Saturday, 9 March 2013

KETIKA HANS CHRISTIAN ANDERSEN MENG INDONESIA

KETIKA HANS CHRISTIAN ANDERSEN MENG INDONESIA





Sebuah “teater” multimedia yang menakjubkan.Berikut kupasan dan ulasan Slamet Abdul Syukur yang saya terjemahkan dari sebuah penerbitan Perancis



Indonesia negeri orang-orang gila yang bisa hidup dalam ke mustahilan. Lebih dari Perancis yang tidak percaya ada yang tidak mungkin.

Beberapa waktu lalu, yang belum terlalu lama . . .

Seorang Slamet Gundono, yang tubuhnya pendek tapi beratnya 104 kg, membawa ukulele kecil berwarna hijau dan menyanyi seperti burung bulbul. Atau ngomong sendirian dan kadang-kadang sambil diiringi instrumen yang dia bawa itu. Dia seorang dalang dan menceritakan kembali dongeng Hans Christian Andersen, dengan caranya sendiri.



Dia berdiri di depan dekor berwarna merah dengan gaya Cina yang dibuatnya sendiri. Di sisi lain; di panggung yang sama duduk delapan pemain musik Dutch Chamber Music Ensemble yang dipimpin Ruud van Eeten. Di situ nanti akan muncul juga Sitok Srengenge, pelaku lain dalam dongeng. Sitok Srengenge sendiri adalah seorang penyair.

Secara Mendadak, musik elit dan “hiburan rakyat” sudah tidak bisa dibedakan lagi, tembok tebal yang memisahkannya selama ini, hilang. Ruang pertunjukan dipadati kawula muda, kursi-kursi terpaksa disingkirkan dan bahkan di luar masih di pasang layar tancap raksasa agar dapat ditonton oleh mereka yang tidak mendapat tempat di dalam. Festival Burung Bulbul (yang)  berkeliling dari Jakarta ke Bandung, Solo, Yogya dan Surabaya.

Burung Bulbul dan Kaisar Tiongkok, dongeng yang ditulis pengarang Denmark Hans Christian Andersen, telah menjadi karya musik beserta dalang. Komposernya adalah Theo Loevendie,dari Belanda. Ceritanya terjadi di kekaisaran Tiongkok zaman dulu. Cerita tentang seekor burung bulbul, burung betulan, dan burung-robot tiruannya.



Slamet Gundono yang raksasa itu bisa berubah menjadi burung bulbul yang mungil. Ajaib !
 
Ada kalanya dia menampakkan diri di depan dekor merah, sebagai actor yang luar biasa.Pada saat-saat lainnya dia menghilang di balik dekor untuk menggerakkan wayang-wayang yang dibuat khusus untuk acara ini.

Burung bulbul satunya lagi, sebuah robot kecil, menjadi sumber kegembiraan bagi para spesialis untuk mengadakan seminar-seminar tentang kecermatan dan kehebatan otak manusia . Bagi Sitok Srengenge pelaku burung tiruan ini, semuanya sudah dirancang sebelumnya, semuanya sudah dapat diduga, maka tinggal membaca naskah saja, semuanya beres.

Ternyata………
Wah ! Tidak begitu !

Mestinya dia hafal naskahnya seperti yang sudah diteladani Malcolm McDowell, seorang actor sejati yang pernah dipercayai memegang peran utama dalam film Kubrik CLOCKWORK ORANGE atau dalam film Gore Vidal CALIGULA. Burung bulbul tiruan yang dihadiahkan kaisar Jepang pada kaisar Tiongkok itu, sekalipun ada kekurangannya, robot tersebut tetap indah penuh dengan batu-batu permata.

Perbedaan antara seorang penyair yang membaca naskah seperti anak sekolah, burung bulbul yang aneh dan luar biasa serta ansambel musik yang tidak sekadar betul intonasinya, tidak menjadi masalah bagi penonton. Mereka semua gembira. Orang-orang Indonesia mudah terpukau oleh keindahan dan tidak terlalu tertarik untuk bersikap kritis. 

Sebelum The Nightingale (Burung Bulbul) karya Theo Loevendie, disuguhkan dulu musik komponis Belanda lainnya, Roderik de Man, The Surprising Adventures of the Baron Munchausen, berdasarkan peristiwa nyata yang tidak masuk akal. Sebuah catatan perjalanan Friedich di Rusia. Dia hidup antara 1720-1797. Suatu pengalaman yang demikian mencengangkan , sampai akhirnya hanya dianggap sebagai sekadar bualan yang luar biasa. Ini menyedihkan dan dia mati dengan sakit hati. Dari buku yang ditulis oleh Rudolf Eric Raspe, diterjemahkan ke dalam bahasa Belanda oleh Godfried, diolah kembali oleh komponis serta dibaca oleh Sitok Srengenge.

Sebagai ilustrasi musiknya, ditayangkan juga di layar lebar di samping panggung, goresan-goresan disain yang sangat bagus Gustav Doré. Semua ini mengingatkan pertunjukan ‘all stars’. Kita hidup di jaman multimedia.

Begitu rumitnya ! Kita dimanjakan oleh teknologi. Hanya saja pertanyaannya apakah ini bukan kemajuan yang berjalan mundur? Kemampuan kita berkhayal, secara halus dibunuh oleh kemudahan. Tentunya ada cara lain memanfaatkan video dengan sikap yang jauh lebih kreatif.

Dari segi musik, kedua karya The Nightingale dan The Baron sama kuatnya dengan L’Histoire du Soldat – Strawinsky yang keterbatasan instrumentasinya dijadikan acuan untuk festival ini. Bahkan bisa menimbulkan kesan sepertinya ketiga karya itu dibuat pada tahun yang sama. Padahal kerjasama Strawinsky-Ramus, terjadi hampir seratus tahun yang lalu. Itu artinya, kedua komponis tersebut berbeda dari umumnya para komponis muda yang mudah hanyut oleh hal-hal yang baru. Loevendie dan Man sudah menemukan jati dirinya dan tahu betul bahwa mereka tidak perlu menjadi Ligeti, Xenakis atau lainnya.

No comments:

Post a Comment

Note: only a member of this blog may post a comment.