Wednesday, 6 January 2016

JAZZ IS DEAD!!! - by: Michael Gunadi Widjaja (Staccato, January 2016)

"JAZZ IS DEAD!!!"
by: Michael Gunadi Widjaja
Staccato, January 2016



NAMA BAND ASAL AMERIKA
“Jazz is Dead” sebetulnya adalah nama sebuah band di Amerika Serikat. Band ini unik karena mengusung lagu Pop yang “abadi” dan dimainkan dalam cita rasa dan nuansa Jazz. Misi sebenarnya dari band ini adalah sebuah parodi, sebuah sindiran, bahwa Jazz telah “mati,” sehingga harus mengusung lagu-lagu yang aslinya sama sekali tidak Jazz. Menjadi menarik, ketika ternyata Jazz is Dead bukan hanya sebuah nama Band. Namun sebuah fenomena. Fenomena yang menunjukkan pada kita bahwa Musik Jazz benar-benar telah mati atau mati suri, atau sekarat.


KRISIS DI AMERIKA
Berawal pada tahun 2008 di Amerika Serikat. Sebuah pusat pendidikan Musik Jazz, INTERNATIONAL ASSOCIATION OF JAZZ EDUCATOR (IAJE), kala itu mengumumkan bahwa lembaga ini mengalami kebangkrutan. Yang menjadi kambing hitam adalah posisi tawar Dollar Amerika (USD) yang sangat lemah. Langkah itu mempunyai efek domino yang sangat mengejutkan. Serentak Festival Jazz di pantai timur dan pantai barat USA batal terselenggara. Radio-radio dan televisi swasta pun malas menyiarkan Jazz, karena dianggap sudah tidak layak jual. Jurnal-jurnal dan publikasi tentang Jazz juga mendadak berhenti atau terhenti. Benar-benar sebuah keadaan MATI. Fenomena demikian masih berlanjut hingga hari ini.

Beberapa sekolah umum mencoba mempertahankan Musik Jazz, agar tetap diajarkan dalam kurikulum sekolah umum. Tujuannya agar diperoleh sebuah kelompok pencinta Jazz yang “baru”. Namun usaha ini nampaknya juga tidak berhasil. Malahan direktur sekolah-sekolah tersebut tiap hari kebanjiran telpon dan email dari para bintang top Jazz atau managernya yang mengemis memohon untuk bisa tampil di panggung sekolah. Benar-benar sebuah keadaan MATI yang menggenaskan dan menyayat hati.

Pertanyaan yang membuat kita prihatin adalah: Mengapa Musik Jazz yang adalah salah satu kekayaan budaya di negara super hebat seperti Amerika Serikat bisa mengalami kebangkrutan dan mati suri? Apakah penyebabnya hanya faktor ekonomi? Sebetulnya banyak faktor penyebabnya. Mari kita telaah, sembari menarik benang merah dalam hubungannya dengan keberadaan Musik Jazz di tanah air.

FAKTOR PENYEBAB MATINYA MUSIK JAZZ
Jazz dalam esensinya adalah musik yang meneriakkan nasib merana orang kulit hitam di Amerika Serikat. Di zaman sekarang orang kulit hitam di Amerika sudah tidak merana lagi. Banyak di antara mereka yang sukses di berbagai bidang – olah raga, seni, budaya, hukum, dan politik. Banyak yang menjadi maha bintang dan mega star dalam bidang olah raga. Banyak yang menjadi jenderal militer. Banyak yang menjadi menteri. Dan bahkan ada yang menjadi Presiden. Jika demikian keadaannya, orang tidak butuh lagi Musik Jazz. Untuk apa Musik Jazz? Kan nasib sudah baik, maka tidak ada yang perlu diteriakkan lagi. Lalu bagaimana dengan musik untuk menyuarakan keadaan sosial? Dalam hal ini, Jazz kalah dengan RAP. Rap mengandalkan kekuatan kata yang sangat lugas melontarkan kritik sosial. Sementara Jazz, masih asyik bergelut dengan ranah estetika nya sendiri.

