Monday, 30 September 2024

KUSUT - by: Michael Gunadi | Staccato, October 2024

KUSUT

By: Michael Gunadi

Staccato, October 2024



Jika kita mau sedikit menaruh perhatian pada keadaan sekarang, tentu kita akan menyadari bahwa banyak, bahkan terbilang sangat banyak hal-hal KUSUT dalam ranah musik. Di segala sektornya. Baik pertunjukan, apresiasi, pembelajaran dan pendidikan musik sampai pada dokumentasi musik. Kusut. Penyebabnya macam macam dan mengurat akar sehingga memang kusut nyaris tak terurai. Beberapa orang yang mencoba peduli dengan keberadaan musik, tentu saja sudah berupaya dengan bercucuran keringat, menipiskan pundi-pundi dan bahkan tersok seok untuk mencoba mengurai kusutnya musik. Tak hanya Indonesia, namun merata di seluruh dunia. Apakah keadaan kusut ini mengganggu keberadaan musik? Begini. Orang berpikiran kusut tetap dapat berpikir. Orang muka kusut tetap bisa dapat jodoh. Persoalannya, yang seperti apakah yang didapat dengan kusutnya itu.

 

Di kota besar seperti Jakarta, pembelajaran musik sebetulnya kusut dan bahkan sangat kusut. Anak dan remaja kota besar seperti Jakarta, nyaris tak memiliki waktu untuk belajar musik. Jikapun masih ada yang les musik, mereka melakukan pengorbanan yang sesungguhnya luar biasa dan tentu layak diacungi jempol. Jadwal sekolahnya sendiri sudah tergolong padat. Ambil contoh saja SMA. Di seluruh Indonesia, siswa SMA itu bersekolah dari Senin sampai Jumat mulai jam 7 pagi sampai jam 4 sore. Kapan dia bisa les musik?! Lhoooo kan Sabtu mereka libur, Pak... Eit jangan salah. Sabtu mereka full. Proyek kurikuler sekolah. Plus Bhakti sosial. Mulai dari acara bikin tugas film pendek sampai kegiatan keagamaan. Minggu? Hahaha. Satu-satunya hari untuk acara keluarga. 


Anak SD, SMP, bahkan TK di kota seperti Jakarta juga sama. Kusut dalam slot waktu belajar musik. Jarak tempat yang seringkali terasa sangat jauh padahal dikarenakan kemacetan luar biasa. Kemudian ada lagi tuntutan self enrichment. Dari mulai les bahasa Inggris, bahasa Jerman, kemudian untuk agar badan sehat dan bisa berimbang dengan prestasi extra kurikuler, les tennis, les basket ball, les Golf, Yoga, Pilates, berenang. Haduuuuh. Keadaan ini disatu pihak memang tuntutan sekolah yang di era modern ini tak cukup jika siswanya hanya yahuud secara akademik semata. Di lain sisi, ambisi parents sangat dominan. Ingin agar Instagramnya dihiasi dengan posting dan isian IG Story dari si anak yang ajaib dan serba bisa mengalahkan The Nanny Movie.

 

Keadaan sedemikian diperparah lagi dengan cara mendidik yang latah mengikuti gaya Amerika. Anak SD klas 2 diajak berdemokrasi. Tak boleh dibentak. Didisiplinkan harus dengan dialogis. Sementara pergaulan di sekolahnya, dipenuhi dengan kekerasan, bullying dan makian bajingan, anjing, anjai, tai, tokai yang bagaikan kata mutiara puitik. Keadaan ini membuat guru musik kusut. Bahkan sangat kusut. Karena nasibnya menjadi super kusut. Guru musik menjadi pesakitan. Musik itu menuntut disiplin. Tanpa disiplin, musik hanya akan menjadi rongsokan gelaran bunyi. Pendisiplian ini sering dilatahkan oleh para parents yang sok modern. Guru kusut. Kikuk dan serba salah. Penghasilan yang pas pasan, kejar kejaran dengan listrik, BPJS, Beras membuat guru akhirnya dengan kusut menjadi babu dan kacung muridnya. Sungguh tragis.


