Friday 1 January 2016

"AKANKAH ASA ITU PUPUS?" - by: Michael Gunadi Widjaja

"AKANKAH ASA ITU PUPUS?"
by: Michael Gunadi Widjaja


Asa acapkali digantung setinggi bintang.
Dicari dengan angan yang ngungun.
Manusia nampaknya memerlukan sebuah harapan dan sikap berpengharapan.

Anak, sering kali diperlakukan sebagai insan yang menjadi tumpuan asa.
Pada anaklah asa diberi warna sebagai sikap taqwa, hormat
(dalam berbagai rupa dan tuntutan)
kepada orang tua dan pihak yang dalam pandangan si orang tua layak dihormati.

Menjunjung tinggi semangat ini itu
dan menjadi manusia yang berbudaya dan bersikap halus 
(entah sehalus apa?)

MUSIK BERBALUT TEKNOLOGI
Manusia telah mengenal teknologi. Dengan teknologi itulah dirinya mengetahui dan ada kalanya menjadi tahu. Bahwa asa yang digantungkan pada anak, bisa digapai, salah satunya adalah dengan PENDIDIKAN MUSIK. Tentu musik yang melalui slogan berbalut teknologi, dikatakan BAIK. Dalam kenyataannya, teknologi menyodorkan iklan dan slogan ataupun apapun namanya, tak lepas dan tak lekang dari kedigdayaan sebuah bangsa yang mendominasinya. Jadi jelas, bahwa sejauh yang biasa ditengarai dari produk teknologi, terutama digital, musik yang baik adalah yang sekultur dengan penguasanya.

Tentu hasil akhir cerapannya bukanlah Musik Tradisional lokal. Karena si dominator dan/atau penguasa teknologi kurang “kapitalis,” jika mengedepankan hal semacam itu. Juga bukan Musik Dang Dut, karena si orang tua khawatir anaknya akan bernasib seperti para babu dan tukang-tukang. Musik Pop? Tidak juga. Karena supir pribadinya fasih melantunkan musik yang Pop dan memang sedang Pop(ular). Pilihan kemudian dijatuhkan pada MUSIK KLASIK. Nampak ada sebuah fase penting. Bahwa Musik Klasik di tanah air, dalam hubungannya dengan asa pada anak, dipilih dan terpilih bukan karena para orang tua yakin akan “kebaikan” si Musik Klasik.


PENCITRAAN MUSIK KLASIK DI INDONESIA
Sebetulnya, apa itu Musik Klasik? Terminologi dan leksikografi sudah terlalu banyak menulis tentang batasan per definisinya. Hingga membuat mual karena panjang, lebar, luas, dan dalamnya uraian. Penulis ingin mengajak sidang pembaca untuk mereguk sedikit kesimpulan dari paparan fakta berikut ini. Bagi rata-rata orang Indonesia, baik di metropolitan, kosmopolitan, megapolitan, sampai di desa dusun kampung.

Yang disebut Musik Klasik adalah: musik dengan pencitraan yang khas. Yakni membutuhkan waktu sangat LAMA untuk bisa dikatakan layak. Biaya belajarnya MAHAL dan alat musiknya juga termasuk sangat mahal. Citra berikutnya adalah bahwa Musik Klasik berpadanan dengan GENGSI.

Percuma orang memiliki mobil mewah milyaran, jika anaknya tidak mempelajari Musik Klasik. Seorang pegawai negeri sipil golongan tiga pun, akan merasa naik pamor jika mampu mengkursuskan anaknya belajar Musik Klasik. Musik Klasik juga adalah jenis musik yang menggiurkan dalam angan masa depan. Siapa tahu si anak bisa menjadi pianis top dunia seperti Lang Lang, Ling Ling, Cing Cing, atau siapa lah namanya. Juga siapa tahu anaknya bisa menjadi dirigen orkestra sehingga penghasilannya melebihi megastar Musik Pop yang untuk kenikmatan dunia harus rela pamer belahan dada, pusar, ketiak, dan paha, bahkan bongkahan pantat.



