“Lho, ini film kan, Pak?”. “Iya. Film”. “Kenapa layar kaca, Pak?!..Kenapa bukan layar lebar?!”. “Ya karena kita di Indonesia, film dengan konten seperti ini tidak mungkin tayang di layar lebar alias Bioskop”. Anda bisa menyaksikannya di Netflix. Dan memang, Maestro adalah sebuah film tentang Leonard Bernstein. Salah seorang dirigen paling akabar dalam peradaban estetika manusia.
Maestro sejatinya adalah film drama biografi produksi Amerika tahun 2023 yang berpusat pada hubungan asmara dan rumah tangga antara komposer Amerika Leonard Bernstein dan istrinya Felicia Montealegre.Film ini disutradarai oleh Bradley Cooper yang juga berperan sebagai Leonard Bernstein, dari skenario yang ditulisnya bersama Josh Singer. Tak kepalang tanggung, beberapa nama besar dalam perfilman dunia menjadi produser film ini, yakni Martin Scorsese, Cooper, Steven Spielberg, Kristie Macosko Krieger, Fred Berner, dan Amy Durning. Film ini dibintangi juga oleh Carey Mulligan sebagai Montealegre; Matt Bomer, Maya Hawke, dan Sarah Silverman yang tampil sebagai peran pendukung.
Maestro ditayangkan perdana di Festival Film Internasional Venesia ke-80 pada tanggal 2 September 2023, dan dinominasikan untuk Golden Lion. Film ini mendapat rilis teatrikal terbatas pada 22 November 2023, sebelum dirilis di Netflix pada 20 Desember 2023. Film ini mendapat ulasan positif dari para kritikus dan dinobatkan sebagai salah satu dari 10 film teratas tahun 2023 oleh National Board of Review dan American Film Institute. Film ini juga telah dinominasikan untuk empat Penghargaan Golden Globe.
Leonard Bernstein sendiri, selain sebagai Dirigen atau Conductor atau Pengaba legendaris, juga identik dengan kecemerlangan dalam dunia musik. Bernstein meninggalkan jejak yang tak terhapuskan dalam lanskap budaya abad ke-20. Lahir pada tanggal 25 Agustus 1918, di Lawrence, Massachusetts, Bernstein muncul sebagai seorang jenius yang memiliki banyak segi, dihormati sebagai konduktor, komposer, pianis, dan pendidik. Perjalanan hidupnya menunjukkan komitmen yang tak tergoyahkan terhadap kekuatan transformatif musik dan rasa ingin tahu yang tak terpuaskan yang membentuk kembali dunia Musik Klasik.
Keajaiban musikal awal dalam diri Bernstein, terlihat sejak usia muda. Ia menerima pelatihan formal di Curtis Institute of Music yang bergengsi di Philadelphia. Bakatnya yang luar biasa sebagai seorang pianis mendorongnya menjadi pusat perhatian, bahkan menarik perhatian konduktor terkenal Arturo Toscanini. Bernstein muda melakukan debutnya sebagai konduktor dengan New York Philharmonic pada tahun 1943, menggantikan Bruno Walter yang sedang sakit pada menit-menit terakhir. Kesempatan tak terduga ini menandai awal dari karirnya yang legendaris.
Pada tahun 1957, nama Bernstein menjadi identik dengan teater musikal klasik “West Side Story”, sebuah kolaborasi dengan penulis lirik Stephen Sondheim. Karya terobosan ini, yang menceritakan kembali “Romeo and Juliet” karya Shakespeare, yang digubah dalam lanskap modern, berlatar jalanan berpasir di New York, memadukan Musik Klasik dan Populer dengan mulus. Musiknya, disuguhkan sebagai perpaduan pengaruh Jazz, Latin, dan Klasik, menunjukkan kemampuan serba bisa yang luar biasa dari seorang Leonard Bernstein dan menandai titik balik dalam teater musikal Amerika.
Selain kesuksesannya di Broadway, kontribusi Bernstein terhadap Musik Klasik juga sangat besar. Interpretasinya terhadap repertoar simfoni dicirikan oleh semangat dan intensitas, dengan gaya khas yang menggabungkan perhatian cermat terhadap detail dan rasa drama bawaan. Sebagai direktur musik New York Philharmonic dari tahun 1958 hingga 1969, Bernstein membuat dirinya disayangi oleh penonton di seluruh dunia, membawa Musik Klasik ke demografi yang lebih luas melalui Konser Kaum Muda yang disiarkan di televisi.
