Thursday, 1 August 2024

MISKIN - by: Michael Gunadi | Staccato, August 2024

MISKIN
By: Michael Gunadi 
Staccato, August 2024


Jika kita mau jujur, dan melepaskan diri dari segala syakwasangka, harus kita akui bahwa Gitar Klasik adalah instrunen yang sering dianggap miskin. Tapi, jangan khawatur. Artikel ini tidak bercerita tentang gitar klasik. Hanya sepintas lintas kilas saja. Anggapan bahwa Gitar Klasik adalah miskin maupun ”miskin” (dalam tanda petik). Dapat dengan mudah kita amati pada institusi semacam Sekolah Musik dan/atau kursus-kursus musik. Tak dapat dipungkiri, Piano adalah instrumen musik yang paling digemari. Perbandingan siswa Piano dan Gitar Klasik dalam satu institusi pembelajaran musik, sangat menyolak. Siswa Gitar Klasik hampir tak pernah mencapai 10% dari jumlah siswa piano. Dan ini terjadi bukan saja di Indonesia.

 

Dan memang, rasa atau kesan miskin itu nampak jelas ketika kita menghadiri Konser Gitar Klasik. Satu panggung yang luas. Kemudian muncul seseorang menjinjing Gitar Klasik dan duduk. Ia nampak sangat kecil dan mini dibanding luasnya panggung Konser pada umumnya. Kesan miskin tersebut diperkuat dengan misalnya, Sang Gitaris sudah uzur, berjalan gontai, sedikit terbatuk batuk. Meskipun mainnya jago seperti Dewa Gitar Angkasa, tetap saja kesan miskin itu ada. Dan rupanya, sudah sejak dahulu, Gitar Klasik dianggap miskin. 

 

Andres Segovia pernah dicibir, ditertawakan dan disangsikan ketika dalam sebuah Konser ia akan membawakan Chaconne untuk Violin yang dia Transkrip untuk Gitar Klasik. Julian Bream harus bersusah payah untuk memperkenalkan Gitar Klasik pada kaum akademik di Inggris. Begitu merananya upaya Bream, sampai seorang Malcolm Arnold yang dosen di salah satu Konservatori, membuat satu komposisi untuk Gitar Klasik dan Orkestra. Agar pamor Gitar Klasik agak terangkat.

 

Dalam ranah musik, menjadi miskin itu biasa. Dan dalam musik, sekali lagi, dalam musik, menjadi miskin bukan sesuatu yang aib. Para Komposer akbar dalam Musik Klasik, hampir semuanya miskin secara materi dan penghasilan. Hanya Felix Mendelssohn yang kaya. Itupun karena orang tuanya adalah Bankir. Meski miskin, para Komposer Akbar tak miskin karya. 


Beethoven memperoleh tragedi cinta ditolak banyak Perempuan karena miskin. Namun ia menggubah satu Bagatelle yang kemudian terkenal sebagai FÜR ELISE. Sebuah Maha Karya yang kaya makna dan jujur saja, telah membuat banyak musisi menjadi kaya raya. Chopin pun begitu. Miskin. Secara materi. Secara organum karya Chopin juga dapat dikatakan miskin. Beda dengan Beethoven, Mozart, Brahms yang menggubah karya untuk macam macam Instrumen dan orkestra. Pada Chopin, dapat dikatakan bahwa hampir semua karyanya diperuntukkan Instrumen Piano. Namun dari miskin itulah, Chopin memperkaya dunia dengan memperkenalkan Musik Puitis yang Romantis dalam spektrum keaneka ragaman cinta yang pernah dikenal sepanjang peradaban umat manusia.


Slamet Abdul Sjukur


Di Indonesia, malahan ada Komposer yang sengaja berkarya dengan miskin. Mas Slamet Abdul Sjukur.Konsep musiknya adalah MINIMAX. Materi yang miskin alias MINI namun Maximal sebagai sebuah karya musik. Dunia musik bangga dengan konsep MINIMAX seorang Slamet Abdul Sjukur. Meski secara materi, ya, ehm beliau... ya begitulah. Yang jelas, banyak yang bisa diambil sebagai hikmah dan permenungan dari karyanya yang berlandaskan pada yang miskin. Lihat saja misalnya TETABUHAN SUNGUT. Sebuah karya yang luar biasa. Untuk bunyi bunyian mulut manusia yang tidak berupa Instrumen Musik baku. Notasinya pun berbentuk Grafis. Sama sekali bukan Not Balok. Para penyaji bebas menentukan nada mana yang akan dibunyikan. Hanya ada skala grafis untuk menunjukkan durasi nada dan kerangka keterpaduan antara satu pemain dengan lainnya.