AKHIR DARI MUSIK KLASIK
Ternyata Dunia berputar, waktu bergulir, peradaban, dan nasib melangkah menapaki umur dunia. Makhluk yang bernama EKONOMI membuat ulah. Asa itu pun mendadak terancam pupus. Dan repotnya, pupusnya asa berada dalam rentang semesta dunia. Negara adidaya dan digdaya terpaksa menghitung ulang belanja untuk Musik Klasik. Imbasnya sampai pada keadaan di tanah air.

Lalu bagaimana kelanjutannya? Apakah si asa dibiarkan pupus? Ataukah ada kiat dan upaya jitu untuk memupus si pupus? Dan apa pula kepentingannya, jika dilakukan perjuangan dan usaha mempertahankan keberadaan dan perkembangan Musik Klasik? Inilah yang coba ditawarkan penulis. Bukan sebagai sebuah studi literer nan penuh dengan daftar pustaka. Bukan pula sebagai paparan ilmiah yang sarat dengan catatan kaki yang berkaki-kaki. Melainkan sebuah permenungan. Agar sidang pembaca menjadi pelaku dan bukan seperti lumba-lumba yang dipaksa melakukan sesuatu untuk mendapat ikan kecil.

MUSIK KLASIK: BUDAYA DARI BARAT
Orang silahkan dan boleh saja berujar, bahwa Musik Klasik bersifat universal, milik semua bangsa, dan sebagainya. Namun pada hakekatnya, Musik Klasik adalah sebuah BUDAYA BARAT yang berporos dan berpusat di Eropa. Adalah sebuah omong kosong jika orang dapat bermain Musik Klasik dengan “baik dan benar,” tanpa pernah memahami budaya Eropa.

MUSIK KLASIK DI EROPA DAN AMERIKA
Kita ambil salah satu contoh kecil saja: misalnya pada saat pemusik menafsirkan karya dari Johann Sebastian Bach. Semua tata gramatik, idiomatik, dan gaya retorika Bach mengacu pada era dan periodisasi budaya Eropa. Dan sebetulnya fenomena semacam ini berlaku bagi setiap mazhab musik - tak terkecuali Musik Gamelan. Jika orang ingin sampai pada esensi Musik Gendhing Jawa, tiada lain caranya adalah dia HARUS men-Jawa. Dengan demikian menjadi jelas, bahwa kita tidak mungkin berbicara tentang Musik Klasik tanpa mau tahu tentang perkembangan di Eropa.

Berikutnya adalah Amerika Serikat. Hegemoni, dominasi dan penguasaan teknologinya luar biasa. Tanpa mengutip sumber literer pun saya yakin orang Indonesia paham, bahwa tidak mungkin berbicara musik, apapun mazhabnya, tanpa memantau perkembangan di Amerika Serikat. Rekaman Musik Klasik silahkan saja dibuat di Eropa. Tapi jika sampai pada peredaran perusahaan besar yang Amerika ataupun di Amerika akan bagai gurita mengendalikan pasar. Tak perlu beralasan dan berargumen apapun. Jika pembaca sedikit saja tahu musik, pasti akan mahfum dengan fenomena semacam ini.

MASA SURAM MUSIK KLASIK
Sejak tahun 2008 Eropa dan Amerika Serikat mengalami masa surut dan muram durjanya Musik Klasik. Sumber ilustrasi terpercaya bisa didapat dari situs lembaga penyiaran yang sahih seperti BLOOMBERG. Dalam www.bloomberg.com terdapat sebuah artikel yang menerangkan panjang lebar tentang masa surut Musik Klasik di Eropa dan Amerika Serikat (USA). Peristiwanya dapat disarikan sebagai berikut: bahwa sangat banyak konser Musik Klasik - terutama orkestra, mengalami penundaan yang bermuara pada pembatalan. Orkes nasional  juga dibubarkan dan ditutup entah sampai kapan. Penyebabnya adalah kota dan/atau negara Eropa, juga USA, kesulitan menghidupi Musik Klasik. Hal tersebut diakibatkan oleh laju pertumbuhan ekonomi yang mengarah kepada kebangkrutan.

