LOMBA GITAR KLASIK:
"FENOMENA BOTOL KOSONG"
by: Michael Gunadi Widjaja
Untuk hal seperti main piano, menyanyi,
main gitar, menari, dalam Bahasa Indonesia diistilahkan sebagai PERLOMBAAN dan
BUKAN PERTANDINGAN. Jadi rupanya, secara semantik hal-hal yang “berbau” seni
dimaknai lebih sebagai pergulatan ide kreatif daripada ajang adu otot yang
berkeringat. Dalam ranah gitar klasik, dikenal dua macam ajang perlombaan:
KOMPETISI dan/atau FESTIVAL. Mohon perhatikan “dan/atau“! Mengapa?
PERBEDAAN FESTIVAL DAN KOMPETISI
Orang sering salah kaprah
menganggap bahwa sebuah festival sama dengan sebuah kompetisi. Anggapan
tersebut sah saja adanya, meski mengundang cibiran: “Ah, apa pula pedulinya? Toh kan hanya istilah saja!” Sebuah FESTIVAL dalam esensinya adalah
perhelatan PESTA. Jadi sebuah
festival TIDAK PERNAH HANYA MENYUGUHKAN
SATU MATA ACARA SAJA. Dalam ranah gitar klasik, sebuah festival lazim
memiliki mata rantai acara: pameran gitar, masterclass, konser artis, workshop
teknik pembuatan gitar, jualan buku dan/atau media rekaman, dan PERLOMBAAN. Sementara
sebuah KOMPETISI, murni hanya
menyuguhkan sesi lomba semata. Jika
dalam kompetisi ada mata acara lain, maka itu adalah sebuah festival.
Di dunia ini sebetulnya
dikenal berbagai macam festival dan/atau kompetisi gitar klasik. Beberapa
diantaranya malah menjadi semacam legenda dan kulminasi prestisius bagi pemain
gitar. Sebut saja misalnya PARKENING
GUITAR EVENT yang hadiah pertama nya sangat menggiurkan. Juga GUITAR FOUNDATION OF AMERICA yang
juaranya selalu disanjung-sanjung sebagai manusia sakti sebagaimana seorang
pianis yang memenangkan Chopin Piano Competition.
Juga festival gitar dalam seri ALTAMIRA yang wow keren dan mahal karena menampilkan “parade” artis gitar klasik
dalam konser dan sesi masterclass nya.
ALASAN KOMPETISI GITAR KLASIK
Sebetulnya apa sih yang
mendasari orang membuat lomba gitar klasik? Macam-macam. Namun sejarah mencatat
bahwa lomba ketrampilan main instrumen musik sudah lama disukai orang. JS. Bach diadu bermain organ. Ludwig van Beethoven diadu 1 lawan 7
orang. WA. Mozart duel mati-matian melawan
Muzio Clementi. Legenda gitar klasik
seperti Francisco Tarrega juga kerap
kali unjuk senar dengan main gitar satu tangan, sementara tangan satunya
memegang cerutu dan tingkah polah lainnya. Jadi agaknya naluri alamiah manusia mendasari diadakannya lomba seni. Juga
sebagai upaya show off tingkat ketrampilan seorang pemusik. Tentu saja selain
ujian kenaikan tingkat. Bisa juga didasari oleh motif ekonomi, berupa promosi produk gitar atau senar merk
tertentu. Dan yang berbahaya BISA JUGA DIDASARI DENGAN MOTIF PETUALANGAN YANG
SEMATA-MATA MENCARI KEUNTUNGAN DENGAN
MENGHALALKAN SEGALA CARA.
