sehingga membuka lahan diskusi baru yang selalu baru dan tak ada habisnya. Dengan demikian, kritik musik bukan aksi sebagaimana algojo membunuh dan menghabisi kegiatan musikal seseorang. Kritik musik adalah menggelitiki musik sampai mengeluarkan esensi.



KRITIK MUSIK DI INDONESIA

Sampai di sini kita sudah berbicara panjang, lebar, luas dan dalam tentang kritik musik, dan umumnya kita bicara tentang kritik musik di barat. Bagaimana dengan Indonesia? Sebetulnya di Indonesia sangat banyak bertebaran dan berseliweran kritik musik dengan mutu yang layak. Almarhum Slamet Abdul Sjukur adalah seorang kritikus musik. Meski kritik kritiknya seringkali “kalah” oleh laporan olah raga dan kegiatan pejabat saat akan dimuat di koran. Suka Hardjana juga kritikus musik yang ajaib. Dengan ketajaman analisa dan obyektifitas sangat tinggi. Bahkan kritik-kritiknya beliau tuangkan dalam buku yang berjudul MUSIK. Meski tentu bukunya kalah laris dengan puisi yang pakai harum parfum, novelet mengharu biru, dan tulisan tentang cinta yang gemerlap dan merona. Selain beliau beliau, banyak wartawan musik yang memberi ulasan dan kritik. Salah satunya adalah wartawan Kompas, Sujiwo Tejo.

 

Belakangan, banyak amatiran yang, entah apa dasarnya, tapi ya sudahlah, mencoba memberi kritik. Melalui Instagram, Facebook, atau apapun termasuk menulis di citizen journalism forum seperti Kompasiana. Hal seperti itu baik dan tentu sangat baik. Persoalannya: Apakah “suara” mereka didengar? TIDAK. Kalah oleh artikel cara memuaskan pasangan di ranjang hingga 100 malam non stop. Kalah dengan upaya membedah G-Spot perempuan. Jadi hmmmm…. Musik nampaknya memang belum terlalu tergelitiki. 

No comments:

Post a Comment

Note: only a member of this blog may post a comment.