Khusus di Jerman, pertunjukan Musik Klasik yang menjadi identitas budaya Jerman seperti penampilan karya Richard Wagner dalam sebuah kastil tetap berlangsung hingga hari ini. Namun, jangan pernah lupa, fenomena Wagner di Jerman adalah MATERI TURISME. Jadi agak sulit untuk mengatakan bahwa Musik Klasik masih berjaya dengan bercermin pada fenomena Wagner.

KRISIS EKONOMI DAN DEKADENSI SENI
Sampai dengan saat ini, makhluk bernama EKONOMI yang ulahnya membuat pusing, masih menjadi kambing hitam surutnya kejayaan Musik Klasik. Benarkah hanya ekonomi saja biang keroknya? Sebab di kalangan anak muda khususnya di Eropa terjadi semacam dekadensi nilai apresiasi pada sesuatu yang berbau klasik. Penulis sempat menyaksikannya. Jika kita tamasya ke Eropa, silahkan menanyakan pada muda mudi di sana, dimana bisa didapatkan gereja terdekat. Mereka akan balik bertanya, apa itu gereja? Pengalaman ini tidak sulit didapat di Belanda, Denmark, dan Spanyol. Apa maknanya? Bahwa sesuatu yang klasik rupanya sudah tidak lagi membumi - bahkan di porosnya sendiri, yakni Eropa.

Musik Klasik sepertinya asyik masyuk dalam persenggamaan aristokrasi dan kemapanan selama sekian periode dan dekade. Pertunjukan Musik Klasik yang betul-betul bertujuan apresiasi sangat jarang diminati orang muda. Lalu mungkin sidang pembaca akan dengan beringas membantah. Bagaimana dengan para solis brilian yang masih muda belia itu? Boleh jadi ia memang tergolong laskar pendekar Musik Klasik yang mulai langka. Atau yang tragis, mengapa kita tidak berfikir bahwa si solis nan cemerlang adalah anak yang dibebani asa bergunung-gunung?



ASIA: MASA DEPAN MUSIK KLASIK
Dari derita nestapa Musik Klasik, masih tersembul halilintar menggelegar penuh kejutan. Silahkan sidang pembaca membuka situs resmi perusahaan piano legendaris Bösendorfer. Anda akan dikejutkan dan terkejut bahwa beberapa tahun silam, perusahaan Yamaha Music Corporation, Jepang telah mengakuisisi sebagian terbesar saham perusahaan piano Bösendorfer. Apa maknanya? Piano yang adalah raja segala instrumen dalam Musik Klasik. Bösendorfer yang merupakan sebuah lambang kesempurnaan kerajinan pembuatan piano, sudah beralih tuan kepada Asia.

Ditambah lagi kompetisi piano Chopin yang paling bergengsi di dunia, juaranya adalah seorang pianis dari KOREA. Sudah ada pertanda bahwa Asia mampu mencecap esensi sebuah budaya adiluhung nan lestari yang selama ratusan tahun adalah sebuah elegansi budaya Eropa. Persoalannya adalah, apakah surutnya Musik Klasik di Eropa merupakan peluang bagi Asia untuk mendapat giliran bicara lebih lantang? Tentu maksudnya bukan berjaya di atas penderitaan. Pertanyaan berikutnya adalah apakah kita di Indonesia juga bisa mengambil hikmah? Sekaligus sedikit mengisi “kekosongan” surutnya Musik Klasik pada porosnya.

MIRISNYA KONSER MUSIK KLASIK DI INDONESIA
Penulis ingin mengajak sidang pembaca mengamati konser Musik Klasik di tanah air. Pertama adalah konser artis Musik Klasik lokal dan/atau asing. Sebagai sebuah agenda hal semacam ini sangat bagus. Sebagai katalis minat dan daya apresiasi juga sangat bagus. Jika sebagai indikator tumbuh suburnya Musik Klasik di tanah air, rasanya perlu dikaji berkali-kali. Konser artis baik lokal maupun manca, menuntut biaya yang besar. Jadi publiknya juga adalah mereka yang mampu membayar. Rasanya perlu ada gerakan Classical Music goes to School. Dan ingat, Indonesia bukan hanya Jakarta, Surabaya, Bandung, dan Medan.