 

Karyanya semacam TETABUHAN SUNGUT, sejatinya adalah komposisi yang miskin dari segi forma sajian. Mas Slamet tidak mengatakan atau menuliskan “untuk Vocal”, melainkan untuk MULUT MANUSIA. Satu fenomena yang miskin sebetulnya. Karena bagi manusia normal yang bisa berbicara, mulut adalah satu GIVEN. Anugrah dari Yang Maha. Tak perlu cost apapun untuk punya dan mengelola mulut. Namun, meski hanya mulut, komposisinya diakui dalam ranah musik kontemporer dunia sebagai ENSIKLOPEDIA BUNYI MULUT MANUSIA. Segala kemungkinan bunyi yang mampu dihasilkan oleh mulut manusia, tersaji dalam komposisi tersebut.

 

Karya dengan konsep tersebut, mengingatkan kita pada BODY PERCUSSION. Perkusi yang menggunakan tubuh manusia. Dan sama seperti Tetabuhan Congor, Tubuh manusia tak perlu cost apapun untuk dieksplorasi menjadi organum bunyi. Meski demikian, Body Percussion membuat Dunia demam panas dingin gempita akan kekaguman. Orang terpesona dengan solois Body Percussion Keith Terry. Dan tentu saja, orang berdecak kagum akan Grup Body Percussion terbaik asal Inggris yang pernah juga show di Jakarta yakni STOMP.

 


Sesungguhnya, menganggap miskin suatu genre atau Performance Setting tentu bukan sikap yang layak di apresiasi. Namun itulah kenyataannya. Orang merasa bergengsi jika menghadiri konser Piano, karena harga Grand Piano yang fantastis. Orang merasa “kaya”, dan punya prestige jika menghadiri Konser Artis yang diiringi Band atau Combo. Orang juga merasa elite dan high class jika menghadiri Konser sebuah Orkestra. Sebaliknya, mohon maaf lahir bathin sebesar besarnya... Untuk Konser Vocal dengan iringan satu Gitar akustik dan Musikalisasi Puisi dengan satu penyair, satu penyanyi dan satu Gitar...... ehm... Proletar. Meski tentu, anggapan miskin itu SAMA SEKALI BUKAN PENGHINAAN. Itu adalah kesan yang memang faktual sulit sekali untuk dinisbikan.



Bicara tentng miskin dalam ranah musik, kemudian bagaimana dengan karya klasik yang di simplified atau disederhanakan. Apakah ini bukan sebuah pemiskinan? Ada beberapa pertimbangan tentang hal semacam ini. Pertimbangan  pertama adalah its ok. Tak apa simplified.Toh dalam ranah sastra pun terjadi simplifikasi karya. Montecristo, The The Musketeers, Karya karya Dr. Karl May tentang Winnetou dan Old Shatterhand, semuanya tersedia dalam bentuk simplified. Disederhanakan. Tujuannya untuk mengenalkan pada anak anak dan/atau pembaca yang belum terbiasa dengan karya aslinya yang berupa buku tebal, untuk membaca versi sederhananya terlebih dahulu. Di Indonesia, pernah tersaji hal semacam ini. Dalam bundel bertajuk ALBUM CERITA TERNAMA, terbitan Gramedia.

 

Tentu dalam musik ada pertimbangan kedua. Yakni seyogyanya pada karya yang di simplified tadi tidak dilakukan REDUKSI. Misalnya jika bentuk musiknya adalah heterophone tidak kemudian dengan seenaknya dihanti dengan Chord sederhana. Ini penting karena bagaimanapun, meski dalihnya adalah penyederhanaan, esensi dari karya sesungguhnya tidak boleh menjadi sirna.

 


 

Gambar tersebut adalah contoh dari harmoni yang direduksi. Bisa dicermati bahwa nuansa Harmoni Tonica A minor, dan Harmoni lainnya, menjadi sirna. Karena hanya ada satu saja nada A tanpa disertai nuansa harmoni yang versi aslinya adalah dalam bentuk Arpeggio.

