Musik Klasik Telah Kehilangan Penonton: Benarkah? Mengapa? Kok bisa? Lalu bagaimana dengan Pagelaran di Monas dan Gedung Konser Kemayoran? Sebetulnya, ini adalah satu mata rantai masalah klasik yang berlaku untuk Musik Klasik. Sangat komplex dan ruwet. Selera, tempo dan timing pertunjukan, teknologi baru, dan media sosial, semuanya berperan dalam masalah klasik untuk Musik Klasik.
Tak dapat dipungkiri, bahwa Taylor Swift, K-pop, dan lainnya telah menarik perhatian penonton di seluruh dunia. Fans nya sampai berjumlah ratusan juta dan hal ini merupakan fenomena yang benar-benar menggemparkan dunia modern. Pada saat yang sama, jumlah penonton Musik Klasik telah mengalami penurunan selama beberapa dekade. Ada yang menduga, hal ini dipicu oleh kekhawatiran selama pandemi COVID, yang cenderung semakin membatasi jumlah penggemar. Anehnya, mengapa hal ini tak terjadi pada Blantika Musik Pop.
Ada sebuah penelitian yang menunjukkan bahwa konser orkestra dan kehadiran opera di Amerika Serikat menurun sebesar 30% dalam beberapa tahun terakhir. Sekitar dua puluh tahun yang lalu, laporan Knight Foundation,yang tertuang dalam “Studi Segmentasi Konsumen Musik Klasik,” menemukan bahwa “hanya 10-15% orang Amerika memiliki keintiman dengan Musik Klasik.” Masalah ini, yang berkaitan dengan alasan fenomena ini, sejatinya rumit. Namun dasar fenomenanya itu sendiri, mencakup lanskap budaya modern dan teknologi yang membentuk kebiasaan konsumsi musik pada penonton di mana pun di dunia.
Sejatinya apa yang disebut sebagai “Musik Klasik” telah berkembang, dalam napak tilasnya telah diterpa perubahan seiring dengan upaya para inovator musik untuk melepaskan diri dari tradisi klasik, yang terus terang saja sangat kaku dan aristokrat. Jadi, mulai abad ke-20, para pecinta Musik Klasik tradisional sebetulnya terpecah, beberapa di antaranya antusias terhadap jenis musik baru.
Sebaliknya, orang-orang lain yang biasa menghadiri konser justru dimatikan atau semakin tergerus dan terkeremus perubahan zaman. Perlu kiranya diketahui dan dipahami, bahwa kita sekarang memiliki sesuatu yang disebut “Musik Klasik Kontemporer”, sebuah istilah luas yang mencakup berbagai gaya dan teknik yang sangat berbeda dengan Musik Klasik yang rigid dan kebangsawanan. Dunia mengenal berbagai bentuk yang sekaligus adalah genre. Tentu saja masih dalam Koridor Musik Klasik. Beberapa yang menonjol adalah:
Musik post-tonal
Sebagian besar digubah setelah tahun 1945, ditandai dengan atonalitas dan disonansi. Ini adalah jenis musik yang berada di luar sistem nada yang ada pada periode Barok, Klasik, dan Romantis. Jadi karya musik klasik jenis ini tak lagi memakai Harmoni yang lazim. Dia lepas dari akor-akor yang lazim dalam Musik Klasik
Musik serial
Dipelopori oleh Arnold Schoenberg, ini melibatkan penggunaan serangkaian atau deretan nada, ritme, dinamika, atau elemen musik lainnya yang diukur berdasarkan struktur matematis seri numerik atau deret bilangan.
Musik minimalis
Menampilkan struktur sederhana yang berulang, dan seringkali laju perubahannya lambat, musik ini muncul sebagai reaksi terhadap kompleksitas serialisme dan gaya modernis lainnya.
Pasca-minimalisme
Gaya ini mempertahankan beberapa elemen minimalis tetapi memperkenalkan lebih banyak kompleksitas dan ekspresi, sering kali menggabungkan pengaruh dari berbagai gaya musik lainnya
Musik spektral
Gaya ini didasarkan pada analisis spektrum suara, bukan pada tangga nada dan mode tradisional.
