Sunday 31 March 2024

POLITISASI MUSIK | by: Michael Gunadi | Staccato, April 2024

POLITISASI MUSIK
By: Michael Gunadi
Staccato, April 2024


Apa sih Politisasi itu? Semua upaya untuk menjadikan satu hal menjadi bersifat Politis. Politik berasal dari bahasa Yunani yaitu polis yang artinya negara. Dalam arti luas, politik itu sendiri adalah suatu aktivitas yang dibuat, dipelihara, dan di gunakan untuk masyarakat sebagai upaya untuk menegakkan peraturan yang ada di dalam masyarakat itu sendiri. Terus, apa itu Musik? Secara gampang saja ya. Musik adalah SENI BUNYI. 


Jadi Politisasi Musik adalah upaya menjadikan seni bunyi menjadi bersifat politis. Perlu dicatat dan digaris bawahi, upaya tersebut dapat terencara secara TSM (Terstruktur Sistematik Masif) dapat pula terjadi secara alami dalam napak tilas musik pada peradaban manusia. Pertanyaan berikutnya adalah: “Lho kalau batasan Politik dan/atau Politisasi sebagaimana disebutkan di atas, ya berarti Politisasi Musik itu baik dong”. Ya mari kita bahas kupas dan kita lihat bagaimana duduk soalnya.



Dalam kenyataannya, yakni dalam perjalanan peradaban manusia, Politik tidak selamanya berada dalam satu negara yang “an sich” telah berdiri. Politik bisa berkubang dalam negara yang berupa konsep. Politik bisa berenang berasyik masyuk dalam negara yang berupa ide-ide. Dan disinilah masalah mulai membuncah. Anda tentu masih ingat dan masih akan tetap ingat. Bagaimana satu kelompok tertentu berdasarkan religinya menjadi anti musik. Sikap demikian bagus , baik dan ok saja sebetulnya. Its all about their faith. Banyak anak yang tadinya les Piano, les Ghithar, kemudian terbirit birit berhenti hanya karena parentsnya mengalami “pemahaman baru” dalam kepercayaannya. Ini ok saja. Baik saja. Namun ini politisasi musik. Dan dalam keadaan seperti ini, musik sebagai entitas seni, menjadi korban politisasi. Musik dijauhi oleh persona yang sebetulnya mempunyai HAK untuk memperoleh pendidikan musik dalam kaitannya dengan pembinaan kultur demi mencapai satu generasi yang Humanis.



Tapi ya sudahlah. Sejauh Politisasi Musik macam itu tidak berkembang ke arah “pemaksaan” orang untuk iku anti musik, its ok dan kita toleran adanya. Tentu berbeda jika hal tersebut berkembang menjadi satu arus gerakan yang kemudian menyemai angin kekerasan. Fenomena tersebut, jika toh terjadi, tentu akan berurusan dengan Hukum Negara yang berlaku. Jika kita menelisik alasan untuk mengkooptasi musik dan bermuara pada anti musik, tidak salah sebetulnya. Jujur saja, tidak ada yang salah. Orang memang harus dicegah untuk men”Tuhan”kan musik dan mengabaikan Sang Khaliq. Lalu bagaimana dengan adagium yang mengatakan: BENE QANTARE BIS ORAT. Menyanyi (tentu ini musik dong) yang baik, setara dengan dua kali berdoa.Bagaimana pula dengan Bach yang penggubahan musik dan permainan musiknya adalah satu ritus peribadatan. Sampai di titik ini, kita tidak perlu dan jangan sampai berdebat. Setiap yang imanen memiliki ukuran kebenarannya sendiri. Yang kita pegang tentu adalah bingkai Kebhinnekaan. Namun satu hal yang pasti, Politisasi Musik acapkali menimbulkan Dikotomi.

 

Politisasi Musik sebetulnya sudah setua napak tilas musik itu sendiri. Kita tahu, Beethoven pun mengalami Politisasi Musik. Sinfoni Eroica. Bukti Politisasi Musik yang dialami Beethoven. Bagaimana awalnya ia mempersembahkan Sinfoni tersebut untuk Napoleon Bonaparte. Namun kemudian Beethoven kecewa karena alur Politik Napoleon berbeda dengan idealisme yang sebelumnya kokoh terpatri.



Bagi Beethoven, Musik berada dalam ranah puritas seni. Musik harus jujur. Harus Konsekuaen. Apa adanya. Di jalur lurs. Sementara, tanpa Beethoven sadari, Politik adalah sebuah seni untuk berkompromi. Tak ada garis lurus. Tak ada perseteruan rival abadi. Yang ada hanya persamaan kepentingan. Politisasi Musik semacam ini memang tidak menjadikan musik sebagai korban. Melainkan memberikan satu pemaknaan baru berupa permenungan. Apakah Musik sebagai entitas seni harus terpaku igid, ataukah Musik perlu mendayu bergoyang merayu sesuai alunan irama Politik.