Dalam sisi lain, Jazz adalah seni. Seni memiliki mazhab dan mazhab ditentukan nasibnya oleh napak tilas peradaban. Jazz sudah menuai masa kejayaannya. Secara alamiah, pasti akan pupus oleh apa yang disebut sebagai arus MODERNISME. Hal seperti ini sebetulnya dialami juga oleh Musik Klasik. Jika keadaan di pusat Jazz sendiri seperti Amerika Serikat sudah bangkrut, bagaimana dengan nasib perkembangan Musik Jazz di tanah air?


NASIB MUSIK JAZZ DI INDONESIA
Sebetulnya Indonesia adalah sebuah negara yang unik. Masyarakat berjalan melalui normatifnya sendiri. Maaf, sedikit berpolitik. Pada era Presiden Gus Dur, Indonesia tidak punya Gubernur Bank Sentral, karena Gubernur Bank Indonesia waktu itu ditahan di penjara. Anehnya, negara tidak ambruk walau tidak orang yang memimpin Bank Sentral. Kalau kejadian tersebut berlangsung di negara lain, pastilah telah terjadi resesi dan depresi yang luar biasa. Begitu juga dengan musik. Untuk orang Indonesia, ada atau tidaknya Musik Jazz sama sekali tidak ada maknanya. Tanpa Musik Jazz, kesenian di Indonesia tetap saja dapat menggeliat dan menarikan tariannya. Begitu pula sebetulnya dengan Musik Klasik di Indonesia.

Dalam beberapa hal, Indonesia nampaknya lebih menggeliat seronok dibanding dengan Amerika Serikat dalam soal Musik Jazz. Jakarta dan Bandung masih memiliki siaran radio yang selama 24 jam 7 hari seminggu menyiarkan Musik Jazz. TVRI masih menyediakan sebuah acara khusus Musik Jazz. Komunitas Musik Jazz juga masih ada beberapa yang hidup. Pemusik-pemusik masih banyak yang melakukan eksperimen mencampur Musik Jazz dengan Musik Etnik. Festival Jazz juga masih rutin di gelar di beberapa tempat. Resto dan Cafe masih saja ada yang menyajikan Musik Jazz.

MATI-KAH MUSIK JAZZ DI INDONESIA?
Dari beberapa even yang disebutkan, nyata bahwa Musik Jazz di tanah air belum mati. Benarkah? Mari kita lihat satu persatu. Radio Jazz 24 jam. Boss nya jelas orang yang memiliki idealisme dan integritas tinggi akan Musik Jazz. Persoalannya, mari kita berdoa bersama agar para Boss macam ini tetap teguh dalam badai komersialisasi yang makin menggurita. Acara Musik Jazz di TVRI. Sangat bagus, meski terkadang pengisi acaranya adalah pemusik-pemusik yang baru mulai belajar bicara Musik Jazz. Kemana yang senior? Bukankah lebih elok, jika senior dan pemula berada dalam satu scene yang sama di televisi? Sama halnya dengan Komunitas Musik Jazz dan Radio Jazz. Kita doakan mereka agar tidak kolaps oleh desakan arus kuat ekonomi.

Kalau kita perhatikan Festival Musik Jazz di tanah air juga agak unik. Demi menopang pengeluaran, penyelenggara mendatangkan juga artis dan pemusik yang sama sekali tidak ada sangkut dan pautnya dengan Musik Jazz. Bagaimana dengan Jazz di resto dan Café? Baik saja sih. Tapi namanya juga resto dan café. Apa ya bisa sih mengapresiasi musik di situ? Kalau ada yang berteriak marah dan mengacungkan kepalan tangan sambil berteriak “BISAAAA!!!” Wah Alhamdulilah wa Syukurilah. Jadi dengan demikian, Jazz Indonesia tidak bisa dan memang tidak perlu ditengarai masih hidup atau sudah mati. Indonesia is Indonesia.