Musik elektronik
Hasil kemajuan teknologi, menggunakan instrumen elektronik dan teknologi digital sebagai komponen kunci dalam proses komposisi dan penampilan di panggung
Musik eksperimental
Genre yang mengeksplorasi ide dan teknik baru dan tidak konvensional, sering kali menantang definisi musik tradisional
Komposer eksperimental terkemuka, dapat disebut di sini dua orang Amerika: George Antheil (1900-1959) yang terkenal dengan karyanya “Balet Mécanique” (Hebatnya lagi ia juga penemu sistem panduan radio untuk torpedo dalam Perang Dunia II) dan musisi, seniman multimedia dan pembuat film Laurie Anderson(aktif bermusik sejak 1975).
Ada juga Komposer Argentina Damián Anache (lahir 1981) yang terutama mengarang dan tampil dengan organ pipa; Komposer Perancis Frédéric Acquaviva (lahir 1967) yang memenangkan Hadiah bergengsi Karl Sczuka untuk musiknya “ANTIPODES” pada tahun 2020; dan komposer dan musisi musik eksperimental dan elektronik Inggris Laurie Scott Baker (1943-2022).
Namun sejatinya, ada hal yang lebih luas dan mendalam dari sekedar mengenal para komposer musik eksperimental yang tergolong “baru”. Implikasi dari tren data industri musik dan mungkin lebih luas lagi, warisan budaya dari waktu ke waktu, sangatlah penting. Mengapa penting? Karena sejatinya pertumbuhan musik dikaitkan dengan melonjaknya popularitas genre kontemporer non klasik seperti pop, hip-hop, rap, dan musik dansa elektronik (EDM), dan tentu saja peran Jazz sejak pertengahan abad ke-20 tidak dapat dilupakan. Jika kita cermati, masyarakat kini semakin bergerak cepat dan didorong secara digital. Hal ini membuat preferensi terhadap bentuk musik yang menawarkan kesegeraan dan aksesibilitas, serta mencerminkan gaya hidup kontemporer yang berdampak pada dimensi sosial.
Musik Klasik, baik karya para Komposer lama maupun para inovator kontemporer, telah mengalami keterkaitan historis dengan masyarakat yang berbudaya dan kaya, sehingga menjadi kurang menarik bagi khalayak baru, yang berusia lebih muda, dan kurang mampu secara finansial. Pertunjukan orkestra konvensional dan produksi opera kesulitan untuk diterima oleh penonton yang terbiasa dengan pengalaman musik yang lebih interaktif dan mendalam. Singkatnya, Musik Klasik dipandang sebagai bentuk seni yang statis dan kurang menarik bagi khalayak modern. Gen Z tidak menganggap konser klasik sebagai sarana hiburan yang ideal. Demikian pula, setidaknya sejauh ini, Musik Klasik Kontemporer tampaknya belum banyak mengalami kemajuan.
Lalu.. pertanyaan yang tak kalah menggelitik adalah: Mengapa “Pop” Kontemporer baru dan genre serupa lainnya berkembang pesat?
Sebagai perbandingan, genre-genre POP kontemporer baru berkembang pesat karena kemampuan adaptasinya, yakni menggabungkan unsur-unsur relevansi budaya, inovasi teknologi, dan konektivitas sosial. Genre-genre ini dapat mencerminkan beragam tema masyarakat, mulai dari pemberdayaan pribadi, protes keadilan sosial hingga pelarian akibat frustrasi cinta, dan euforia perayaan pada hal hal politis yang sensitif, dan menggunakan bahasa yang biasanya asing atau tidak nyaman bagi pendengar musik klasik.
Biasanya,dalam POP yang Kontemporer atau kekinian, terdapat vitalitas ritme yang kuat dan ekspresi liris yang mencakup teknik produksi modern. Hal ini dapat diterima oleh masyarakat secara global. Mulai dari Amerika Serikat dan Eropa hingga Korea Selatan, dari Meksiko hingga Australia, di seluruh Timur Tengah, dan ya, bahkan di Rusia dan ... tentu saja... Indonesia!!. Hal semacam ini menumbuhkan rasa inklusivitas dan keterhubungan, mengatasi segala barrier budaya.