 

Saat Perang Dunia II. Hitler mempolitisasi musik. Hanya ada musik Richard Wagner dan Beethoven. Karya Wagner dan Beethoven secara Politis, mewakili ide dan konsep yang dibangun Hitler. Menteri Propagandanya, Joseph Goebbels dengan gencar melakukan pagelaran konser sebagai propaganda terhadap karya karya Wagner dan beethoven. Dan, ini menariknya, pada awal awal Fasisme berlangsung, masih banyak pemusik Yahudi yang bermain dalam Orkestra Propaganda Goebbels. Ini menjadi menarik karena kemudian memunculkan satu spekulasi. Jika begitu, Holocaust terhadap Yahudi, dasarnya adalah kebencian rasialis atau sebuah manuver Politik semata? Ini menjadi sangat menarik sebetulnya untuk dikaji lebih dalam , juga oleh para Musikolog. Karena Musik terlibat di dalamnya dan ikut sebagai materi Propaganda.

 

Masih dalam arena Perang Dunia II, dunia Musik mengenal nama Wilhelm Furtwangler. Beliau ini Dirigen atau Pengaba Orkestra yang memiliki pengetahuan sangat luar biasa akan musik Wagner dan Beethoven.



Berkali-kali beliau bernegosiasi untuk “menyelamatkan” nyawa pemain Orkesnya yang keturunan Yahudi. Namun akhirnya, Furtwangler harus tunduk dan ikut arus Politisasi Musik. Sosok Wilhelm Furtwangler adalah sosok yang terombang-ambing Politisasi Musik. Hebatnya, setelah Nazi hancur, Furtwangler tetap survive di panggung Orkestra. Beliau adalah contoh seniman yang luwes yang dapat ikut menari sesuai irama Politisasi. Dan ini akhirnya juga memungculkan satu pertanyaan. Apakah idealisme bermusiknya kemudian berupah menjadi “pelacur” seni yang kanan kiri ok? Ataukah Musik sebagai entitas seni memang sudah sewajarnya memiliki kelenturan terhadap nasib keberadaannya.

 

Setelah Perang Dunia II, di Amerika juga terjadi Politisasi Musik. Yakni Politisasi tehadap Musik Jazz. Dalam artikel Staccato beberapa waktu silam, saya menyebutnya sebagai POLITIJAZZ. Fenomenanya adalah ketika para Politisi kulit putih ketakutan akan kekuatan Jazz untuk menjadi musik protes bagi keadaan sosial masyarakat Negro. Langkah yang diambil para politisi kulit putih tersebut adalah menina bobokan, memanjakan, memfasilitasi para pemusik Jazz. Gedung pertunjukan yang Wow. Alat musik termasuk Grand Piano Steinway. Microphone dan teknik perekaman Living Stereo. Semua itu diberikan Cuma dengan satu muara. Agar para pemusik Jazz Negro terlena dan gak bakalan protes.

 

Di Indonesia, keadaannya lebih unik. Politisasi Musik dipakai untuk mengungkap ide ide tentang negara yang merdeka. Lagu lagu Perjuangan digubah dengan menggunakan Tangganada dan struktur Harmoni musik Barat. Ini sebagai sebuah sindiran dan hantaman kultural yang dahsyat bagi hegemoni Penjajah Belanda. Bahwa kultur mereka dipergunakan untuk menyerang keberadaan mereka sendiri. Disamping itu banyak Musik Tradisi yang dipolitisasi. Misalnya kesenian BALO BALO dari Tegal. Musik BALO BALO sebetulnya adalah sebuah Communal Warning. Peringatan bagi para warga desa akan semua arah kebijakan dan agresifitas militer Belanda. Disamping juga merupakan upaya penggalian potensi lokal dalam perlawanan.



Pada era Orde Lama, Presiden Soekarno yang adalah juga seorang seniman, memberi perhatian lebih pada musik Jazz. Jack Lesmana yang sebelumnya Bernama Jack lemmers, diundang ke Istana untuk diberi apresiasi dan dihadiahi satu mobil VW kodok. Namanya pun diganti menjadi JOKO LESMANO yang entah karena apa berubah lagi menjadi Jack Lesmana. Langkah Presiden Soekarno sebetulnya adalah Politisasi Musik. Musik, dalam hal ini Jazz diapresiasi dalam tatanan kenegaraan sebagai sebuah forma musik yang mendidik masyarakat. Bahkan, Combo dari Oom Jack Lesmana membuat rekaman mengiringi lagu karya Bung Karno yang brjudul MARI BERGEMBIRA dalam irama Lenso.

 

Bicara tentang Irama Lenso, juga tidak luput dari Politisasi Musik. Irama Lenso sempat senyap. Karena dipakai untuk mengiringi lagu GENJER GENJER yang dipopulerkan Bing Slamet. Arus Politik saat itu mengidentikkan Irama Lenso dan Genjer Genjer sebagai sebuah seni amoral pada sebuah peristiwa percobaan Kudeta Berdarah di Tanah Air. Disana sini banyak kontroversi. Namun biarlah Sejarah membahasakan dirinya sendiri. Faktanya adalah rangkai peristiwa tersebut adalah sebuah Politisasi Musik.

