"AKANKAH ASA ITU PUPUS?"
by: Michael Gunadi Widjaja
Asa acapkali digantung setinggi bintang.
Dicari dengan angan yang ngungun.
Manusia nampaknya memerlukan sebuah harapan dan sikap berpengharapan.
Anak, sering kali diperlakukan sebagai insan yang menjadi tumpuan asa.
Pada anaklah asa diberi warna sebagai sikap taqwa, hormat
(dalam berbagai rupa dan tuntutan)
kepada orang tua dan pihak yang dalam pandangan si orang tua layak dihormati.
Menjunjung tinggi semangat ini itu
dan menjadi manusia yang berbudaya dan bersikap halus
(entah sehalus apa?)
(entah sehalus apa?)
MUSIK
BERBALUT TEKNOLOGI
Manusia telah mengenal teknologi. Dengan teknologi itulah dirinya
mengetahui dan ada kalanya menjadi tahu. Bahwa asa yang digantungkan pada anak,
bisa digapai, salah satunya adalah dengan PENDIDIKAN
MUSIK. Tentu musik yang melalui slogan berbalut teknologi, dikatakan BAIK. Dalam
kenyataannya, teknologi menyodorkan iklan dan slogan ataupun apapun namanya, tak
lepas dan tak lekang dari kedigdayaan sebuah bangsa yang mendominasinya. Jadi
jelas, bahwa sejauh yang biasa ditengarai dari produk teknologi, terutama
digital, musik yang baik adalah yang sekultur dengan penguasanya.
Tentu hasil akhir cerapannya bukanlah Musik Tradisional lokal. Karena si dominator dan/atau penguasa
teknologi kurang “kapitalis,” jika mengedepankan hal semacam itu. Juga bukan Musik Dang Dut, karena si orang tua
khawatir anaknya akan bernasib seperti para babu
dan tukang-tukang. Musik Pop? Tidak
juga. Karena supir pribadinya fasih melantunkan musik yang Pop dan memang
sedang Pop(ular). Pilihan kemudian dijatuhkan pada MUSIK KLASIK. Nampak ada sebuah fase penting. Bahwa Musik Klasik di
tanah air, dalam hubungannya dengan asa pada anak, dipilih dan terpilih bukan
karena para orang tua yakin akan “kebaikan” si Musik Klasik.
Sebetulnya, apa itu Musik Klasik? Terminologi dan leksikografi sudah
terlalu banyak menulis tentang batasan per definisinya. Hingga membuat mual
karena panjang, lebar, luas, dan dalamnya uraian. Penulis ingin mengajak sidang
pembaca untuk mereguk sedikit kesimpulan dari paparan fakta berikut ini. Bagi
rata-rata orang Indonesia, baik di metropolitan, kosmopolitan, megapolitan,
sampai di desa dusun kampung.
Yang disebut Musik Klasik
adalah: musik dengan pencitraan yang khas. Yakni membutuhkan waktu
sangat LAMA untuk bisa dikatakan
layak. Biaya belajarnya MAHAL dan
alat musiknya juga termasuk sangat mahal. Citra berikutnya adalah bahwa Musik
Klasik berpadanan dengan GENGSI.
Percuma orang memiliki mobil mewah milyaran, jika anaknya tidak
mempelajari Musik Klasik. Seorang pegawai negeri sipil golongan tiga pun, akan
merasa naik pamor jika mampu mengkursuskan anaknya belajar Musik Klasik. Musik
Klasik juga adalah jenis musik yang menggiurkan dalam angan masa depan. Siapa tahu si anak bisa menjadi pianis top dunia
seperti Lang Lang, Ling Ling, Cing Cing,
atau siapa lah namanya. Juga siapa tahu anaknya bisa menjadi dirigen orkestra
sehingga penghasilannya melebihi megastar Musik Pop yang untuk kenikmatan dunia
harus rela pamer belahan dada, pusar, ketiak, dan paha, bahkan bongkahan
pantat.
