INDONESIA TUAN RUMAH
FESTIVAL MUSIK KONTEMPORER ASIA-TENGGARA
Ini sama sekali di luar perhitungan akal yang normal. Bagaimana musik kontemporer indonesia yang merupakan anak yatim-piatu di negeri kita ini bisa menjadi tuan-rumah sebuah hajatan yang menelan biaya sekitar €.60.000,- atau hampir Rp.800.000.000,-.
Berbeda dengan olah-raga yang menjadi anak-emas negara yang senantiasa bergelimang kemewahan dan karena itu penuh intrik dan sering menjadi sumber berbagai hal yang tidak sportif, festival musik ini sangat efisien dan memancarkan aura persahabatan yang sangat sehat.
Ini berkat uluran tangan para ‘orang-tua angkat’ yang tahu menghargai kekuatan musik Indonesia: Goethe Institut, Kedutaan Jerman, Kamar-Dagang Jerman-Indonesia dan sejumlah mitra Jerman dan Indonesia (terutama Universitas Pendidikan Indonesia dan Taman-Budaya Bandung).
Persiapannya dua tahun. Berlangsungnya selama sepuluh hari di Bandung (29 September-8 Oktober), ditambah dua konser di Yogya (10 Oktober) dan di Jakarta (11 Oktober). Ini merupakan Festival Musik Kontemporer Asia-Tanggara yang ke-2 setelah di Malaysia dua tahun yang lalu.
Karena Indonesia dipilih sebagai tuan-rumah festival, Maka jatidiri ke-indonesia-an dijadikan ciri khas festival. Tapi Indonesia terlalu luas untuk dikemukakan seluruh musiknya yang demikian kaya ragamnya. Maka hanya dipilih salah satu musik Indonesia sesuai dengan tempat diselenggarakannya acara utama, yaitu karawitan Sunda.
Para komponis dari Brunei, Cambodia, Indonesia, Laos, Malaysia, Myanmar, Singapore, Thailand, Philippines dan Vietnam ditantang untuk membuat karya khusus dengan pilihan: 1.menggunakan instrumen Sunda saja, 2.barat saja atau 3. persilangan Sunda dan barat. Dan hanya mereka yang usianya tidak lebih dari 35 tahun yang boleh ikut. Hasilnya 70 naskah baru yang masuk, dari jumlah itu kemudian dipilih 10 karya yang terbaik; Indonesia dan Malaysia masing-masing 2 karya, Philippina dan Singapore masing-masing 3 karya.
Kesepuluh karya tersebut menjadi fokus selama sepuluh hari di UPI dan Taman Budaya Bandung: latihan-latihan yang selalu terbuka untuk disaksikan publik, begitu pula loka-karya yang merupakan ajang perdebatan antara kesepuluh komponis muda dan dewan juri yang terdiri dari 9 orang (2 dari Indonesia dan masing-masing seorang dari Jerman, Malaysia, Philippines, Singapore, Swiss, Thailand dan Vietnam). Perdebatan tentang masalah-masalah estetik dan teknik seperti ini, sangat penting artinya bagi komponis, pemain maupun masyarakat awam. Sehingga festival bukan sekadar etalase hasil karya seni yang sudah jadi. Apalagi perdebatannya terbuka dalam sikap kesetaraan antara juri yang siap menerima gagasan-gagasan baru para komponis muda.
Untuk karawitan Sunda disediakan gamelan salendro, sorog dan pelog Kyai Fatahillah pimpinan Iwan Gunawan (suling, saron peking, saron barung, saron demung, gender panerus, gender barung, slenthem dan kendang).
Untuk instrumen barat, didatangkan Ensemble Mosaik dari Berlin pimpinan Robert HP.Platz (flut, oboe, english horn, klarinet, klarinet bas, saxofon alto, perkusi, piano, biolin, biola, cello dan kontrabas).
Hanya satu (komponis perempuan Singapore) dari kesepuluh karya baru, yang cuma menggunakan instrumentasi barat. Sembilan lainnya bergulat dengan mempertemukan dua budaya instrumentasi yang berbeda. Bahkan ada satu (komponis perempuan Malaysia) diantaranya yang membuat instrumen perkusi baru nicophone dan mengawinkannya dengan suling Sunda.
Semula direncanakan akan dipilih 3 pemenang dengan hadiah €.3000,- untuk pemenang pertama, €.2000,- untuk pemenang ke-2 dan €.1000,- untuk pemenang ke-3. Namun dewan juri akhirnya memutuskan 3 pemenang tanpa embel-embel no.1,2,3, semuanya dianggap sederajat dengan hadiah yang sama €.2000,-.
Ini satu lompatan jauh ke depan dibanding dengan sayembara-sayembara yang masih parcaya pada ‘kebenaran tunggal’ yang selalu berdalih demi mendorong prestasi memecahkan rekor !
Tanpa sengaja, festival ini melaksanakan ajaran Ki Ageng Surya Mataram: ‘menang tanpa ngasoraké’ (menang tanpa merendahkan yang lain).
Seluruh acara festival dirancang dan dilaksanakan dengan cermat, rapi dan tuntas gaya Jerman. Juga Universitas Pendidikan Indonesia perlu dijadikan teladan kegesitannya yang anti me-‘layu’ Namun tidak ada gading yang tidak retak.
Akan lebih dahsyat lagi seandainya dalam acara seminarnya dibahas dan diperdengarkan salah satu ciri penting karawitan Sunda: misalnya tarawangsa atau tembang sunda cianjuran. Karena kita biasanya terpaku pada nada-nada saron atau gender yang hanya memuat pelog dan salendro. Sedangkan pesinden, rebab dan tarawangsa bisa menyusup ke nada-nada lebih liar yang menjadi roh karawitan Sunda.
Koizumi (1927-1983),seorang peneliti Jepang, bahkan menganggap bahwa Indonesia mempunyai tangga-nada paling kaya di ‘wilayah pentatonik Asia’, karena Indonesia memiliki berbagai tangga-nada yang ada di Jepang, Korea dan Tiongkok. Mariko Sasaki juga menulis buku sangat penting tentang “Laras Pada Karawitan Sunda”.
Pada acara pembukaan 30 September lalu, ada dua seniman dari Rancakalong memainkan tarawangsa dan jentreng (kacapi kecil yang hanya terdiri dari 7 dawai). Sayang panitia sibuk menerima para tamu yang mulai berdatangan, sehingga gamelan yang begitu dalam dan menyentuh, dibiarkan sendiri di panggung tanpa mendapat perhatian.
Yang penting musik kontemporer Indonesia—si anak yatim piatu—sudah mendapat perhatian dari ‘orang tua angkatnya’.
Matius Shan Boone's work in mixing classical west and east instruments
in contemporary composition.
Catatan Michael Gunadi Widjaja :
- Terima kasih untuk Bpk. Slamet Abdul Syukur yang sudah meluangkan waktu menjadi Penulis tamu di CLASSICAL SPECTRA, mungkin banyak pembaca yang sudah mengetahui. Bpk. Slamet Abdul Syukur adalah salah satu aset negri ini, Bpk.Slamet Abdul Syukur seorang Composer dengan banyak prestasi. Sudah banyak anak bangsa yang dibimbingnya, Saya bisa seperti yang pembaca lihat. salah satu Guru saya Bpk.Slamet Abdul Syukur.
- Dimanapun negara ini menempatkan musik kontemporer, sebagai anak tiri, atau anak Pungut. Satu hal yang pasti MUSIK AKAN TERUS MEMBAHASAKAN DIRINYA SENDIRI.
No comments:
Post a Comment
Note: only a member of this blog may post a comment.