Sikap parents juga terkadang ambigu. Terkadang menganggap musik hanya sebatas enrichment for fun to killing time. Tapi giliran dia lihat Instagram temannya yang memasang IG STORY anaknya meraih piala kompetisi, ia menuntut gurunya untuk ini anu itu mengikutsertakan anaknya dalam kompetisi musik. Meski anaknya tak ada waktu belajar musik, les nya bolong bolong karena sekali libur ke Dubai bisa sampai 4 minggu. Benar-benar kusut. Kusut, kusut dan sungguh kusut. Generasi sekarang itu seperti ikan lumba lumba. Dicekoki ikan oleh parentsnya namun berbalut kebebasan semu dan mencerabut kesejatian diri si anak tersebut. Ya sudahlah, pembelajaran musik dan pendidikan musik memang kusut. Bagaimana mengurainya? Tidak usah. Anda bagai mengurai gelondong benang yang memang sudah ditakdirkan untuk kusut.



Kita beralih ke musik sebagai profesi. Ini lagi. Kusut nan kusut serta asli kusut. Komposer yang sekolah di Jerman nasibnya kusut. Karena sinetron mulai redup. Andai sinetron bercahaya pun, ia kalah dengan sopir yang kebetulan punya keyboard dan agak bakat musik. Sementara Film layar lebar lebih asyik mengobral AI dan berkutat dengan biaya produksi yang besar. Banyak orang yang asal njeplak berkata bahwa sekarang jamannya online. Tawarkan karya musik di Spotify, Yutup, ini lah anu lah. Silahkan anda googling tentang hitung hitungan pendapatan komposer yang berkarya via platform online. Anda akan merasa ngeri dan hampr mustahil orang bisa hidup layak dengan menjadi musisi berplatform online. Kecuali anda orang hokki yang hokki bak babi hokki. Sungguh kusut dan membuat kita menghela napas super panjang. Bagaimana cara mengurainya? Gak usah lah. Toh Cuma musik. Itu pemusik/komposer yang gak laku tawarin saja ikut BERANI BERUBAH DAN CUAN. Jualan pukis. Jualan Donat gerobakan. Yang penting legal kan. Miris. Asli miris dan kusut.



Yang tak kalah carut marut dan kusut adalah soal hak cipta. Persoalan hak cipta ini BUKAN soal pembayaran royalty nya. Bukan itu. Yang kusut adalah upaya memerangi PIRACY. Pembajakan. Pembajakan ini kusut. Begini ya. Pembajakan yang paling jahat adalah yang melalui Whatsapp. Ada rilis album baru, satu orang beli. Entah dalam bentuk CD atau platform online. Nah, agar dia tampak kekinian dan gak ketinggalan jaman, dia pasang status di IG STORY. Eeeeee teman temannya pada minta. Kalo gak dikasih waahhh dia gengsinya turun dong. Itu kemudian dia RIP (kalo CD bentuknya) atau dia download (jika platform online) dan track per track dia sebar via Whatsapp. Memang ini bukan Piracy seperti orang jualan bajakan. Tapi in Pseudo Piracy. Dan kusutnya tuh begini: Misal dibikin undang undang anti begituan deh. Enforcement nya siapa yang mau mengawasi?! Dan nanti akan dibelokkan dalam ranah privat.

 

Pseudo Piracy ini memang kusut. Coba kita tengok peristiwa berikut ini. Jika siswa akan ikut ujian Internasional, itu WAJIB beli buku materi ujian. Tapi apa yang terjadi? Para parents berkicau seperti burung Beo kelaparan. Mahal lah. Cuma dipakai sekali lah. nantinya disimpan dimakan rayap lah. Mereka prefer fotocopy. Gurunya yang pusing dan kusut. Fotocopy untuk hal begini itu pseudo piracy. Bagaimana si komposer bisa dapat nafkah kalo karyanya yang dibukukan tidak laku. Dan parahnya lagi di Facebook ada grup facebook musik yang membagi bagikan link download gratisan buku buku musik. Itu link bukan public domain. Karena komposer nya masih hidup. Lha dibagi bagi gratisan begitu dari link yang illegal. Kasihan komposernya. Seperti Bu Maria Linnemann gitar. Dia itu nafkahnya jualan karya yang dibukukan. Dia harus berjuang melawan sakitnya. Butuh duit banyak. Lha trus kalo dibagi bagi gratisan begitu dia nasibnya gimana.

 

Jujur saja, menjadi pemusik itu berat. Bahkan sangat berat. Kenapa berat? Ya kusut itu tadi. Anna Vidovic, seorang gitaris hebat dari Croatia berpesan begini: Jika anda tidak cinta mati dengan musik atau instrumen anda, please, jangan jadi pemusik.



