"JAZZ IS DEAD!!!"
by: Michael Gunadi Widjaja
NAMA BAND ASAL AMERIKA
“Jazz
is Dead” sebetulnya adalah nama sebuah band
di Amerika Serikat. Band ini unik karena mengusung lagu Pop yang “abadi” dan
dimainkan dalam cita rasa dan nuansa Jazz. Misi sebenarnya dari band ini adalah
sebuah parodi, sebuah sindiran, bahwa Jazz telah “mati,” sehingga harus
mengusung lagu-lagu yang aslinya sama sekali tidak Jazz. Menjadi menarik,
ketika ternyata Jazz is Dead bukan hanya sebuah nama Band. Namun sebuah
fenomena. Fenomena yang menunjukkan pada kita bahwa Musik Jazz benar-benar telah
mati atau mati suri, atau sekarat.
KRISIS DI AMERIKA
Berawal
pada tahun 2008 di Amerika Serikat. Sebuah pusat pendidikan Musik Jazz, INTERNATIONAL ASSOCIATION OF JAZZ EDUCATOR
(IAJE), kala itu mengumumkan bahwa lembaga ini mengalami kebangkrutan. Yang
menjadi kambing hitam adalah posisi tawar Dollar Amerika (USD) yang sangat
lemah. Langkah itu mempunyai efek domino yang sangat mengejutkan. Serentak Festival
Jazz di pantai timur dan pantai barat USA batal terselenggara. Radio-radio dan
televisi swasta pun malas menyiarkan Jazz, karena dianggap sudah tidak layak
jual. Jurnal-jurnal dan publikasi tentang Jazz juga mendadak berhenti atau
terhenti. Benar-benar sebuah keadaan MATI. Fenomena demikian masih berlanjut
hingga hari ini.
Beberapa
sekolah umum mencoba mempertahankan Musik Jazz, agar tetap diajarkan dalam
kurikulum sekolah umum. Tujuannya agar diperoleh sebuah kelompok pencinta Jazz yang “baru”.
Namun usaha ini nampaknya juga tidak berhasil. Malahan direktur sekolah-sekolah
tersebut tiap hari kebanjiran telpon dan email dari para bintang top Jazz atau
managernya yang mengemis memohon untuk bisa tampil di panggung sekolah. Benar-benar
sebuah keadaan MATI yang menggenaskan dan menyayat hati.
Pertanyaan
yang membuat kita prihatin adalah: Mengapa Musik Jazz yang adalah salah satu
kekayaan budaya di negara super hebat seperti Amerika Serikat bisa mengalami kebangkrutan
dan mati suri? Apakah penyebabnya hanya faktor ekonomi? Sebetulnya banyak
faktor penyebabnya. Mari kita telaah, sembari menarik benang merah dalam
hubungannya dengan keberadaan Musik Jazz di tanah air.
FAKTOR PENYEBAB MATINYA MUSIK JAZZ
Jazz
dalam esensinya adalah musik yang meneriakkan nasib merana orang kulit hitam di
Amerika Serikat. Di zaman sekarang orang kulit hitam di Amerika sudah tidak
merana lagi. Banyak di antara mereka yang sukses di berbagai bidang – olah raga,
seni, budaya, hukum, dan politik. Banyak yang menjadi maha bintang dan mega
star dalam bidang olah raga. Banyak yang menjadi jenderal militer. Banyak yang
menjadi menteri. Dan bahkan ada yang menjadi Presiden. Jika demikian
keadaannya, orang tidak butuh lagi Musik Jazz. Untuk apa Musik Jazz? Kan nasib
sudah baik, maka tidak ada yang perlu diteriakkan lagi. Lalu bagaimana dengan
musik untuk menyuarakan keadaan sosial? Dalam hal ini, Jazz kalah dengan RAP. Rap
mengandalkan kekuatan kata yang sangat lugas melontarkan kritik sosial. Sementara
Jazz, masih asyik bergelut dengan ranah estetika nya sendiri.