Hal semacam itulah, tentu di samping hubungan cinta, asmara, rumah tangga dengan istrinya, yang diadaptasi dengan luar biasa oleh Bradley Cooper. Lengkap dengan semua kontroversi tentang sisi kelam kehidupan seorang Bernstein yang sejatinya adalah Homosexual. Bradley Cooper sendiri (lahir 5 Januari 1975) adalah aktor dan pembuat film Amerika. Dia adalah penerima berbagai penghargaan, termasuk British Academy Film Award dan dua Grammy Awards, selain nominasi untuk sembilan Academy Awards, sembilan Golden Globe Awards, dan Tony Award. Cooper muncul di Forbes Celebrity 100 sebanyak tiga kali dan masuk dalam daftar 100 orang paling berpengaruh di dunia versi Time pada tahun 2015. Film-filmnya telah meraup $11 miliar di seluruh dunia dan dia telah empat kali berada dalam peringkat tahunan aktor-aktor dengan bayaran tertinggi di dunia.
Tentu, saat memerankan Leonard Bernstein, tantangan yang paling berat bagi Bradley Cooper adalah bagaimana ia menghidupkan kembali roh Bernstein saat berada dalam panggung akbar dunia konser musik. Bagi seorang Bradley Cooper, tantangan sedemikian tidaklah terlalu sulit. Banyak pengalaman musikal yang sudah dijalaninya. Termasuk perform lagu SHALLOW bersama penyanyi hebat, LADY GAGA.
Tentu, banyak perbincangan seputar “Maestro” karya Bradley Cooper sejauh ini yang berkisar pada transformasi fisiknya yang mengejutkan untuk menjadi konduktor terkenal Leonard Bernstein, namun persiapan aktor-sutradara-penulis untuk peran tersebut mungkin juga membuat beberapa orang terpesona. Berbicara pada pemutaran film di Los Angeles baru-baru ini dalam percakapan yang dimoderatori oleh pemenang Tony “Hamilton” Lin-Manuel Miranda, Cooper mengungkapkan bahwa dia menghabiskan enam tahun untuk mempelajari cara membawakan musik lebih dari enam menit dengan gaya Bernstein, sehingga dia bisa merekam adegan penting dalam “Maestro” secara langsung di lokasi syuting.
Adegan tersebut seperti menghidupkan kembali pertunjukan Bernstein yang terkenal di London Symphony Orchestra di Katedral Ely pada tahun 1976. Adegan ini adalah adegan yang paling menggairahkan, karena sepenuhnya menampilkan kejeniusan musik Bernstein, sekaligus memamerkan penampilan luar biasa Cooper dalam segala kemegahannya.
“Adegan itulah yang sangat saya khawatirkan, karena dalam pembuatannya, kami melakukannya secara live,”kata Cooper. “Itu adalah Orkestra Simfoni London. Saya direkam secara langsung. Saya harus memimpinnya. Dan saya menghabiskan enam tahun mempelajari cara membawakan musik berdurasi enam menit dan 21 detik.” “Saya bisa mendapatkan gambaran mentahnya ketika saya baru saja menyaksikan Leonard Bernstein [melakukan] di Katedral Ely bersama London Symphony Orchestra pada tahun 1976. Jadi saya mempelajarinya,” tambah Cooper, sambil juga berterima kasih kepada “guru-guru yang luar biasa” seperti Direktur Metropolitan Opera Yannick Nézet-Séguin yang membantunya menyempurnakan pertunjukan. “Nézet-Séguin membuat video lengkap dengan semua petunjuk tentang perubahan tempo dalam mendireksi, sehingga saya memiliki semua materi untuk dikerjakan.”
Setelah anda semua membaca alur dan serba serbi rona The Maestro, sebagai orang millennial yang cuek dan sok hebat, tentu anda akan bertanya. Apa gunanya nonton film begituan. Apa manfaatnya bagi saya? Jawabannya tergantung dari sudut pandang mana anda ingin dijawab. Film The Maestro memang bukanlah tontonan jual bacot para motivator. Bagi sebagian orang juga tidak semenarik Tik Tok yang sensasional berupa anak yang menjawab pertanyaan ibunya secara konyol. Dan jelas, film semacam ini bukan sebuah dokumentasi atau tutorial tentang cara berubah dalam 3 hari untuk mendapat cuan dan menjadi kaya.