Pada umumnya, dan tentu saja tidak seperti kebanyakan Musik Klasik (dan bahkan Musik Klasik Kontemporer), waktu mendengarkan yang lama tidak diperlukan, atau jika dalam sebuah album, potongan-potongan pendek yang terpisah dapat didengarkan, pada waktu yang berbeda.Hal ini nampak nyata pada Sosmed seperti Instagram dan TikTok. Teknologi baru telah menjangkau seluruh dunia dengan menyediakan sarana akses siap pakai, baik di rumah, di dalam kendaraan, atau di luar ruangan dengan smartphone yang memungkinkan potongan potongan pendek lebih digemari daripada rangkaian Concerto yang panjang dan melelahkan bagi sebagian orang masa kini..
Platform digital dan layanan streaming, misalnya: Spotify, Apple Music, Qobuz, Tidal, Amazon Music, dan lainnya, bahkan yang yang kurang populr sekalipun, telah mengubah lanskap industri musik secara signifikan. Platform tersebut, jujur saja, sudah memberdayakan artis independen, dan memberi konsumen akses tanpa batas ke beragam musik. Hollywood sebagai industri film terkemuka, juga telah memainkan perannya dalam proses ini. Seperti misalnya menyediakan musik yang luar biasa dalam film-filmnya, dan beberapa komposer besar telah muncul, seperti Ennio Morricone.
Sistem distribusi musik yang diperluas dengan berbagai langkah digitalisasi, telah memperluas visibilitas genre-genre kontemporer, di satu sisi memungkinkan eksposur yang lebih besar dan kesuksesan komersial dalam pasar yang sangat kompetitif. Namun, apa yang tampak sebagai “pemberdayaan” seniman juga berarti bahwa banyak seniman berada dalam kemiskinan atau terpaksa menjalani gaya hidup yang berbeda karena banyaknya konser di komunitas lokal untuk memenuhi kebutuhan hidup. Dan Konser lokalan semacam ini seringkali mematok honorarium sangat murah bagi pemusik penampilnya, karena ada “persaingan” dari platform digital.
Seiring berjalannya waktu, dan seperti yang telah kita lihat baru-baru ini, hanya segelintir artis paling sukses saat ini yang mendapatkan manfaat penuh dari streaming musik. Banyak pula yang tertinggal jauh dan berjuang untuk memenuhi kebutuhan hidup. Tetap miskin dan terseok seok. Sebetulnya, Lagi lagi jika kita cermati, media sosial dan pemasaran digital juga merupakan faktor yang bergerak ke arah lain: Mereka menawarkan peluang dan lebih meningkatkan musik kontemporer, memungkinkan artis untuk terhubung langsung dengan basis penggemar mereka, memanfaatkan tren viral, dan memanfaatkan konten buatan pengguna untuk memperkuat musik mereka. Meskipun, tentu, tak dapat dipungkiri akibat persaingan junlah pemusik yang bejibun, sangat sulit dan hampir mustahil untuk sukses secara popularitas sekaligus finansial melalui cara ini.
Hubungan antara artis dan komunitas online telah memfasilitasi penyebaran cepat musik baru dan perkembangan tren, serta memasukkan genre kontemporer ke dalam budaya populer, dan menawarkan peluang penjualan dan keuntungan jauh melampaui jangkauan di masa lalu. Termasuk masa kejayaan Leonard Bernstein dan Herbert Von Karajan sang Mahadewa Dirigen.
Lebih jauh lagi, dukungan merek, penempatan produk, dan usaha kolaboratif semuanya telah mendorong genre kontemporer ke garis depan kesadaran konsumen, dan memperkuat hubungan antara musik dan budaya konsumen. Yang muaranya tentu saja adalah konsumerisme. Nyatanya, budaya konsumerisme ini, jujur saja, hanya dinikmati beberapa artis yang Hoki hoki semata.