AKHIR
DARI MUSIK KLASIK
Ternyata Dunia berputar, waktu bergulir, peradaban, dan nasib melangkah
menapaki umur dunia. Makhluk yang bernama EKONOMI membuat ulah. Asa itu pun
mendadak terancam pupus. Dan repotnya, pupusnya asa berada dalam rentang
semesta dunia. Negara adidaya dan digdaya terpaksa menghitung ulang belanja
untuk Musik Klasik. Imbasnya sampai pada keadaan di tanah air.
Lalu bagaimana kelanjutannya? Apakah si asa dibiarkan pupus? Ataukah ada
kiat dan upaya jitu untuk memupus si pupus? Dan apa pula kepentingannya, jika
dilakukan perjuangan dan usaha mempertahankan keberadaan dan perkembangan Musik
Klasik? Inilah yang coba ditawarkan penulis. Bukan sebagai sebuah studi literer
nan penuh dengan daftar pustaka. Bukan pula sebagai paparan ilmiah yang sarat
dengan catatan kaki yang berkaki-kaki. Melainkan sebuah permenungan. Agar
sidang pembaca menjadi pelaku dan bukan seperti lumba-lumba yang dipaksa
melakukan sesuatu untuk mendapat ikan kecil.
MUSIK
KLASIK: BUDAYA DARI BARAT
Orang silahkan dan boleh saja berujar, bahwa Musik Klasik bersifat
universal, milik semua bangsa, dan sebagainya. Namun pada hakekatnya, Musik
Klasik adalah sebuah BUDAYA BARAT yang berporos dan berpusat di Eropa. Adalah
sebuah omong kosong jika orang dapat bermain Musik Klasik dengan “baik dan
benar,” tanpa pernah memahami budaya Eropa.
MUSIK
KLASIK DI EROPA DAN AMERIKA
Kita ambil salah satu contoh kecil saja: misalnya pada saat pemusik
menafsirkan karya dari Johann Sebastian
Bach. Semua tata gramatik, idiomatik, dan gaya retorika Bach mengacu pada
era dan periodisasi budaya Eropa. Dan sebetulnya fenomena semacam ini berlaku
bagi setiap mazhab musik - tak terkecuali Musik Gamelan. Jika orang ingin
sampai pada esensi Musik Gendhing Jawa, tiada lain caranya adalah dia HARUS men-Jawa. Dengan demikian menjadi jelas,
bahwa kita tidak mungkin berbicara tentang Musik Klasik tanpa mau tahu tentang
perkembangan di Eropa.
Berikutnya adalah Amerika Serikat. Hegemoni, dominasi dan penguasaan
teknologinya luar biasa. Tanpa mengutip sumber literer pun saya yakin orang
Indonesia paham, bahwa tidak mungkin berbicara musik, apapun mazhabnya, tanpa
memantau perkembangan di Amerika Serikat. Rekaman Musik Klasik silahkan saja
dibuat di Eropa. Tapi jika sampai pada peredaran perusahaan besar yang Amerika
ataupun di Amerika akan bagai gurita mengendalikan pasar. Tak perlu beralasan
dan berargumen apapun. Jika pembaca sedikit saja tahu musik, pasti akan mahfum
dengan fenomena semacam ini.
MASA
SURAM MUSIK KLASIK
Sejak tahun 2008 Eropa dan Amerika Serikat mengalami masa surut dan
muram durjanya Musik Klasik. Sumber ilustrasi terpercaya bisa didapat dari
situs lembaga penyiaran yang sahih seperti BLOOMBERG. Dalam www.bloomberg.com terdapat sebuah artikel
yang menerangkan panjang lebar tentang masa surut Musik Klasik di Eropa dan
Amerika Serikat (USA). Peristiwanya dapat disarikan sebagai berikut: bahwa
sangat banyak konser Musik Klasik - terutama orkestra, mengalami penundaan yang
bermuara pada pembatalan. Orkes nasional
juga dibubarkan dan ditutup entah sampai kapan. Penyebabnya adalah kota
dan/atau negara Eropa, juga USA, kesulitan menghidupi Musik Klasik. Hal
tersebut diakibatkan oleh laju pertumbuhan ekonomi yang mengarah kepada
kebangkrutan.