Cinta mati itu maksudnya Totalitas penuh terhadap musik. Dan untuk ini seseorang harus rela meninggalkan dan menanggalkan kehidupan sosial sebagaimana masyarakat pada umumnya. Sejatinya, pemusik itu ranah hidupnya ya di panggung saja. Di panggung dia glamour, penuh puja puji, nampak anggun dan wangi. Setelahnya, kembali ke kamar sumpek. Bajunya sebetulnya juga hanya itu itu saja. Lho Pak... itu Langlang, Barenboim kaya, Pak. Barenboim itu produk sebelum 2010 saat industri musik belum kusut. Dan latar belakang keluarganya memang orang berpunya. Harap dibedakan antara pemusik dan artis. Artis adalah fenomena produk industri musik. Ia dikemas, dipoles dan dicitrakan glamour agar mampu membius banyak orang untuk menjadi fans nya.

 

Kekusutan pemusik itu, dia harus latihan berjam-jam setiap hari TANPA TAHU kapan dia akan konser dan dapat penghasilan. Dia harus menunggu tanpa tahu kapan. Mengharap ada promotor atau Impressario yang mengajaknya konser. Dan ini membutuhkan sebuah tekad dan totalitas yang sangat luar biasa. Dulu, anggota Orkestra hidup enak. Digaji dan terima pensiun. Kemudian per 2010 dunia musik redup. Orkestra banyak yang bangkrut karena negara dalam kesulitan ekonomi. Kabar terakhir di 2024, Orkestra ternama di Inggris ditinggalkan anggotanya gara gara sudah beberapa bulan belum membayar gaji. Tentu ini adalah kekusutan yang jelas sangat memprihatinkan.

 

Yang tak kalah kusutnya adalah nasib Komposer. Terutama mereka yang sekolah komposisi di secara khusus. Yang dihadapi bukan saja Piracy. Komposer itu saat berkarya, selalu diperhadapkan pada siapa yang mau memainkan karyanya. Dan ini sungguh kusut. Jika anda seorang komposer, anda harus rela berkusut ria. Merendahkan diri. Mengemis mengiba pada para pemusik untuk mau memainkan karya anda. Banyak Komposer yang menjadi agak makmur sedikit hidupnya karena karyanya (kebetulan) dimainkan oleh seorang pemusik yang terbilang sukses. Contohnya adalah Carlo Domeniconi.



Karya Masterpiece nya adalah Koyunbaba untuk gitar solo. Namanya melejit bukan karena dia memainkan sendiri karyanya. Melainkan ada seorang Prof. Aniello Desiderio yang mau memainkan karyanya dan mendunia.



Namun untuk komposer yang seberuntung ini jumlahnya sangat langka. Dan jangan dikir Chopin,Beethoven, Mozart ,Bach menikmati ketenaran. Sama sekali tidak. Para Komposer akbar tersebut menjadi tenar dalam bingkai akademik orang modern. Di jamannya, mereka mengkomposisi dalam rangka struggle for living. Kusut. Penuh derita.

 

Chopin itu sosok yang kusut. Ia berpuisi lewat musiknya tentang cinta dan ini itu. Namun ia seorang yang tak mau diekspose. Chopin bisa menghabiskan waktu berlama-lama main piano di kedai minum sampai kedainya tutup. Beethoven tak kalah kusut. Ia seringkali bertengkar dengan penerbit bukunya. Dari mulai hasil cetakan yang kurang sesuai dengan manuskrip yang ia tulis, sampai berulang kali ia ditipu pihak pihak penerbitan. Bagaimana dengan Bach? Itu kusut pula itu. Anaknya banyak. Masih misteri sampai sekarang bagaimana Bach bisa mengatasi segala kekusutan dengan begitu banyak anak sambil terus berkarya. Hebat. Mozart juga tak kalah kusut. Hidup ber haha hihi kesana kemari dipanggil para bangsawan namun ada kegelapan dan romantika semu yang menghantui hampir seluruh hidupnya.

 

Kusut memang rupanya sudah seiring jalan dengan musik itu sendiri. Dan bagaimana mengurainya? Tak perlu. Jika peradaban masih membutuhkan musik, maka musik akan terus ada meski kusut.

 

 

No comments:

Post a Comment

Note: only a member of this blog may post a comment.