MUSIK JAZZ: APAKAH LAYAK DIPERJUANGKAN?
Sekarang mari kita sejenak mempermenungkan, apa pentingnya Musik Jazz dipertahankan hidup? Jawabannya sederhana saja. Jazz adalah satu satunya mazhab (genre) musik yang kenyal untuk melakukan perkawinan BARAT DAN TIMUR, juga Musik Etnik yang lain - tanpa harus mengorbankan salah satunya.

Jika kita melakukan pernikahan etnik dalam kerangka Musik Klasik, maka bisa dipastikan si etnik-lah yang akan “dikorbankan”. Mengapa? Karena Musik Klasik memiliki sistem tala nada yang dikenal sebagai WELL-TEMPERED. Sedangkan musik etnik senantiasa memakai ILL-TEMPERED. Maka sebetulnya, jika kita masih menginginkan suatu dialog yang harmonis berbalut budaya, kita masih memerlukan Musik Jazz. Bagaimana cara terus menghidupi Musik Jazz, sedangkan di negara asalnya saja Jazz sudah mati?

UPAYA MENGHIDUPI MUSIK JAZZ
Salah satu caranya adalah dengan memanfaatkan habis-habisan DUNIA MAYA. Peminat Musik Jazz harus tetap melakukan rekaman audio dan video, kemudian di-share di situs seperti YOUTUBE. Itu hal yang paling masuk akal, mengingat konser Musik Jazz dalam keadaan ekonomi seperti sekarang sangat amat sulit.

Bagaimana dengan penghasilan para pemusik Jazz? Mengajar Musik Jazz sebisanya? Idealnya pemerintah ikut campur tangan. Namun ya kita maklum bahwa pemerintah pun punya impian idealisme dan cita-cita yang harus dinyatakan. Dan kita tidak pernah tahu, seni musik masuk dalam prioritas nomor berapa. Intinya, alam ini memiliki siklus budayanya sendiri. Jazz yang mati, sejauh para peminatnya masih setia berjuang. Suatu saat, entah kapan pasti akan jaya kembali.

Berikut saya sertakan salah satu kutipan dari Blog “ALSO SPRACH FRAKATHUSTRA” yang berusaha memerangi kematian Musik Jazz. Nampaknya apa yang disitir dalam blog ini layak kita tatap tajami.

“Yes, the International Association of Jazz Educators (IAJE) is gone, which is really unfortunate given the organization’s unique position as a legitimate academic society whose sole focus was jazz.

Academia must play a large role in sustaining the art form, both intellectually as a branch of musicology and music history, and also as a performance venue with the necessary infrastructure and resources to embrace an art form with little commercial appeal.

On the bright side, a new organization, the Jazz Education Network (JEN) appeared quickly to take its place; time will tell if JEN will be able to navigate the difficult terrain between academia and jazz performance better than the hapless IAJE. Similarly, magazines have disappeared, but new media outlets (like the blog you’re reading) are ubiquitous and, like recording technology, inexpensive and accessible to all.”

Ada beberapa poin penting yang mendasari arah perjuangan untuk setidaknya “menunda“ kematian Musik Jazz. Yakni bahwa bentuk asosiasi seperti International Association of Jazz Educators (IAJE) yang bangkrut, akan digantikan oleh Jazz Education Network (JEN) yang merupakan sebuah networking institution. Jadi tata kerja dan komunikasinya sungguh sangat hemat biaya.

Juga para akademia musik, termasuk para musikolog dan bahkan sejarawan musik diminta untuk setidaknya memiliki “kewajiban moral”. Agar terus dapat menyelenggarakan pementasan Musik Jazz. Tentu dalam ruang pertunjukan yang tidak lazim seperti biasa. Dalam pengertian sebuah ruang pertunjukan yang terbebas dari biaya anggaran penyelenggaraan yang besar. Hal yang lebih penting lagi adalah bahwa sistem jaringan dapat menjembatani komunikasi antara para akademia musik dan para pemain di lapangan.

No comments:

Post a Comment

Note: only a member of this blog may post a comment.