Dalam
sisi lain, Jazz adalah seni. Seni memiliki mazhab dan mazhab ditentukan
nasibnya oleh napak tilas peradaban. Jazz sudah menuai masa kejayaannya. Secara
alamiah, pasti akan pupus oleh apa yang disebut sebagai arus MODERNISME. Hal
seperti ini sebetulnya dialami juga oleh Musik Klasik. Jika keadaan di pusat
Jazz sendiri seperti Amerika Serikat sudah bangkrut, bagaimana dengan nasib
perkembangan Musik Jazz di tanah air?
NASIB MUSIK JAZZ DI INDONESIA
Sebetulnya
Indonesia adalah sebuah negara yang unik. Masyarakat berjalan melalui
normatifnya sendiri. Maaf, sedikit berpolitik. Pada era Presiden Gus Dur, Indonesia tidak punya Gubernur
Bank Sentral, karena Gubernur Bank Indonesia waktu itu ditahan di penjara. Anehnya,
negara tidak ambruk walau tidak orang yang memimpin Bank Sentral. Kalau
kejadian tersebut berlangsung di negara lain, pastilah telah terjadi resesi dan
depresi yang luar biasa. Begitu juga dengan musik. Untuk orang Indonesia, ada
atau tidaknya Musik Jazz sama sekali tidak ada maknanya. Tanpa Musik Jazz,
kesenian di Indonesia tetap saja dapat menggeliat dan menarikan tariannya.
Begitu pula sebetulnya dengan Musik Klasik di Indonesia.
Dalam
beberapa hal, Indonesia nampaknya lebih menggeliat seronok dibanding dengan
Amerika Serikat dalam soal Musik Jazz. Jakarta dan Bandung masih memiliki
siaran radio yang selama 24 jam 7 hari seminggu menyiarkan Musik Jazz. TVRI
masih menyediakan sebuah acara khusus Musik Jazz. Komunitas Musik Jazz juga masih
ada beberapa yang hidup. Pemusik-pemusik masih banyak yang melakukan eksperimen
mencampur Musik Jazz dengan Musik Etnik. Festival Jazz juga masih rutin di
gelar di beberapa tempat. Resto dan Cafe masih saja ada yang menyajikan Musik Jazz.
MATI-KAH MUSIK JAZZ DI INDONESIA?
Dari
beberapa even yang disebutkan, nyata bahwa Musik Jazz di tanah air belum mati.
Benarkah? Mari kita lihat satu persatu. Radio Jazz 24 jam. Boss nya jelas
orang yang memiliki idealisme dan integritas tinggi akan Musik Jazz. Persoalannya,
mari kita berdoa bersama agar para Boss macam ini tetap teguh dalam badai
komersialisasi yang makin menggurita. Acara Musik Jazz di TVRI. Sangat bagus, meski
terkadang pengisi acaranya adalah pemusik-pemusik yang baru mulai belajar
bicara Musik Jazz. Kemana yang senior? Bukankah lebih elok, jika senior dan
pemula berada dalam satu scene yang
sama di televisi? Sama halnya dengan Komunitas Musik Jazz dan Radio Jazz. Kita
doakan mereka agar tidak kolaps oleh desakan arus kuat ekonomi.
Kalau
kita perhatikan Festival Musik Jazz di tanah air juga agak unik. Demi menopang pengeluaran,
penyelenggara mendatangkan juga artis dan pemusik yang sama sekali tidak ada
sangkut dan pautnya dengan Musik Jazz. Bagaimana dengan Jazz di resto dan Café?
Baik saja sih. Tapi namanya juga resto dan café. Apa ya bisa sih mengapresiasi
musik di situ? Kalau ada yang berteriak marah dan mengacungkan kepalan tangan
sambil berteriak “BISAAAA!!!” Wah Alhamdulilah wa Syukurilah. Jadi
dengan demikian, Jazz Indonesia tidak bisa dan memang tidak perlu ditengarai
masih hidup atau sudah mati. Indonesia
is Indonesia.
MUSIK JAZZ: APAKAH LAYAK DIPERJUANGKAN?