Jika para penggiat Musik Klasik memang benar terinspirasi memajukan kehidupan Musik Klasik di tanah air, sebuah tantangan untuk berani mengkonserkan artis dari kota besar hingga ke desa dusun kampung di pelosok tanah air. Tentunya dengan pilihan repertoar yang cerdas. Jenis konser berikutnya adalah konser siswa. Konser siswa selalu terbentur pada gedung pentas. Untuk kelas kota kecil, sulit bahkan langka mencari gedung yang cocok - dalam artian nuansa dan tata bunyi sebagai gedung konser siswa yang belajar Musik Klasik. Di kota besar, gedung pertunjukan sangat mahal. Belum lagi soal perijinan yang juga tidak murah. Gedung milik pemerintah dan/atau pemerintah daerah seringkali sangat parah dari segi profesionalisme manajemen kelayakan guna.



PUBLIKASI DALAM MUSIK KLASIK: NARSISME DAN EGOISME
Setelah konser, mari kita tengok berbagai media publikasi Musik Klasik. Pertama adalah facebook. Terdapat sebuah grup Musik Klasik yang anggotanya mencapai sepuluh ribu orang! Apakah kegiatannya mencerminkan suburnya lahan Musik Klasik di Indonesia? Yang terdapat dalam posting grup tersebut adalah “bagi-bagi partitur gratisan”. Hal yang jelas dalam batas tertentu adalah pelanggaran hak intelektual si komposer. Meski katakanlah sumbernya adalah public domain, tetap harus dipertimbangkan nasib toko buku yang menjual buku-buku musik. 


Walau minat baca orang Indonesia kepada materi digital belum membudidaya. Namun sudah banyak media yang mengulas tentang Musik Klasik. Tentunya dalam era digital seperti sekarang, semua orang bebas berpendapat dan menuangkan buah pikirannya dalam bentuk tulisan. Media yang lazim digunakkan adalah BLOG. Ada sebuah blog yang terdiri dari kumpulan para pemusik yang mencoba juga menuangkan gagasan melalui tulisan. Di satu sisi tentunya hal ini bisa disikapi dengan positif. Tapi di sisi lain kelompok penulis ini seolah-olah menganggap dirinya bisa menjadi HAKIM dan TUHAN dalam menghardik sebuah mutu pertunjukan. Tanpa melakukan penelusuran lebih lanjut secara seksama, mereka merasa mempunyai hak untuk menyebarkan kebencian terhadap suatu grup/kelompok tertentu. Candaan dan narsisme seperti ini merupakan hal yang sangat tidak mendidik, tidak bertanggung jawab, serta memprihatinkan. Konser pianis dunia asal Jerman, Oliver Kern bersama Orkes Gloriamus di Teater Jakarta pada bulan Oktober 2014 lalu adalah salah satu contoh korban manifesto kepongahan pemusik yang mencoba mengasah pena.



WAJAH ORKESTRA MUSIK KLASIK DI INDONESIA
Kulminasi forma Musik Klasik adalah orkestra. Banyaknya anggota dan mahalnya biaya sebuah orkestra, menyertakan kerumitan manajemennya. Penikmat Musik Klasik dihadapkan pada alternatif orkestra yang minim. Pemain orkestra di tanah air mayoritas pemainnya sama, hanya beda baju dan bendera. Apa artinya? Artinya format instrumentasi sebuah orkestra di tanah air masih sangat pincang.

Kita melihat begitu banyak siswa, guru, dan orang sok tahu tentang piano. Namun pemain seksi tiup dan perkusi masih merupakan barang langka. Dan latihan rutin merupakan hal yang sangat sulit dilakukan, karena penyelenggaraan latihan sebuah orkestra menelan biaya yang tidak sedikit. Para pemain pun merangkap sebagai guru musik dan pekerjaan lain, sehingga mengorganisir sebuah orkes untuk berlatih secara rutin dan berfrekuensi layak, amatlah sulit. Keadaan demikian rupanya masih akan bertahan untuk kurun waktu yang lama.

