Saturday, 31 May 2025

Menggagas Ruang Dialogis - by: Michael Gunadi | Staccato, June 2025

MENGGAGAS RUANG DIALOGIS
By: Michael Gunadi
Staccato, June 2025


Kita sama-sama tahu bahwa jika musik dianggap sebagai produk budaya dan bentuk simbolik, maka musik tersebut merupakan bagian dari kehidupan bermasyarakat. “Sebagai bunyi yang terorganisir, ia mengekspresikan aspek-aspek pengalaman individu dalam masyarakat.”  Sebagai satu bentuk sajian pengalaman bersama atau komunal, musik memobilisasi dan menyatukan kelompok, berkontribusi pada gerakan mereka, khususnya saat musik dipakai untuk mengiringi perayaan dan ritual. Hal ini meletupkan gairah pada kekerasan dan pertarungan kehidupan itu sendiri, begitu juga dengan semangat dan emosi yang meluap-luap. 

 

Singkatnya, hal ini mengungkapkan proses sosial dan politik yang, seperti pengamatan Jean Jacques Rousseau, seorang Filsuf Perancis, “mampu bertindak secara fisik pada tubuh.”  Namun ciri-ciri ini juga terkadang menghadirkan satu teka-teki dalam ranah musik itu sendiri, yang seolah-olah tidak mau dan tidak mampu mengatakan apa pun. Hal ini tentu bertautan dengan Simbolisme dalam musik itu sendiri. 


 

Meskipun semua aktivitas sosial dan budaya terdiri dari makna-makna yang menjadikan bahasa sebagai kode dan norma, yang dianggap sejak eranya Humboldt, kemudian Sapir dan Whorf sebagai penyebab utama terbentuknya masyarakat; musik, meskipun secara nyata bersifat sosial dan ekspresif, tampaknya tidak memiliki makna yang nyata akan kapasitas semantik untuk memenuhi dimensi aktif dan informasional dari sebuah pernyataan. Inilah paradoks dalam ekspresi musik: tanpa mengacu pada gambaran dunia yang terlihat, musik tetap mengungkapkan sesuatu tentang dunia, dan bebas dari ikatan referensial apa pun, bahasanya bergantung pada sesuatu selain dirinya sendiri, meski musik senantiasa mampu membahasakan dirinya sendiri.


Tidak diragukan lagi, inilah sebabnya hubungan dalam membentuk Ruang Dialog antara musik dan politik menjadi terlalu rumit untuk diungkapkan oleh sejarah dan sosiologi. Meskipun tetap selalu mungkin untuk menghubungkan keduanya dengan memeriksa kondisi eksternal di balik penciptaan atau penerimaan karya musik dan bagaimana orang-orang yang berkuasa dalam hal ini tentu para Politisi memanfaatkan musik. Namun sejatinya hal ini hanya mengasumsikan bahwa pertanyaan tentang ekspresi musik dan hubungannya dengan pemikiran sudah terselesaikan. 

 

Tentu saja Paradigma pikir semacam ini mengabaikan fakta bahwa fenomena bunyi, yang diatur oleh hukum alam, tidak akan menjadi musik sebelum dituangkan dalam morfologi dan sintaksis dalam bahasa musik itu sendiri, dan bahwa setiap karya musik menyiratkan hubungan antara alam dan kehidupan sosial. Dengan demikian, hubungan antara musik dan politik kurang berkaitan dengan refleksi keindahan dan kemampuan, misalnya, untuk menjadikan musik lebih estetis, dan lebih pada studi tentang kebenaran dan kemungkinan pengungkapannya di luar batasan alam. bahasa. Dan itulah isi esensial dari Ruang Dialog yang dimaksud.

 

Untuk memulai dari aspek yang paling sederhana, hubungan antara musik dan politik pertama-tama dapat dipertimbangkan dalam lingkup instrumentalisasi. Musik itu seperti politik yang memiliki kekuatan untuk membuat orang percaya atau mengambil tindakan. Dengan menerima dan meyakini bahwa kekuatan ini ada, tanpa mempertanyakan sumbernya, seseorang hanya perlu mengendalikannya untuk memanfaatkannya dan mengatur dampaknya. Kendali dalam konsep ini adalah pengalaman mempelajari musik dalam esensinya dan bukan sekedar belajar memainkan alat musik.

