Saturday, 30 March 2013

Artikel @ Audio Pro Maret 2013


TIPS SEPUTAR HOME RECORDING
 Artikel Audio Pro, Maret 2013
oleh: Michael Gunadi Widjaja


Home recording sekarang ini sepertinya sudah tak dapat dipisahkan dari gaya hidup sekaligus keberadaan para pemusik.Dengan home recording berbagai ide musical dapat diramu,diolah dan sekaligus disajikan.Bukan saja sebagai keperluan dokumentasi,melainkan dapat juga berbicara dan bersaing di pasar industry music.Banyak hasil rerkaman home recording yang mampu menjuadi lahan kehidupan yang menjanjikan bagi para pemusik.

Menjadi menarik untuk sejenak mencermati Home Recording.Ditinjau dari efisiensi penggunaan piranti,sekaligus mencoba sedikit mengevaluasi,jika kita telah memiliki home recording sendiri.Tak ada ruginya mengingat kembali,bahwa pijakan utama kita saat membangun home recording adalah BUDGET.Sebuah home recording dapat terbangun dengan biaya sangat minimal,sekaligus juga memakan biaya yang begitu besar hingga tak terhitung.Untuk itulah,pijakan pertama kita seyogyanya adalah BUDGET dan tetap kukuh untuk berpegang pada budget kita.

Budget yang telah kita tetapkan dan kita usahakan agar tak banyak bergeser,mengandung konsekuensi.Yakni kita harus membuat SKALA PRIORITAS.Misalkan kita ingin membangun home recording dengan jalur vocal sebagai unggulan,prioritas kita tentulah pada anggaran piranti vocal yang lebih utama.Sedangkan jika home recording kita ingin difokuskan pada mixing ataupun mastering tentu piranti mixing (bukan hanya mixer) yang akan kita prioritaskan.Prioritas dalam artian mendapat pos anggaran yang paling besar.

Hal berikutnya yang perlu mendapat perhatian extra adalah,SENANTIASA TANGGAP DAN KRITIS TERHADAP IKLAN.Sebuah microphone yang diiklankan sebagai sangat superior,belum tentu pas dan cocok dengan kebutuhan kita.Adalah baik jika senantiasa diingat bahwa Home Recording adalah sebuah system.Misal microphone kita sangat mahal,namun piranti lainnya tidak match dengan microphone tersebut,hasilnya juga akan tersia-sia.

Sekarang misalnya kita telah menset budget dan sudah punya gambaran piranti apa saja yang akan kita beli.Kita masih harus mengatur mindset kita.Bahwa home recording adalah sebuah sisterm.Dan dalam system yang demikian,peranan perasngkat lunak,yakni sumber daya manusia,sangatlah mutlak.Senantiasa cermati kemampuan kita.Serta terus berusaha untuk mengembangkan teknik recording kita.Dalam keadaan nyata,sebuah produksi rekaman yang luar biasa,hadir bukan karena kecanggihan piranti.Melainkan karena ketrampilan dan teknis sound engineering nya.Tentu,pengalaman juga merupakan hal penting.Tidak aka nada gunanya,jika kita membeli satu set perlengkapan home recording super canggih,namun teknik dan ketrampilan kita hanya sebatas operator sound untuk khitanan belaka.


Berikut ini kita akan menelisik lebih dalam,elemen-elemen utama di dalam home recording:

Vocal yang layak
Banyak orang yang menginginkan hasil vocal yang “tebal” sebagai hasil dari olahan home recordingnya.Hal ini dapat5 dicapai bukan semata karena microphone yang sangat bagus,melainkan juga teknik yang mumpuni.Intinya adalah mengatur overdub,atau menumpuk track vocal,sembari melakukan pengaturan pada kadar reverb.Tentu kadar reverb di sini adalah sebuah “ruang maya” hasil rekaan DSP berupa aliran sinyal digital.

Tips yang sederhana adalah : Take lead vocal terlebih dahulu.hasilnya harus diolah agar setidaknya mendekati keinginan kita.Setelah itu,take vocal kembali.Namun kali ini dicoba dengan berdiri sekitar 3 feet dari mic,disbanding posisi semula.Take kedua digabung atau overdub dengan take vocal pertama.Setelah itu baru diatur parameter simulasi,dalam hal ini reverb,pada DSP.Bisa juga ditambahkan sedikit delay.Tapi ini hanya penebal dan pemanis belaka.Berapa itu besar tambahannya,tergantung sumber vocal dan sekali lagi teknik dan pengalaman kita.