Sekarang
mari kita sejenak mempermenungkan, apa pentingnya Musik Jazz dipertahankan
hidup? Jawabannya sederhana saja. Jazz adalah satu satunya mazhab (genre) musik yang kenyal untuk melakukan perkawinan BARAT DAN TIMUR, juga Musik Etnik yang lain - tanpa harus
mengorbankan salah satunya.
Jika
kita melakukan pernikahan etnik dalam kerangka Musik Klasik, maka bisa
dipastikan si etnik-lah yang akan “dikorbankan”. Mengapa? Karena Musik Klasik
memiliki sistem tala nada yang dikenal sebagai WELL-TEMPERED. Sedangkan musik
etnik senantiasa memakai ILL-TEMPERED. Maka sebetulnya, jika kita masih
menginginkan suatu dialog yang harmonis berbalut budaya, kita masih memerlukan
Musik Jazz. Bagaimana cara terus menghidupi Musik Jazz, sedangkan di negara
asalnya saja Jazz sudah mati?
UPAYA MENGHIDUPI MUSIK JAZZ
Salah
satu caranya adalah dengan memanfaatkan habis-habisan DUNIA MAYA. Peminat Musik
Jazz harus tetap melakukan rekaman audio dan video, kemudian di-share di situs
seperti YOUTUBE. Itu hal yang paling masuk akal, mengingat konser Musik Jazz
dalam keadaan ekonomi seperti sekarang sangat amat sulit.
Bagaimana
dengan penghasilan para pemusik Jazz? Mengajar Musik Jazz sebisanya? Idealnya pemerintah
ikut campur tangan. Namun ya kita maklum bahwa pemerintah pun punya impian
idealisme dan cita-cita yang harus dinyatakan. Dan kita tidak pernah tahu, seni
musik masuk dalam prioritas nomor berapa. Intinya, alam ini memiliki siklus
budayanya sendiri. Jazz yang mati, sejauh para peminatnya masih setia berjuang.
Suatu saat, entah kapan pasti akan jaya kembali.
Berikut
saya sertakan salah satu kutipan dari Blog “ALSO SPRACH FRAKATHUSTRA” yang
berusaha memerangi kematian Musik Jazz. Nampaknya apa yang disitir dalam blog
ini layak kita tatap tajami.
“Yes,
the International Association of Jazz Educators (IAJE) is gone, which is really
unfortunate given the organization’s unique position as a legitimate
academic society whose sole focus was jazz.
Academia
must play a large role in sustaining the art form, both intellectually as a
branch of musicology and music history, and also as a performance venue with
the necessary infrastructure and resources to embrace an art form with little
commercial appeal.
On
the bright side, a new organization, the Jazz
Education Network (JEN) appeared quickly to take its place; time
will tell if JEN will be able to navigate the difficult terrain between
academia and jazz performance better than the hapless IAJE. Similarly,
magazines have disappeared, but new media outlets (like the blog you’re
reading) are ubiquitous and, like recording technology, inexpensive and
accessible to all.”
Ada
beberapa poin penting yang mendasari arah perjuangan untuk setidaknya “menunda“ kematian Musik Jazz. Yakni
bahwa bentuk asosiasi seperti International
Association of Jazz Educators (IAJE)
yang bangkrut, akan digantikan oleh Jazz
Education Network (JEN) yang
merupakan sebuah networking institution.
Jadi tata kerja dan komunikasinya sungguh sangat hemat biaya.
Juga
para akademia musik, termasuk para musikolog dan bahkan sejarawan musik diminta
untuk setidaknya memiliki “kewajiban
moral”. Agar terus dapat menyelenggarakan
pementasan Musik Jazz. Tentu dalam ruang pertunjukan yang tidak lazim
seperti biasa. Dalam pengertian sebuah ruang pertunjukan yang terbebas dari biaya anggaran
penyelenggaraan yang besar. Hal yang lebih penting lagi adalah bahwa sistem jaringan dapat menjembatani
komunikasi antara para akademia musik dan para pemain di lapangan.
No comments:
Post a Comment
Note: only a member of this blog may post a comment.