 

Ruang Dialog ini akan dibuka dengan tema sentral yakni respon terhadap musik, salah satu topik paling kuno untuk refleksi musik. Ada yang ingat Rousseau saat di SMA, yang mengingatkan kita bahwa pemerintah Swiss pernah melarang pasukan mereka memainkan ranz des vaches (melodi tradisional para penggembala), karena hal itu menyebabkan mereka yang mendengarkannya menangis dan, dalam keinginan mereka untuk melihat tanah air mereka, akan menimbulkan potensi untuk menjadi pembelot.  



Plato adalah orang pertama yang mengungkapkan perlunya menguasai musik dan menerapkannya untuk melayani keberanian dan kebajikan, tanpa efek nostalgia dan menenangkan. Resep-resep ini konsisten dengan konsepsi metafisik dan etis tentang keindahan yang dikembangkan dalam Timeée dan Philèbe: hubungan antara keindahan kosmologis dan jiwa berdasarkan prinsip-prinsip dasar dunia, yang berdasarkan pada satu keadaan seimbang yang dianggap simetris. Keindahan, bersama dengan proporsi dan kebenaran, adalah salah satu dari tiga karakteristik kebaikan dan, karena efek obyektif dari bentuk musik yang berbeda, akan lebih bijaksana jika menguasai penggunaannya untuk tujuan persatuan politik dan pendidikan warga negara. 

 

Hal ini karena, bagi Plato dan Aristoteles, musik mempunyai fungsi pendidikan, sehingga memerlukan komitmen artistik dari pemerintah. Musik memberikan kualitas tertentu pada karakter dan berkontribusi pada kehidupan yang bijaksana; menurut Frederic Ramel, kepemilikan Kota, setidaknya hingga akhir abad ke-5, diukur berdasarkan keterlibatan artistik warganya. Dalam hal ini tentu termasuk kegiatan bermusik.


 

Dalam konteks yang sama, kita dapat memasukkan upaya otoritas keagamaan, dalam hal ini adalah yang bersifat gerejawi, untuk mengontrol musik guna mengajarkan iman. Kecaman, oleh Paus Yohanes XXII pada tahun 1322, terhadap Ars Nova (teknik baru, bersifat sekuler dan memiliki struktur polifonik)  berhubungan dengan keinginan untuk mendisiplinkan kenikmatan telinga dengan menundukkannya pada tujuan pengabdian, dan membuat kata-kata yang “dianggap “ dapat diakses oleh Tuhan. Dengan kata lain, mohon maaf, Gereja pernah menggunakan liturgi, yang tersembunyi oleh kompleksitas gaya musik baru. 

 

Di sisi lain ada pemikiran seperti yang ditunjukkan oleh Bruno Moysan, istana Cinquecento di Italia melihat perkembangan bahasa musik yang dimaksudkan untuk menggambarkan dan menjelaskan fungsi politik negara. Gaya opera yang muncul dipanggil untuk bertindak dalam politik dengan mewakili keberlanjutan dan legitimasi komunitas yang terorganisir. Gaya modern ini tampak begitu efektif sehingga diimpor ke dalam Gereja, di mana monodi vokal (musik nyanyian ratapan satu suara) yang persuasif secara bertahap menggantikan polifoni tradisional. Di sana kita tentu dapat menemukan adanya pertimbangan mengenai fungsi politik musik dalam mengekspresikan hubungan satu/semua yang dapat ditemukan,tentu saja dalam perkembangan menjadi bentuk lain, yang seringkali disertai kemunculan romantis sosok artis yang sering dianggap “Nabi”, yang menjelma menjadi bersifat transendensi namun sejatinya adalah sekuler, dan terasa sesuai dengan masyarakat yang bersifat demokratis.

 

Sejarah mencatat rangkaian peristiwa yang tak terlupakan, yakni upaya untuk mengendalikan kreasi dan aktivitas musik oleh negara-negara totaliter. Peristiwa tersebut telah menunjukkan betapa besar keyakinan bahwa musik memiliki kapasitas untuk konten yang bermuatan politik. Tidak cukup hanya memahami kutukan Nazi terhadap musik yang disebut "degenere", yang semata-mata berdasarkan warisan para komposer. 