Khusus di Jerman, pertunjukan Musik Klasik yang menjadi identitas budaya
Jerman seperti penampilan karya Richard
Wagner dalam sebuah kastil tetap berlangsung hingga hari ini. Namun, jangan
pernah lupa, fenomena Wagner di Jerman adalah MATERI TURISME. Jadi agak sulit
untuk mengatakan bahwa Musik Klasik masih berjaya dengan bercermin pada
fenomena Wagner.
KRISIS
EKONOMI DAN DEKADENSI SENI
Sampai dengan saat ini, makhluk bernama EKONOMI yang ulahnya membuat
pusing, masih menjadi kambing hitam surutnya kejayaan Musik Klasik. Benarkah hanya
ekonomi saja biang keroknya? Sebab di kalangan anak muda khususnya di Eropa
terjadi semacam dekadensi nilai apresiasi pada sesuatu yang berbau klasik. Penulis
sempat menyaksikannya. Jika kita tamasya ke Eropa, silahkan menanyakan pada
muda mudi di sana, dimana bisa didapatkan gereja terdekat. Mereka akan balik
bertanya, apa itu gereja? Pengalaman ini tidak sulit didapat di Belanda, Denmark,
dan Spanyol. Apa maknanya? Bahwa sesuatu yang klasik rupanya sudah tidak lagi
membumi - bahkan di porosnya sendiri, yakni Eropa.
Musik Klasik sepertinya asyik masyuk dalam persenggamaan aristokrasi dan
kemapanan selama sekian periode dan dekade. Pertunjukan Musik Klasik yang
betul-betul bertujuan apresiasi sangat jarang diminati orang muda. Lalu mungkin
sidang pembaca akan dengan beringas membantah. Bagaimana dengan para solis brilian
yang masih muda belia itu? Boleh jadi ia memang tergolong laskar pendekar Musik
Klasik yang mulai langka. Atau yang tragis, mengapa kita tidak berfikir bahwa
si solis nan cemerlang adalah anak yang dibebani asa bergunung-gunung?
ASIA:
MASA DEPAN MUSIK KLASIK
Dari derita nestapa Musik Klasik, masih tersembul halilintar menggelegar
penuh kejutan. Silahkan sidang pembaca membuka situs resmi perusahaan piano
legendaris Bösendorfer. Anda akan
dikejutkan dan terkejut bahwa beberapa tahun silam, perusahaan Yamaha Music Corporation, Jepang telah
mengakuisisi sebagian terbesar saham perusahaan piano Bösendorfer. Apa
maknanya? Piano yang adalah raja segala instrumen dalam Musik Klasik. Bösendorfer
yang merupakan sebuah lambang kesempurnaan kerajinan pembuatan piano, sudah
beralih tuan kepada Asia.
Ditambah lagi kompetisi piano Chopin yang paling bergengsi di dunia,
juaranya adalah seorang pianis dari KOREA.
Sudah ada pertanda bahwa Asia mampu mencecap esensi sebuah budaya adiluhung nan
lestari yang selama ratusan tahun adalah sebuah elegansi budaya Eropa. Persoalannya
adalah, apakah surutnya Musik Klasik di Eropa merupakan peluang bagi Asia untuk
mendapat giliran bicara lebih lantang? Tentu maksudnya bukan berjaya di atas
penderitaan. Pertanyaan berikutnya adalah apakah kita di Indonesia juga bisa
mengambil hikmah? Sekaligus sedikit mengisi “kekosongan” surutnya Musik Klasik
pada porosnya.
MIRISNYA KONSER
MUSIK KLASIK DI INDONESIA
Penulis ingin mengajak sidang pembaca mengamati konser Musik Klasik di
tanah air. Pertama adalah konser artis Musik Klasik lokal dan/atau asing. Sebagai
sebuah agenda hal semacam ini sangat bagus. Sebagai katalis minat dan daya
apresiasi juga sangat bagus. Jika sebagai indikator tumbuh suburnya Musik
Klasik di tanah air, rasanya perlu dikaji berkali-kali. Konser artis baik lokal
maupun manca, menuntut biaya yang besar. Jadi publiknya juga adalah mereka yang
mampu membayar. Rasanya perlu ada gerakan Classical Music goes to School. Dan
ingat, Indonesia bukan hanya Jakarta, Surabaya, Bandung, dan Medan.