Lalu apa sih motivasi orang ikut lomba gitar klasik? Tidak seperti
penyelenggaranya, peserta lomba hampir dipastikan ikut lomba dalam festival
dan/atau kompetisi karena MEMILIKI SEMANGAT
KOMPETITIF YANG BESAR. Semangat kompetitif ini sangat baik dan penting bagi
motivasi untuk terus bermusik. Untuk
ikut festival, sangat tidak gampang. Orang harus memiliki teknik yang mumpuni, pengetahuan
musikalitas yang baik dan benar, ketahanan mental dan fisik, serta jangan lupa:
STRATEGI PERTARUNGAN.
KOMPETISI: TOLOK UKUR KEBERHASILAN MUSISI?
Di Indonesia sebetulnya banyak
gitaris klasik yang dapat dikatakan berhasil melalui ajang lomba. Sebut
beberapa nama. Jubing Kristianto dan
Lianto Tjahjoputro adalah salah
satunya. Mereka disegani karena kapasitasnya sebagai juara festival dan/atau
kompetisi. Lalu ada Royke B. Koapaha, Linda
Soekamta, Alfred Eugene, dan duo keturunan India Mahesh - Suresh Hotmani. Mereka adalah duta Indonesia yang sempat
mengharumkan nama bangsa di ajang lomba gitar klasik. Bagaimana dengan era
sekarang? Stephen Lukman adalah
salah satu gitaris klasik Indonesia yang siap untuk berkompetisi di ajang
Internasional.
Sekarang andai ada pertanyaan,
apa sih yang didapatkan seseorang jika mengikuti lomba gitar klasik dan menang?
Sungguh sebuah pertanyaan yang maha sulit dijawab. Byron Janis, seorang pianis legendaris USA, seumur-umur tidak
pernah mengikuti kompetisi apapun. Evgeny
Kissin, sang maha pianis top markotop seantero planet, hanya pernah sekali
ikut kompetisi dan KALAH pula. Marc
Teicholz, Juara GFA kalah terkenal dengan gitaris yang narsis foto-foto. Samuel Klemke, yang hobinya ikut
kompetisi gitar dan sudah menang lebih dari 60 kali, hidupnya tetap saja
menggendong ransel kesana kemari. Jadi apa untungnya? Kadang semangat bermusik memang mengalahkan
segalanya. Hmmm…
KOMPETISI GITAR KLASIK DI INDONESIA
Tentang motivasi dan benefit, biarlah
itu urusan tiap pribadi peserta kompetisi saja. Mari kita fokus pada lomba yang
berlangsung di tanah air kita. Saya ingin fokus pada yang terjadi dalam lima
tahun belakangan ini saja. Diawali dengan INDONESIA INTERNATIONAL GUITAR
FESTIVAL (IIGF) 2013. Festival ini berskala Internasional, namun berakhir
dengan keputusan juri yang kontroversial. Juara pertama tidak ada sementara semua
hadirin dan kritikus musik, menjagokan Stephen Lukman sebagai The Winner. Ada
berbagai isu yang berkembang dan Majalah Staccato (Agustus 2013) saat itu
meliput juga kejadian kontroversial ini.
Kemudian diadakan lagi JAKARTA
INTERNATIONAL GUITAR FESTIVAL (JIGF), disambung dengan JAKARTA ASIA GUITAR
FESTIVAL (JAGF) 2015. Secara keseluruhan sebetulnya JIGF dan JAGF termasuk
sebuah festival yang baik dan prestisius. Pada JIGF Almarhum Mas Slamet Abdul Syukur menjadi juri, agar
festival memiliki kredibilitas yang positif di mata publik. Lalu hadir pemusik
legendaris non-gitaris. Dan rupanya jejak langkah tersebut diikuti sampai
dengan JAGF yang memasang Aisha
Pletscher (pianis) sebagai juri.
KEPUTUSAN JURI: OBYEKTIF KAH?