Jika anda seorang yang sedikit saja memiliki minat untuk mengapresiasi seni, anda bisa melihat bahwa seni, terutama seni peran dan musik, bukan sebuah entitas yang bisa dilakukan selayang pandang. Untuk bisa menghadirkan sosok Bernstein saat mendireksi, yang hanya 6 menitan, seorang Bradley Cooper menghabiskan waktu 6 tahun untuk memperlajarinya. Sungguh sebuah totalitas yang luar biasa. Dan tentu, totalitas semacam ini perlu dukungan semua aspek. Termasuk sosio kultural. Bradley Cooper tentu tidak dipusingkan dengan bayar pulsa listrik, pulsa internet, iuran BPJS dan tuntutan masyarakatnya bahwa orang bekerja adalah berangkat pagi pulang sore sambil membawa tas.
Bagi anda yang sedikit saja memiliki rasa cinta terhadap musik, anda bisa menikmati film semacam ini sebagai satu asupan tentang seni khususnya musik. Tentu ini terlepas dari sensor dan tata norma yang kontroversial. Anda bisa menyaksikan bagaimana kehidupan seorang Dirigen atau Pengaba legendaris. Bagaimana ia menyiasati hidup. Bagaimana ia bertarung dengan relita sosial melawan rumah tangganya. Bagaimana ia menghadapi rivalitas. Dan bagaimana ia harus tetap elegan dan flamboyan sementara anaknya mendapat bully di sekolah karena gosip dan aib homosexual yang mulai menyeruak. Semua ini adalah cerminan kehidupan itu sendiri. Sekali lagi, terlepas dari tata norma dan tata tabu akan ketelanjangan dan perilaku sexual.
Bagaimanapun juga, Maestro atau The Maestro adalah film tentang tokoh musik. Wajar jika kemudian timbul aliansi pertanyaan dari para guru musik. Kira-kira apa manfaatnya bagi guru musik untuk menonton film semacam ini. Ya jika yang dimaksud manfaat adalah bisa meningkatkan ilmu mengajar anda, atau meningkatkan harkat dan martabat anda untuk bisa dapat cuan dengan lebih banyak murid, jawabannya tentu saja TIDAK BISA. Anda tak akan pernah bisa menjadi Leonard Bernstein. Dan memang TIDAK PERLU untuk menjadi seperti Bernstein. Guru musik dapat menonton film ini untuk mendapat nuansa. Mendapat detail. Mendapat asupan lanskap kultural. Mendapatkan warning atau peringatan bahwa dedikasi total terhadap musik selalu menuntut harga tertentu yang harus ditebus dan dilunasi.
Sebuah film, bagaimanapun riset mendalam telah dilakukan, tentulah tak bisa dilepaskan dari sudut pandang Sutradara dan seleranya. Dan berpangkal dari hal ini, tentu ada kritik yang menyertainya. Maestro pun tak luput dari itu semua.
Ada satu adegan yang terjadi menjelang akhir film dan patut dikritik. Saat itu, lanskap alurnya adalah akhir tahun 1980-an, dan frame telah diperluas ke layar lebar.Efek ini penting untuk dikaji. Bernstein mengendarai Jaguar convertible-nya, sambil menyanyikan lagu R.E.M., “Ini Akhir Dunia yang Kita Ketahui (Dan Saya Merasa Baik-Baik Saja).” Kemudian ada penyanyi utama yakni Michael Stipe meneriakkan lirik “Leonard Bernstein!” Mungkin, bisa jadi, ini adalah sesuatu yang dilakukan Bernstein dalam kehidupan nyata. Sudah jelas bahwa dia sangat memikirkan dirinya sendiri. Menjadi sangat mungkin jika dia sangat tergelitik untuk disebutkan dalam kapasitas ini. Namun dalam sebuah film, penggambaran adegan semacam ini sangat mengejutkan. Dan kapasitas sineas dalam sinematografinya menjadi dipertanyakan.
Tapi... ya sudahlah... Film ini menyisakan kontroversi sebagaimana Leonard Bernstein yang akrab disapa Leny, mewarnai rona hidupnya.
No comments:
Post a Comment
Note: only a member of this blog may post a comment.