Jika para penggiat Musik Klasik memang benar terinspirasi memajukan
kehidupan Musik Klasik di tanah air, sebuah tantangan untuk berani
mengkonserkan artis dari kota besar hingga ke desa dusun kampung di pelosok
tanah air. Tentunya dengan pilihan repertoar yang cerdas. Jenis konser
berikutnya adalah konser siswa. Konser siswa selalu terbentur pada gedung
pentas. Untuk kelas kota kecil, sulit bahkan langka mencari gedung yang cocok -
dalam artian nuansa dan tata bunyi sebagai gedung konser siswa yang belajar
Musik Klasik. Di kota besar, gedung pertunjukan sangat mahal. Belum lagi soal
perijinan yang juga tidak murah. Gedung milik pemerintah dan/atau pemerintah daerah
seringkali sangat parah dari segi profesionalisme manajemen kelayakan guna.
PUBLIKASI
DALAM MUSIK KLASIK: NARSISME DAN EGOISME
Setelah konser, mari kita tengok berbagai media publikasi Musik Klasik. Pertama
adalah facebook. Terdapat sebuah grup
Musik Klasik yang anggotanya mencapai sepuluh ribu orang! Apakah kegiatannya
mencerminkan suburnya lahan Musik Klasik di Indonesia? Yang terdapat dalam
posting grup tersebut adalah “bagi-bagi
partitur gratisan”. Hal yang jelas dalam batas tertentu adalah pelanggaran
hak intelektual si komposer. Meski katakanlah sumbernya adalah public domain, tetap harus
dipertimbangkan nasib toko buku yang menjual buku-buku musik.
Walau minat baca orang Indonesia kepada materi digital belum membudidaya.
Namun sudah banyak media yang mengulas tentang Musik Klasik. Tentunya dalam era
digital seperti sekarang, semua orang bebas berpendapat dan menuangkan buah
pikirannya dalam bentuk tulisan. Media yang lazim digunakkan adalah BLOG. Ada
sebuah blog yang terdiri dari kumpulan para pemusik yang mencoba juga
menuangkan gagasan melalui tulisan. Di satu sisi tentunya hal ini bisa disikapi
dengan positif. Tapi di sisi lain kelompok penulis ini seolah-olah menganggap
dirinya bisa menjadi HAKIM dan TUHAN dalam menghardik sebuah mutu pertunjukan. Tanpa
melakukan penelusuran lebih lanjut secara seksama, mereka merasa mempunyai hak
untuk menyebarkan kebencian terhadap suatu grup/kelompok tertentu. Candaan dan
narsisme seperti ini merupakan hal yang sangat tidak mendidik, tidak
bertanggung jawab, serta memprihatinkan. Konser pianis dunia asal Jerman, Oliver Kern bersama Orkes Gloriamus di
Teater Jakarta pada bulan Oktober 2014 lalu adalah salah satu contoh korban
manifesto kepongahan pemusik yang mencoba mengasah pena.
WAJAH
ORKESTRA MUSIK KLASIK DI INDONESIA
Kulminasi forma Musik Klasik adalah orkestra. Banyaknya anggota dan mahalnya
biaya sebuah orkestra, menyertakan kerumitan manajemennya. Penikmat Musik
Klasik dihadapkan pada alternatif orkestra yang minim. Pemain orkestra di tanah
air mayoritas pemainnya sama, hanya beda baju dan bendera. Apa artinya? Artinya
format instrumentasi sebuah orkestra di tanah air masih sangat pincang.
Kita melihat begitu banyak siswa, guru, dan orang sok tahu tentang
piano. Namun pemain seksi tiup dan perkusi masih merupakan barang langka. Dan
latihan rutin merupakan hal yang sangat sulit dilakukan, karena penyelenggaraan
latihan sebuah orkestra menelan biaya yang tidak sedikit. Para pemain pun
merangkap sebagai guru musik dan pekerjaan lain, sehingga mengorganisir sebuah
orkes untuk berlatih secara rutin dan berfrekuensi layak, amatlah sulit.