Integrasi musik ke dalam branding gaya hidup dan pemasaran, berdasarkan pengalaman telah meningkatkan daya tarik komersial genre Pop yang kekinian. Integrasi Lifestyle ini memposisikan diri sebagai batu ujian budaya. Bersifat aspirasional yang ternyata dapat diterima oleh basis konsumen yang luas. Kita ambil contoh artis yang tenar dan bergelimang penghasilan financial.
Taylor Swift , yang telah melewati status miliarder di industri musik – telah menunjukkan betapa besarnya jalur yang bisa dicapai melalui festival musik live, pertunjukan multimedia yang imersif, dan interaksi dengan penggemar,termasuk exposing lifestyle tentu saja. Taylor Swift tidak sendirian, dan dalam panorama musik modern, turnover adalah hal yang penting karena orang lain juga akan mengambil keputusan yang sama dan kemungkinan besar juga bisa sukses dan menjadi pusat perhatian. Memang benar, pengalaman seperti itu merupakan aspek penting dari budaya musik Pop kontemporer, yang menumbuhkan rasa perayaan komunal, identitas budaya, dan resonansi emosional.
Sebaliknya, penyajian Musik Klasik tradisional kesulitan untuk mengimbangi dinamika sosial ini, dan akibatnya, kemampuannya untuk menggalang penonton dengan cara yang sama seperti musik Pop Kontemporer, menjadi terbatas. Penekanan Musik Klasik dalam kurikulum formal sekolah juga sudah berkurang, yang berarti berkurangnya paparan dan keakraban generasi muda dengan genre tersebut. Ketika institusi pendidikan seperti sekolah formal beralih ke kerangka pendidikan musik yang mencakup beragam genre dan ekspresi gaya, fokus pada Musik Klasik menjadi tergerus dan terkeremus, sehingga mengurangi peluang bagi siswa untuk mengembangkan apresiasi abadi terhadap makna sejarah, kompleksitas, dan nilai artistik genre tersebut.
Namun, tentu saja dengan harapan yang masih tersisa, segalanya bukanlah kesuraman dan malapetaka bagi Musik Klasik. Ada upaya untuk merevitalisasi musik klasik dengan pendekatan inovatif dalam pemrograman, presentasi, dan penjangkauan penonton. Dan tanda-tanda bahwa kebangkitan mungkin bisa saja terjadi.
Orkestra kontemporer dan ansambel klasik berupaya mendiversifikasi program mereka dengan menggabungkan musik film populer, musik video game, dan kolaborasi lintas genre untuk menarik demografi penonton yang lebih luas. Selanjutnya, terdapat pula upaya untuk mengintegrasikan Musik Klasik ke dalam konteks interdisipliner, seperti instalasi multimedia, pameran seni digital, dan kolaborasi lintas disiplin. Dengan memadukan Musik Klasik dengan seni visual, teknologi, dan tema kontemporer, eksperimen semacam ini berupaya meningkatkan daya tarik Musik Klasik yang imersif dan interdisipliner, menjalin hubungan dengan penonton modern pada berbagai tingkat sensorik dan intelektual.
Beberapa Institusi mulai menyusun program keterlibatan komunitas yang dirancang untuk memperkenalkan Musik Klasik guna membangun pemahaman dasar dan apresiasi terhadap signifikansi budaya genre tersebut. Dengan mendorong akses terhadap Musik Klasik melalui program sekolah, konser komunitas, dan acara publik, terdapat kemungkinan untuk mengubah persepsi terhadap Musik Klasik sebagai artefak budaya eksklusif dan menunjukkannya sebagai bentuk seni yang dinamis dan mudah diakses yang mampu memperkaya kehidupan kontemporer.
Menurut New York Times, pada tahun 2023 penonton mulai kembali menonton orkestra: “…perubahan haluan terjadi hampir di mana-mana, yang layak untuk dianggap sebagai akibat dari berkurangnya permasalahan kesehatan akibat pandemi ini, khususnya di kalangan penonton yang lebih tua.” Ke depan, harus ada ruang untuk meningkatkan daya tarik penonton dan dukungan finansial agar Musik Klasik bisa mengimbangi rap, hip-hop, dan musik terbaru berikutnya.
No comments:
Post a Comment
Note: only a member of this blog may post a comment.