 

Tentu saja, seperti yang diingatkan oleh Laure Schnapper, kriteria utama Reich Ketiga versi Hitler adalah untuk melarang musik tertentu dan melakukan upaya stigmatisasi bahwa para komposer adalah orang “Yahudi”. Kriteria ini tentu saja tidak memadai, bagaimanapun juga; Hitler tidak mempertimbangkan nasib yang dialami oleh Komposer seperti Alban Berg dan Paul Hindemith, misalnya, dan oleh karena itu tidak mencakup referensi pada karakter "Jerman" yang sebenarnya dari komposisi lain yang dirayakan dengan rumusan sebagai "jelas, bersemangat, dan disiplin." Kebijakan musik yang rumit dari Reich era Hitler, di bawah arahan Alfred Rosenberg dan Herbert Gerigk, tidak hanya terdiri dari upaya memperkuat Lexicon der Juden in der Musik; namun juga mengumpulkan warisan folklor, mendukung pengembangan musik yang benar-benar populer dan bersifat sangat Jerman, serta menghasilkan versi sejarah musik yang sesuai dengan kriteria superioritas budaya Jermanik.



Hal yang sangat mencolok dalam hal ini adalah bahwa Ode to Joy, yang sejak ditulis hingga saat ini dipuji sebagai “lambang musik pertama dari nilai moral seni,” bisa menjadi objek klaim chauvinis (pemujaan berlebihan terhadap satu negara), combative (memprovokasi keinginan berperang). Pernyataan Nazi bahwa Klaim klaim semacam itu mengasumsikan, menurut Esteban Buch, bahwa nilai moral dari karya semacam ODE TO JOY nya Beethoven, tidak dapat didasarkan pada bahasanya sendiri dan bahwa hanya kontekstualisasi musik yang mengungkapkan signifikansi politiknya.


Posisi ini memandang musik sebagai bentuk yang hanya mencerminkan dirinya sendiri, karena perbedaan dalam cara penyampaiannya dibandingkan dengan bahasa verbal, dan tidak mampu mengembangkan makna ekstrinsik. Posisi ini, meskipun saat ini paling banyak dipegang, masih tergolong baru dalam sejarah musikologi dan bertentangan, seperti yang akan kita lihat nanti, dengan tempat semantik musik (Bukan semantik bahasa verbal) sebagai bagian penting dari tradisi komposisi Barat.

 

Selain sikap Nazi Hitler dengan konsep Reich ketiganya, ada sikap dalam totalitarianisme Soviet yang tidak kurang angkuh terhadap karya musik dibandingkan dengan yang dipegang oleh Nazi, seperti dilaporkan oleh Gil Delannoi berdasarkan kasus Shostakovich. Analisis yang dia berikan tentang karya musik yang terlibat dalam krisis tahun 1936 dan 1948 menunjukkan bahwa bahasa musik cenderung menunjukkan kepatuhan atau perlawanan melalui kombinasi halus dari ciri-ciri gaya yang diorganisir dalam "implisit” atau tersamar. Ini mengingatkan kita, bagaimanapun, bahwa kekuasaan politik,  mampu memperbudak bahasa musik kepada ideologinya, sehingga menempatkan kemungkinan hubungan yang diperlukan dan dapat dibaca antara musik dan tatanan politik yang sedang mendominasi dunia pada masanya. 



Kita tahu bahwa setelah tahun 1932 Partai Komunis Uni Soviet mencoba untuk mendikte prinsip-prinsip "realism sosialisme," yang lebih mengutamakan ekspresivitas melodi yang ada dalam tradisi nasional. Teori-teori ahli musik Boris Asafyev tentang "intonasi musik" dan asosiasi emosional bertujuan untuk memungkinkan melampaui oposisi antara estetika formal dan ekspresif; dengan menentukan makna logis-konseptual dari musik dan menetapkan kesesuaian antara bentuk dan konten, secara ilmiah. Dalam kelebihannya yang sangat mencolok, proyek semacam itu mengungkapkan sifat mendalam dari instrumentalisme politik musik: Pandangan terhadap realitas dunia dan kehendak untuk mengorganisirlah yang menentukan, dan tidak hanya tujuan utamanya, tetapi juga batasan formal dari ekspresi musik itu sendiri.