 

Berikut juga adalah contoh pemiskinan dengan cara reduksi:


 


Score tersebut adalah Für Elise yang di arransir untuk Gitar Tunggal. Silahkan anda perhatikan. Susunan oktafnya jadi kacau balau. Esensi Harmoni dalam bentuk Arpeggio sebagaimana Beethoven tuliskan, diacak acak menjadi tidak karuan. Memang, orang masih bisa mengenali bahwa itu adalah Fur Elise. Namun esensi cita rasa dan nuansa nya menjadi sirna dan malahan acak acakan.

 

Dilain sisi, sejatinya banyak pemiskinan yang dilakukan para penikmat musik. Yang pasti tindakan tersebut tentu dilakukan tanpa adanya penyadaran yang mendalam. Sebelum era Digital seperti sekarang ini, siaran radio swasta niaga sempat booming di semua daerah di tanah air. Termasuk kota kecil dan ibu kota Kabupaten. Di jaman itu, karya karya besar Musik Klasik, sebut saja misalnya bagian Adagio dari Sonata Beethoven yang merupakan Masterpiece dan sangat terkenal, cukup hanya dijadikan backsound pengiring penyiar radio yang menghantar acara AMKM yakni Anda Minta Kami Mutar. Sebuah acara permintaan pemutaran lagu dengan ucapan ucapan yang ditulis dalam kupon berbayar. Acara ini laris manis dan menjadi pusat life style remaja saat itu. Ya tentu saja, si penyiar, Programmer Radio tidak menyadari akan richness value yang terkandung dalam karya seperti Adagio Sonata Pathethique Beethoven. Mereka hanya merasa bahwa musik ini cukup syahdu sebagai pengiring narasi siaran.

 

Bisa Anda bayangkan. Sebetulnya telah terjadi pemiskinan bagi karya abadi. Namun pemiskinan ini saat itu menjadi hal yang maklum. Karena alasannya bagaimanapun juga musik Beethoven sudah diperdengarkan meski hanya sambil lalu melintas saja. Keadaan itu terjadi lagi di era sekarang. Sebetulnya, dalam wujud yang lebih parah. Jika Anda mengamati Instagram, terutama pada IG STORY, banyak bahkan mungkin hampir semua karya musik di dunia ini ada di situ. Dan karya itu, seperti jaman Radio siaran niaga dahulu, dipakai hanya sebagai backsound tayangan Story seseorang. Parahnya, karya Masterpiece musik Klasik hanya diperdengarkan 1 menit. Ini sebetulnya pemiskinan yang parah. Masterpiece 7 menit hanya dibunyikan maximal 1 menit. Itupun bisa dicuplik mulai bagian mana yang ingin diperdengarkan oleh siempunya IG STORY.

 

Bentuk pemiskinan lainnya adalah apa yang orang Jerman sebut sebagai Kitsch. Kitsch ini bisa disepadankan dengan “asal tempel” dalam bahasa Indonesia. Ini berlaku misalnya begini: Musik pop atau Dang Dut misalnya. Tak ada ujung pangkal, tak ada kaitan apapun dari segi harmonisasi, tiba tiba asal tempel saja musik Gendhing Jawa. Asal tempel saja musik Talempong Minang. Tujuannya tentu untuk mencari sensasi dan mendapatkan ear catching dari publiknya. Namun ini pemiskinan. Karena konsep musik sama sekali tidak dianggap bahkan diperhatikanpun tidak. Meski tampil dengan format Ensembles yang lazim disebut “orkes” sesungguhnya ini adalah pemiskinan dalam ranah musikal. Mohon anda tidak terkecoh dan bingung. Kitsch yang dimaksud dalam artikel ini adalah Kitsch sebagai ISTILAH. Mohon tidak dirancukan dengan Kitsch Music. Sebab Kitsch Music sama sekali berbeda dan sudah menjadi genre tersendiri.

 

Miskin dalam ranah musik tak selamanya berarti ketidak berdayaan. Nampaknya, musik mengajarkan pada kita. Bahwa dari kesan yang paling minor sekalipun masih ada semburat keagungan karya, yang malahan bisa menjadi sebuah Masterpiece.

No comments:

Post a Comment

Note: only a member of this blog may post a comment.