 

Dalam ranah kehidupan modern, di Indonesia Politisasi Musik dapat dikatakan marak. Kelompok musik SLANK misalnya. Menyuarakan musik anti korupsi. Mereka melakukan Konser di depan Gedung KPK di Jakarta dan diundang langsung oleh Pimpinan KPK pada waktu itu, Bapak Antasari Azhar. Selain upaya fenomenal semacam itu, epresi Politisasi Musik juga sebetulnya kerap terjadi. Musik Ballada dari Iwan fals misalnya. Beberapa kali harus bermanuver untuk dapat menghindari cengkeraman pemberangusan Politisasi Musik. 

 

Hubungan antara musik dan politik, khususnya ekspresi politik yang tertuang dalam lagu, telah terlihat di banyak kebudayaan. Musik dapat mengekspresikan tema anti kemapanan atau protes, termasuk lagu anti perang, namun gagasan pro kemapanan juga terwakili.Hal semacam ini nampak nyata misalnya, dalam lagu kebangsaan, lagu perjuangan, dan bahkan lagu dan musik untuk keperluan kampanye politik. Banyak dari jenis lagu ini yang dapat digambarkan sebagai lagu topikal, karena keterkaitannya dengan satu atau beberapa TOPIK.

 

Meskipun musik mempengaruhi gerakan dan ritual politik, masih juga tidak jelas bagaimana atau sejauh mana masyarakat umum berhubungan dengan musik pada tingkat politik.Memang, kenyataannya Lagu dapat digunakan untuk menggambarkan pesan politik tertentu. Namun, mungkin sekali ada hambatan dalam penyampaian pesan-pesan tersebut. Bahkan pada lagu-lagu politik yang dinyanyikan dengan syair yang terang-terangan sering kali dibentuk dan merujuk hanya pada konteks politik kekinian saja, sehingga pemahaman tentang sejarah dan peristiwa yang menginspirasi lagu tersebut, tetap sangat diperlukan untuk memahami pesan politis sepenuhnya. Sifat pesan tersebut juga dapat bersifat ambigu karena label "musik politik" dapat diterapkan pada lagu-lagu yang hanya membahas subjek politik, lagu-lagu yang menawarkan opini partai politik tertentu saja, atau lagu-lagu yang punya pemaknaan lebih jauh dan menganjurkan tindakan politik tertentu. Oleh karena itu, sebetulnya layak untuk dikritisi akan adanya perbedaan. Misalnya, antara penggunaan musik sebagai alat untuk meningkatkan kesadaran Politis, dan musik sebagai advokasi atau nasehat berpolitik.

 

Sejatinya,sulit untuk memprediksi bagaimana pendengar dan penonton akan merespons musik politik, baik dari segi isyarat aural maupun visual. Misalnya,dalam lingkup ranah pendidikan, Bleich dan Zillmann menemukan bahwa "bertentangan dengan ekspektasi, siswa yang sangat memberontak tidak lebih menikmati video rock yang menantang dibandingkan rekan-rekan mereka yang kurang memberontak, dan mereka juga tidak mengonsumsi lebih banyak musik rock yang menantang dibandingkan rekan-rekan mereka". Hal tersebut setidaknya menunjukkan bahwa mungkin ada, namun sedikit, hubungan antara perilaku dan selera musik. Pedelty dan Keefe berpendapat bahwa "Tidak jelas sejauh mana pesan politik di dalam dan di sekitar musik dapat memotivasi penggemar, menjadi katalis diskusi, atau  berfungsi secara estetis".

 

Namun, sebaliknya, di sisi lain, ada penelitian yang menyimpulkan, bahwa berdasarkan pembacaan lirik dan pertunjukan yang interpretatif, yang disertai dengan penekanan kuat pada konteks sejarah dan kaitannya dengan kelompok sosial, bahwa melalui keadaan sejarah, kondisi budaya, dan kualitas estetika yang disajikan secara tepat, musik populer dapat membantu menyatukan orang-orang untuk membentuk komunitas politik secara efektif.

 

Penelitian terbaru juga menunjukkan bahwa di banyak sekolah di seluruh dunia, termasuk di negara-negara demokrasi modern, pendidikan musik kadang-kadang digunakan untuk tujuan ideologis yaitu menanamkan patriotisme pada anak-anak, dan khususnya pada masa perang yang saat ini dialami oleh beberapa negara termasuk Perang Saudara, nyanyian patriotik dapat meningkat menjadi inspirasi Jingoisme yang merusak. Menurut Oxford English Dictionary, jingoisme adalah "patriotisme ekstrem dalam bentuk kebijakan luar negeri yang agresif". Istilah ini berasal dari Britania Raya, yang menggambarkan tindakan garang terhadap Rusia pada tahun 1870-an.

 

Plato menulis: "inovasi musik penuh bahaya bagi seluruh negara, dan harus dilarang. Ketika mode musik berubah, hukum dasar negara selalu ikut berubah;" Lhooo???!!! Waduh. Meskipun ini ditulis sebagai peringatan, dapat dianggap sebagai pernyataan revolusioner bahwa musik lebih dari sekedar melodi dan harmoni tetapi merupakan gerakan penting dalam kehidupan seluruh umat manusia!!!

 

 

No comments:

Post a Comment

Note: only a member of this blog may post a comment.