KETIKA HANS CHRISTIAN ANDERSEN MENG INDONESIA
Sebuah “teater” multimedia yang menakjubkan.Berikut kupasan
dan ulasan Slamet Abdul Syukur yang saya terjemahkan dari sebuah penerbitan
Perancis
Indonesia
negeri orang-orang gila yang bisa hidup dalam ke mustahilan. Lebih dari
Perancis yang tidak percaya ada yang tidak mungkin.
Beberapa waktu lalu, yang belum terlalu lama . . .
Seorang Slamet Gundono, yang tubuhnya pendek tapi beratnya
104 kg, membawa ukulele kecil berwarna hijau dan menyanyi seperti burung
bulbul. Atau ngomong sendirian dan kadang-kadang sambil diiringi instrumen yang
dia bawa itu. Dia seorang dalang dan menceritakan kembali dongeng Hans
Christian Andersen, dengan caranya sendiri.
Dia berdiri di depan dekor berwarna merah dengan gaya Cina
yang dibuatnya sendiri. Di sisi lain; di panggung yang sama duduk delapan
pemain musik Dutch Chamber Music Ensemble yang dipimpin Ruud van Eeten. Di
situ nanti akan muncul juga Sitok Srengenge, pelaku lain dalam dongeng. Sitok
Srengenge sendiri adalah seorang penyair.
Secara Mendadak, musik elit dan “hiburan rakyat” sudah tidak
bisa dibedakan lagi, tembok tebal yang memisahkannya selama ini, hilang. Ruang
pertunjukan dipadati kawula muda, kursi-kursi terpaksa disingkirkan dan bahkan
di luar masih di pasang layar tancap raksasa agar dapat ditonton oleh mereka
yang tidak mendapat tempat di dalam. Festival Burung Bulbul (yang) berkeliling dari Jakarta ke Bandung, Solo, Yogya dan
Surabaya.
Burung
Bulbul dan Kaisar Tiongkok,
dongeng yang ditulis pengarang Denmark Hans Christian Andersen, telah menjadi
karya musik beserta dalang. Komposernya adalah Theo Loevendie,dari Belanda.
Ceritanya terjadi di kekaisaran Tiongkok zaman dulu. Cerita tentang seekor
burung bulbul, burung betulan, dan burung-robot tiruannya.
Slamet Gundono yang raksasa itu bisa
berubah menjadi burung bulbul yang mungil. Ajaib !
Ada kalanya dia menampakkan diri di depan dekor merah,
sebagai actor yang luar biasa.Pada saat-saat lainnya dia menghilang di balik
dekor untuk menggerakkan wayang-wayang yang dibuat khusus untuk acara ini.
Burung bulbul satunya lagi, sebuah robot kecil, menjadi
sumber kegembiraan bagi para spesialis untuk mengadakan seminar-seminar tentang
kecermatan dan kehebatan otak manusia . Bagi Sitok Srengenge pelaku burung
tiruan ini, semuanya sudah dirancang sebelumnya, semuanya sudah dapat diduga,
maka tinggal membaca naskah saja, semuanya beres.
Ternyata………
Wah ! Tidak begitu !
Mestinya dia hafal naskahnya seperti yang sudah diteladani
Malcolm McDowell, seorang actor sejati yang pernah dipercayai memegang peran
utama dalam film Kubrik CLOCKWORK ORANGE atau dalam film Gore Vidal CALIGULA. Burung bulbul tiruan yang
dihadiahkan kaisar Jepang pada kaisar Tiongkok itu, sekalipun ada
kekurangannya, robot tersebut tetap indah penuh dengan batu-batu permata.
Perbedaan antara seorang penyair yang membaca naskah seperti
anak sekolah, burung bulbul yang aneh dan luar biasa serta ansambel musik yang
tidak sekadar betul intonasinya, tidak menjadi masalah bagi penonton. Mereka
semua gembira. Orang-orang Indonesia
mudah terpukau oleh keindahan dan tidak terlalu tertarik untuk bersikap kritis.
Sebelum The Nightingale (Burung Bulbul) karya Theo Loevendie, disuguhkan
dulu musik komponis Belanda lainnya, Roderik de Man, The
Surprising Adventures of the Baron Munchausen, berdasarkan peristiwa nyata yang tidak masuk akal. Sebuah
catatan perjalanan Friedich di Rusia. Dia hidup antara 1720-1797. Suatu
pengalaman yang demikian mencengangkan , sampai akhirnya hanya dianggap sebagai
sekadar bualan yang luar biasa. Ini menyedihkan dan dia mati dengan sakit hati.
Dari buku yang ditulis oleh Rudolf Eric Raspe, diterjemahkan ke dalam bahasa
Belanda oleh Godfried, diolah kembali oleh komponis serta dibaca oleh Sitok
Srengenge.
Sebagai ilustrasi musiknya, ditayangkan juga di layar lebar
di samping panggung, goresan-goresan disain yang sangat bagus Gustav Doré.
Semua ini mengingatkan pertunjukan ‘all stars’. Kita hidup di jaman multimedia.
Begitu rumitnya ! Kita dimanjakan oleh teknologi. Hanya saja
pertanyaannya apakah ini bukan kemajuan yang berjalan mundur? Kemampuan kita
berkhayal, secara halus dibunuh oleh kemudahan. Tentunya ada cara lain
memanfaatkan video dengan sikap yang jauh lebih kreatif.
Dari segi musik, kedua karya The
Nightingale
dan The Baron sama kuatnya dengan L’Histoire du Soldat – Strawinsky yang keterbatasan
instrumentasinya dijadikan acuan untuk festival ini. Bahkan bisa menimbulkan
kesan sepertinya ketiga karya itu dibuat pada tahun yang sama. Padahal
kerjasama Strawinsky-Ramus, terjadi hampir seratus tahun yang lalu. Itu
artinya, kedua komponis tersebut berbeda dari umumnya para komponis muda yang
mudah hanyut oleh hal-hal yang baru. Loevendie dan Man sudah menemukan jati
dirinya dan tahu betul bahwa mereka tidak perlu menjadi Ligeti, Xenakis atau
lainnya.
No comments:
Post a Comment
Note: only a member of this blog may post a comment.