Hal yang menggelitik adalah:
apakah sebuah festival dan/atau kompetisi bisa obyektif? Jawabannya adalah
TIDAK AKAN PERNAH! Saya ambil contoh pada JAGF 2015 November lalu. Saat konser
ada seorang juri yang tampil membawakan lagu A. Kemudian pada saat lomba ada
seorang peserta membawakan lagu yang sama dengan lagu si juri pada waktu
konser, malahan si peserta bermain LEBIH BAIK menurut standar kelayakan
bermusik. Pertanyaannya: relakah sang juri? Bisa dibantah dengan: “Lhooooo ‘kan jurinya bukan cuma satu?” OK. That’s true. Tapi jangan lupa, juri
yang “disaingi permainannya“ itu berasal dari Eropa.
Sementara mindset orang Indonesia sampai sekarang adalah selalu
terkagum-kagum pada artis bule dan/atau asing. Fenomena ini bisa saja terjadi, meski
saya yakin penyelenggara pasti berusaha mati-matian untuk mencegah fenomena
sedemikian. Sampai di sini sebetulnya ada fenomena “BOTOL KOSONG” yang sedang
terjadi. Botolnya sih didapat, lha
tapi isinya? Apakah air? Teh? Kopi? Atau malahan “kosong”?! Mohon hal ini jangan
disalah-artikan sebagai SERANGAN, meski terkesan demikian. Namun semata-mata
untuk melindungi kredibilitas panitia
penyelenggara, agar waspada terhadap fenomena botol kosong. Juga agar
khalayak menjadi terang dan cerah untuk dapat menyikapi sebuah ajang lomba
secara proporsional.
FENOMENA BOTOL KOSONG
Fenomena BOTOL KOSONG
sebetulnya terjadi di semua ajang lomba musik. Coba kita renungkan, bagaimana
mungkin seorang Evgeny Kissin bisa kalah dalam sebuah Chopin Piano Competition?
Ya bisa saja, karena BOTOLNYA KOSONG. Kompetisi terselenggara, ada juaranya, hadiah
dibagi, tapi bagaimana isi dari botolnya? Wallahu
alam. Berbagai kepentingan bisa mengadakan conflict of interest dalam sebuah festival. Pesan titipan sponsor,
pesan titipan panitia, belum lagi hasrat seksual yang kotor dari juri ataupun
panitia terhadap peserta.
Yang perlu ditekankan, lomba
gitar klasik itu BUKAN SEPERTI PERTANDINGAN TENIS! Lomba gitar klasik
sebagaimana lomba musik lainnya sangat sarat dengan SUBYEKTIVISME. Sementara hadirin dan kritikus musik TAK DAPAT
BERBUAT APAPUN, karena selalu ada klausul yang menyatakan bahwa KEPUTUSAN DEWAN
JURI ADALAH MUTLAK DAN TIDAK DAPAT DIGANGGU APALAGI DIGUGAT! Jangan heran dan
jangan kaget, jika segelas minuman dan belahan dada serta ketiak bisa mengubah
pendapat juri dalam sekejap.
Untuk ke depannya, silahkan
saja siapapun tetap menyelenggarakan Festival dan kompetisi Gitar Klasik. Meski
sudah menjadi rahasia umum, bahwa ajang perhelatan semacam itu di Indonesia
sementara ini selalu rugi, biarlah… Demi idealisme Anda semua yang katanya
cinta perkembangan gitar klasik di tanah air, silahkan menggelar festival. Hanya
saja, kalau boleh, mohon agar fenomena BOTOL KOSONG tak terjadi dalam festival
yang akan diselenggarakan.
Nilai sebuah ajang musikal
mulai dari ujian kenaikan tingkat, konser, dan lomba sebetulnya adalah PRIDE. Pride ini bukan prestis dan juga
bukan status. PRIDE ADALAH MARTABAT (jangan dijadikan lelucon dan dipelintir jadi
martabak, lho ya!). Jika sebuah ajang perhelatan musik sudah tidak mempunyai
PRIDE, maka ajang tersebut tak ubahnya bagai tontonan PELACUR KEBUDAYAAN.
No comments:
Post a Comment
Note: only a member of this blog may post a comment.