Rupanya kita senantiasa harus mengingat bahwa lebih dari tiga dasa warsa bangsa kita tidak pernah dibangun secara budaya, melainkan diarahkan pada uang dan uang. Era sekarang pun pemerintah pusat dan daerah masih bergulat dengan “cuci piring” sisa pendahulunya sebelum juga menelurkan hasil idealismenya. Sudah tentu perkembangan orkestra tidaklah mungkin menjadi “si anak emas”.



FENOMENA KOMPETISI MUSIK
Bela Bartok, seorang komposer asal Hungaria pernah berkata: “Competition is for HORSE and not for artist!“. Di tanah air, banyak pelaku pendidikan yang menjadikan kompetisi sebagai lahan bisnis semata. Simak saja. sekolah musik yang baru berdiri dua tahun – namanya antah berantah, reputasinya antah berantah. Namun berani membuat sebuah kompetisi piano dengan skala internasional.

Lucunya banyak orang yang tetap mendaftarkan dirinya dalam sebuah kompetisi musik, walau uang pendaftarannya terbilang lumayan mahal. Belum lagi ada fenomena, dimana semua pesertanya mendapatkan piala. Ada satu hal yang menarik disini. Dimana para orang tua sudah keranjingan status prestis dan narsisme. Anaknya harus eksis agar gerbang masa depannya lebih terang. Hal ini tentunya tidak sepenuhnya salah. Pertanyaannya adalah apakah kita rela anak kita dijadikan “kuda pacu” oleh para petualang yang menjadikan kompetisi Musik Klasik sebagai lahan uang?



PENDIDIKAN MUSIK: OLD SCHOOL VS BUDAYA INSTAN
Pamungkas jalan-jalan kita adalah pendidikan Musik Klasik di tanah air. Mutunya baik? Banyak yang berhasil masuk konservatori ternama? Kata BANYAK nampaknya harus dikoreksi. Mari kita lihat perilaku anak usia 4 sampai 12 tahun jaman sekarang. Mereka terbiasa dengan budaya instan. Mereka akrab dengan serbuan industri musik. Mereka bahkan memiliki ranahnya sendiri dalam dunia maya yang bagai candu dari gurita. Anak adalah produk dari jamannya. Ketekunan, kerajinan, respek dalam bingkai pencerapan anak jaman sekarang sangat berbeda dengan kelaziman yang masih kita coba untuk dipegang kendati terseok.

Masih mungkinkah dengan keadaan demikian kita menyodorkan Hanon, Czerny, Duvernoy, dan metode “OLD SCHOOL” kepada mereka? Penulis menjawab TIDAK. Esensi pembelajaran musikal memiliki banyak pilihan ketimbang gaya kuno yang bagi anak sekarang seperti gunting yang mencerabut eksistensinya dari alam nyata. Musik Klasik dalam ranah pendidikannya PERLU DI REDEFINISI. Bahwa Musik Klasik tidak lagi sang jumawa dan satu-satunya penduduk mahligai elegansi seni. Musik Klasik adalah Mazhab - yang harus dipilih dan terpilih dengan keadaan bathin yang cerah tanpa mencerabut ranah nyata.

ASA MENGGELAYUT
Apakah Musik Klasik itu penting untuk tetap hidup dan berkembang? Ya, sejauh ia tidak lagi jumawa dan diusung arogansi manusia-manusia picik sok musikal. Akankah ASA Musik Klasik pupus? Asa akan pupus bukan oleh tekanan ekonomi. Yang lebih mengerikan adalah jika pelaku Musik Klasik menjadi terlalu asik bermasturbasi sampai lupa diri bahwa derap peradaban mengenal modernisme.

No comments:

Post a Comment

Note: only a member of this blog may post a comment.