Keadaan demikian rupanya masih akan bertahan untuk kurun waktu yang lama.
Rupanya kita senantiasa harus mengingat bahwa lebih dari tiga dasa warsa
bangsa kita tidak pernah dibangun secara budaya, melainkan diarahkan pada uang
dan uang. Era sekarang pun pemerintah pusat dan daerah masih bergulat dengan
“cuci piring” sisa pendahulunya sebelum juga menelurkan hasil idealismenya. Sudah
tentu perkembangan orkestra tidaklah mungkin menjadi “si anak emas”.
FENOMENA
KOMPETISI MUSIK
Bela
Bartok, seorang
komposer asal Hungaria pernah berkata: “Competition
is for HORSE and not for artist!“. Di tanah air, banyak pelaku pendidikan
yang menjadikan kompetisi sebagai lahan bisnis semata. Simak saja. sekolah musik
yang baru berdiri dua tahun – namanya antah berantah, reputasinya antah
berantah. Namun berani membuat sebuah kompetisi piano dengan skala
internasional.
Lucunya banyak orang yang tetap mendaftarkan dirinya dalam sebuah
kompetisi musik, walau uang pendaftarannya terbilang lumayan mahal. Belum lagi
ada fenomena, dimana semua pesertanya mendapatkan piala. Ada satu hal yang menarik
disini. Dimana para orang tua sudah keranjingan status prestis dan narsisme. Anaknya
harus eksis agar gerbang masa depannya lebih terang. Hal ini tentunya tidak sepenuhnya
salah. Pertanyaannya adalah apakah kita rela anak kita dijadikan “kuda pacu”
oleh para petualang yang menjadikan kompetisi Musik Klasik sebagai lahan uang?
PENDIDIKAN
MUSIK: OLD SCHOOL VS BUDAYA INSTAN
Pamungkas jalan-jalan kita adalah pendidikan Musik Klasik di tanah air. Mutunya
baik? Banyak yang berhasil masuk konservatori ternama? Kata BANYAK nampaknya
harus dikoreksi. Mari kita lihat perilaku anak usia 4 sampai 12 tahun jaman
sekarang. Mereka terbiasa dengan budaya instan. Mereka akrab dengan serbuan
industri musik. Mereka bahkan memiliki ranahnya sendiri dalam dunia maya yang
bagai candu dari gurita. Anak adalah produk dari jamannya. Ketekunan, kerajinan,
respek dalam bingkai pencerapan anak jaman sekarang sangat berbeda dengan
kelaziman yang masih kita coba untuk dipegang kendati terseok.
Masih mungkinkah dengan keadaan demikian kita menyodorkan Hanon, Czerny, Duvernoy, dan metode “OLD SCHOOL” kepada mereka? Penulis
menjawab TIDAK. Esensi pembelajaran musikal memiliki banyak pilihan ketimbang
gaya kuno yang bagi anak sekarang seperti gunting yang mencerabut eksistensinya
dari alam nyata. Musik Klasik dalam ranah pendidikannya PERLU DI REDEFINISI.
Bahwa Musik Klasik tidak lagi sang jumawa dan satu-satunya penduduk mahligai
elegansi seni. Musik Klasik adalah Mazhab - yang harus dipilih dan terpilih
dengan keadaan bathin yang cerah tanpa mencerabut ranah nyata.
ASA
MENGGELAYUT
Apakah Musik Klasik itu penting untuk tetap hidup dan berkembang? Ya, sejauh
ia tidak lagi jumawa dan diusung arogansi manusia-manusia picik sok musikal. Akankah
ASA Musik Klasik pupus? Asa akan pupus bukan oleh tekanan ekonomi. Yang lebih
mengerikan adalah jika pelaku Musik Klasik menjadi terlalu asik bermasturbasi
sampai lupa diri bahwa derap peradaban
mengenal modernisme.
No comments:
Post a Comment
Note: only a member of this blog may post a comment.