Nada-nada dalam music mengalir dengan pulsa tertentu. Pulsa
di sini merujuk pada ketukan yang teratur dan berulang ulang.
Dalam ranah music teori (meminjam istilas Jelia Edu,M.Mus.Edu), pulsa ini
ditengarai sebagai beat. Dalam music contemporer (avant garde dalam segala relativitasnya) pulsa atau beat ini memiliki
ranah tafsirnya sendiri. Namun dalam music yang “klasik” pulsa atau beat ini
diwujudkan secara teratur dan berulang. Dari keteraturan pulsasi beat inilah
kemudian dikonsepkan tentang time signature. Atau dalam bahasa Indonesia
dipadankan dengan tanda birama. Lalu kita semua mengenal tanda birama
sebagaimana 2/4,3/4 atau 4/4. Dalam ranah music teori, tanda birama yang demikian,
disebut sebagai simple time signature. Terdapat pula compound time signature atau
birama majemuk. Contoh paling popular adalah 6/8.
Konsep dasar birama dijabarkan sebagai berikut: Dalam birama 2/4
misalnya. Ada 2 beat (bilangan pembilang) dan masing-masing beat diampu oleh
not quaver atau note value ¼ (bilangan
penyebut). Dalam bahasa Indonesia,bilangan pecahan selalu terdiri dari pembilang
(top) dan penyebut (bottom).
Dalam komposisi musik, time signature tak semata dinyatakan
dengan tanda berupa bilangan pecahan. Melainkan juga disertai pengelompokan nada
atau note
grouping. Beberapa guru music menganggap note grouping ini sebagai cara
penulisan belaka. Semata agar musik lebih mudah dibaca secara tekstual. Padahal, note
grouping tidaklah sesederhana itu. Note grouping bisa merubah karakter dan
bahkan artikulasi birama itu sendiri. Contoh aplikasinya adalah ¾ vs 6/8.
Banyak orang menganggap bahwa 6/8 adalah ¾ yang di dobel
(double).Sehingga timbul pertanyaan aneh seperti ini misalnya: MANA LEBIH
CEPAT, 3/4 atau 6/8? Dalam kasus tertentu memang 6/8 bisa dimainkan sebagai ¾. Namun, inti
permasalahannya bukan demikian. Saatnyalah kita mendalami grouping the note.
6/8 memang adalah note 1/8 sebanyak 6 buah dalam satu
birama.
Namun jangan lupa !!!!! 6/8 bisa saja di note group seperti ini:
Namun jangan lupa !!!!! 6/8 bisa saja di note group seperti ini:
Dan jika 6/8 di grouping (dikelompokkan) demikian, maka cara
menghitungnya bukan lagi not 1/8 mendapat satu ketukan. Bukan. Melainkan dihitung
dua dua atau count in two! Lho kok bisa????????? Ya bisa, karena ternyata music
mengenal ALLA BREVE atau CUT TIME. Jadi Alla Breve itu bukan cuma nama lain
untuk birama 2/2 melainkan sebuah konsep untuk cut time. Dalam kasus ¾ vs 6/8
setelah mengikut sertakan konsep Alla Breve, dapatlah dikatakan bahwa ¾ lebih
terasa sebagai pertigaan sedangkan 6/8 lebih terasa sebagai perempatan.
Aplikasi dari pernik pernik birama tersebut dapat dilihat
pada video berikut ini:
Video tersebut adalah TARANTELLA karya Pauline Hall dalam
official video ABRSM. Dan Tarantella merupakan salah satu lagu yang dapat dipilih
untuk ujian ABRSM 2012. Lagu tersebut ber birama 6/8. Nampak dimainkan dengan
sangat cepat. Jelas dengan speed setinggi itu, tidaklah mungkin jika 6/8 ditafsir
sebagai one beat for one semi quaver. Karena ketukannya bisa sangat cepat dan
kacau saking cepatnya.Yang terjadi adalah, dalam Tarantella ABRSM, 6/8 ditafsir
sebagai Alla Breve 6/8. Atau 6/8 yang “terpangkas”. Sayangnya, ABRSM tak mencamtumkan
Alla Breve pada 6/8. Jadi mestinya, sah saja jika Tarantella dimainkan lebih
lambat karena siswa mengcounting dengan konsep dasar,yakni one beat for one
semi quaver.
Music memang adalah bahasa symbol. Untuk dapat menyalurkan
hasrat atau passion, simbolisme ini layak untuk dinyatakan dengan tegas dan
konsekuen. Bukan sebagai sebuah tekstual yang dengan liar dan seenaknya
dimainkan.
tulisannya sangat berguna..
ReplyDeleteterima kasih dan sukses selalu