GLADIATOR MUSIK
Entah karena apa,sebulan terakhir ini kompetisi piano
menjadi sangat marak di tanah air kita.Jika kita sempat menengok majalah music terkemuka
yakni STACCATO,di situ banyak sekali pemberitahuan tentang kompetisi
piano.Bahkan hamper 35% dari advertensi Staccato adalah pengumuman kompetisi
piano.
Saya tergelitik untuk mensikapi,dan mengkritisi fenomena
marfaknya kompetisi piano ini.Tentu saya usahakan tanpa tendensi,pretense,apalagi
dugaan busuk.Semata hanya karena fenomena marfaknya kompetisi piano tersebut
begitu menggebu dan membabi yang buta.
Apa yang salah dengan kompetisi piano ?? oooppsss…sama
sekali tidak ada yang salah.Musik,tidak pernah salah !Kalo anda tidak suka
musiknya A atau permainan music si B,ya jangan dengerin,habis perkara.Yang jadi
masalah adalah,kompetisi piano menjadi marak di tengah-tengah “perjuangan”
beberapa laskar music klasik Indonesia untuk membumikan music klasik.Teguh Sukaryo dengan gagah berani
mengkampanyekan sebuah forum music klasik yang sangat kekeluargaan.Jelia Megawati Heru dengan gigih
mengumandangkan pendidikan music yang
baik.Sudirman Leman juga tanpa kenal
lelah memperjuangkan sekolah music yang “berbeda”.Lalu apa dampak maraknya kompetisi
piano bagi semua gerakan mulia tersebut.
Maraknya kompetisi piano di tanah air menunjukkan bahwa
dunia music piano di Indonesia sedang dihinggapi euphoria lomba.Bahkan sekolah music
yang baru berdiri dan terletak di sudut kota secara terpencil pun ikut-ikutan
latah menggelar kompetisi piano.Rupanya,sedang ada trend bahwa SEKOLAH MUSIC BERUBAH FUNGSI MENJADI EVENT
ORGANIZER LOMBA.Ini kacau dan memprihatinkan.
Hal kedua adalah,dengan maraknya kompetisi piano,beberapa
orang penggagas secara tanpa sadar telah merajut sebuah keaadaan MENCETAK PARA
GLADIATOR MUSIK.Remaja bahkan anak usia 6 tahun sudah diiming imingi dan
diseret ke dalam ajang perlombaan bagai gladiator.Musik dijadikan ajang
aduan,persis seperti arena gladiator.Secara tanpa sadar ada stigma bahwa
pemenang lomba adalah anak atau remaja yang sangat musical.Music bukan lagi
diukur dari passion melainkan aduan secara nyata dalam kompetisi.
Orang yang sok tahu dan sok pintar bisa saja berujar begini : “
lho kan hidup itu sendiri pada hakekatnya adalah sebuah kompetisi…jadi ya dari kecil anak dibiasakan menghadapi kenyataan dong,bahwa
hidup itu kompetisi…dan music kan bagian dari kehidupan…” Mereka lupa
bahwa music itu adalah seni yang kontribusinya membangun jiwa,Kalaupun jiwa ini
diwarnai sikap kompetitif,ya mestinya bisa direduksi semua efek negatifnya.Dengan maraknya kompetisi piano,saya tidak
yakin bahwa kompetisinya akan fair dan mengedepankan passion for music.Karena
dengan semakin maraknya sebuah trend,semakin besar pula distorsi dan
kekotorannya.
Orang bisa saja mengatakan bahwa acara kompetisinya
menghadirkan juri-juri yang maha pianis.Jurinya mungkin maha pianis.Tapi
ingat,maha pianis pun tetap manusia yang bisa salah,bisa jenuh oleh kebosanan
dan situasi.Belum lagi jika panitianya hanya berorientasi cari masukan uang
semata.Dan…fatalnya,frekuensi event kompetisi piano ini banyak jumlahnya.Jadi
ya…susah mengkontrol…dan memang rupanya tak perlu dikontrol ya.Biarkan saja.Toh
hanya music.Salah pun,kotor pun,tengik pun tak membuat nyawa melayang kan.
Bagaimana dengan Chopin Piano Competition ? Yang membedakan
ajang tersebut adalah bahwa ajang semacam kompetisi piano Chopin,tumbuh
berkembang dan dijaga dengan tradisi yang ketat.Lalu bagaimana mungkin sih jika
penyelenggaranya hanya sekolah music yang baru berdiri 5 tahunan dan tempatnya
sangat terpencil,gelap dan kumuh.Tradisi macam apa yang mereka bisa
tawarkan.Lha membangun dirinya saja gelap kok.
Satu hal yang
nampaknya layak kita renungkan adalah : Stefan Janis,anak dari legenda piano
Byron Janis,yang mana Stefan adalah kawan saya,berujar demikian : “Ayah saya
adalah salah satu pianis kelas dunia yang sama sekali tak pernah ikut kompetisi
piano “
No comments:
Post a Comment
Note: only a member of this blog may post a comment.