 

Meskipun politisasi musik sangat jelas terlihat dalam sistem totaliter seperti Uni Soviet, hal itu tidak dapat disederhanakan hanya menjadi sebuah formula di mana bentuk-bentuk simbolik diinstrumentalisasi oleh otoritas yang berkuasa. Musik dapat dibebani dengan makna politik di luar batasan-batasan pengaturan ini. Opera yang memiliki alur kisah seperti Teater Panggung, adalah yang secara alami cocok untuk mengangkat situasi politik. Namun, ada lebih dari itu, seperti yang dengan senang hati diingatkan oleh Mitchell Cohen: subjek dari sebuah libretto saja tidak menentukan sifat politik dari sebuah opera; karakteristik estetika dari karya musiklah yang mengungkapkan kepada kita masalah politik yang menggerakkannya. 

 

Dengan pemikiran ini, kita dapat membayangkan bahwa, secara paradoks, dalam perselisihan antara Piccinists dan Gluckists yang begitu megah tercermin dalam Capriccio oleh Strauss, yang seakan seperti menyendiri dan merasa terpecah,yang pada tahun 1942, antara tuntutan kata-kata dan kebebasan musik, mendapatkan rumusan pernyataan bahwa prima la musica, dopo le parole (“pertama musik, lalu kata-kata”) menjadi formula utama ekspresi politik; untuk memenuhi tujuan politik itu sendiri. Opera yang sarat makna , tidak dapat dikalahkan oleh kata-kata dan musik yang saja saling bertentangan namun sekaligus juga dapat menegaskan pada saat yang sama. Kita dapat memahami di sini bahwa makna politik dari sebuah opera adalah sesuatu yang berbeda dari cerita politik yang diubah menjadi musik; itu sebenarnya bergantung pada estetika karya tersebut, sebagai “dialektika dari domain yang berbeda, lebih daripada keterikatan paksa dari istilah-istilah yang berlawanan.” Dan di titik inilah sangat perlu adanya aktualisasi gagasan Ruang Dialog.

 

Ruang Dialog adalah semesta keberadaan dengan segala batasan antara musik dan politik. Tentu hal semacam ini bukan dalam pemaknaan Politisasi Musik. Melainkan sebuah keadaan dialogis antara kekuatan musikal dan kekuatan riil kekuasaan yang tentu bersifat politis. Keadaan di Eropa sudah tentu terisi dengan ruang dialog antara musik klasik yang adalah memang budaya Eropa. Keadaan di Indonesia menjadi sangat berbeda. 

 

Di Indonesia, Ruang Dialog dipenuhi dengan semantik verbal. Hal yang sangat berlawanan dengan keadaan di Eropa. Dalam kampanye kampanye politik, seringkali dipaparkan kata kata verbal dan jargon jargon politik yang adakalanya sangat politis dan terpolitisasi. Salah satu keunikan Ruang Dialog di Indonesia adalah upaya pemanfaatan musik untuk “membius” dan menggalang massa partai. Dalam keadaan ini, yang dibutuhkan dan tentu saja dikedepankan adalah musik yang mampu membius dalam artian melenakan dan menghibur massa.

 

Massa dominan yang seringkali dapat “ditampung’ dalam ruang dialog semacam itu adalah massa yang bersifat marjinal. Dalam keterkaitan itulah, musik Dang Dut menjadi “pembicara” yang pas. Semantik verbal dan semantik gramatik musik menjadi tidak penting. Yang terpenting adalah dialog musik dan politik dalam bentuk tawar menawar “kepentingan”. Dan Ruang Dialog semacam ini tentu akan terasa sangat nisbi jika dipertautkan dengan parameter nilai kesenian itu sendiri.



Dalam sidang DPR Republik Indonesia pada 7 Oktober 2024, artis pop Melly Goeslaw melantunkan lagunya tentang ungkapan Jangan Menggantung yang ditujukan agar tak ada lagi penggantungan anggaran. Pada titik ini terbuka satu Ruang Dialog bahwa musik mengkooptasi semantik verbal dan musikal sekaligus. Apakah hasilnya efektif? Tidak penting. Yang utama adalah bahwa saat itu telah digagas dan dinyatakan adanya Ruang Dialog yang skopa semestanya untuk kesejahteraan komunal yakni rakyat dalam satu negara.


No comments:

Post a Comment

Note: only a member of this blog may post a comment.