Merekam Gitar Elektrik dengan Home Recording
Sudah menjadi rahasia umum,bahwa bunyi gitar listrik,paling ideal adalah dengan miking pada speker amplifier nya.Banyak pemilik home recording yang meletakkan mic berharga sangat mahal untuk miking ke speaker dan amplifier yang juga sangat mahal.Namun hasilnya tetap mengecewakan.Inti masalahnya terletak pada sudut miking.Mic dan cone pada speaker ampli,sebetulnya membentuk sebuah sumbu atau axis.Derajat sudut axis inilah yang sebetulnya menjadi focus utama.tentu dengan trial dan error.Intinya,sudut ini harus tetap diperhitungkan bersama dengan karakter mic dan bahan dari cone speaker juga karakteristik ampli nya.Mic condenser misalnya.akan lebih cenderung menangkap frekuensi-frekuensi dalam ruang nya dibandingkan frekuensi yang langsung dari bunyi speaker.Jadi jika “terlalu jauh”,maka condenser mic malahan akan membuat tangkapan bunyi yang tidak detail.Banyak para sound engineering menempatkan mic condenser sebagai back up bagi dynamic microphone.

Persoalan akan menjadi lebih rumit lagi,jika gitar listriknya menggunakan DI box kemudian dihubungkan dengan aneka guitar gig rig.Jika ini yang dihadapi home recording kita,kita bisa mencari penyesuaian akustik ruang studio kita.Betapapun sempurna tata akustik studio kita,lokus-lokus dalam ruang nya tidak akan mungkin merespon bunyi dengan perilaku yang sama.Jadi kita bisa bereksperimen untuk terlebih dahulu meletakkan ampli dan speaker pada daerah ruangan yang merespon bunyi mendekati keinginan kita.

Hybrid Studio
Bentuk home recording bisa saja sebuah hybrid studio.Yaitu menggunakan dua system kerja piranti.Digital dan analog.Jadi sebagai pengolah utamanya adalah sebuah DAW (digital Audio Workstation) dengan tambahan piranti yang bersistem analog.Hybrid studio dibuat orang karena ada rasa,yang sekian persennya adalah subyektif,bahwa bunyi olahan digital kurang hangat disbanding olahan analog.Pendapat ini tentu sah-sah saja adanya.

Saturday, 9 March 2013

KETIKA HANS CHRISTIAN ANDERSEN MENG INDONESIA

KETIKA HANS CHRISTIAN ANDERSEN MENG INDONESIA





Sebuah “teater” multimedia yang menakjubkan.Berikut kupasan dan ulasan Slamet Abdul Syukur yang saya terjemahkan dari sebuah penerbitan Perancis



Indonesia negeri orang-orang gila yang bisa hidup dalam ke mustahilan. Lebih dari Perancis yang tidak percaya ada yang tidak mungkin.

Beberapa waktu lalu, yang belum terlalu lama . . .

Seorang Slamet Gundono, yang tubuhnya pendek tapi beratnya 104 kg, membawa ukulele kecil berwarna hijau dan menyanyi seperti burung bulbul. Atau ngomong sendirian dan kadang-kadang sambil diiringi instrumen yang dia bawa itu. Dia seorang dalang dan menceritakan kembali dongeng Hans Christian Andersen, dengan caranya sendiri.



Dia berdiri di depan dekor berwarna merah dengan gaya Cina yang dibuatnya sendiri. Di sisi lain; di panggung yang sama duduk delapan pemain musik Dutch Chamber Music Ensemble yang dipimpin Ruud van Eeten. Di situ nanti akan muncul juga Sitok Srengenge, pelaku lain dalam dongeng. Sitok Srengenge sendiri adalah seorang penyair.

Secara Mendadak, musik elit dan “hiburan rakyat” sudah tidak bisa dibedakan lagi, tembok tebal yang memisahkannya selama ini, hilang. Ruang pertunjukan dipadati kawula muda, kursi-kursi terpaksa disingkirkan dan bahkan di luar masih di pasang layar tancap raksasa agar dapat ditonton oleh mereka yang tidak mendapat tempat di dalam. Festival Burung Bulbul (yang)  berkeliling dari Jakarta ke Bandung, Solo, Yogya dan Surabaya.

Burung Bulbul dan Kaisar Tiongkok, dongeng yang ditulis pengarang Denmark Hans Christian Andersen, telah menjadi karya musik beserta dalang. Komposernya adalah Theo Loevendie,dari Belanda. Ceritanya terjadi di kekaisaran Tiongkok zaman dulu. Cerita tentang seekor burung bulbul, burung betulan, dan burung-robot tiruannya.



Slamet Gundono yang raksasa itu bisa berubah menjadi burung bulbul yang mungil. Ajaib !
 
Ada kalanya dia menampakkan diri di depan dekor merah, sebagai actor yang luar biasa.Pada saat-saat lainnya dia menghilang di balik dekor untuk menggerakkan wayang-wayang yang dibuat khusus untuk acara ini.

Burung bulbul satunya lagi, sebuah robot kecil, menjadi sumber kegembiraan bagi para spesialis untuk mengadakan seminar-seminar tentang kecermatan dan kehebatan otak manusia . Bagi Sitok Srengenge pelaku burung tiruan ini, semuanya sudah dirancang sebelumnya, semuanya sudah dapat diduga, maka tinggal membaca naskah saja, semuanya beres.

Ternyata………
Wah ! Tidak begitu !

Mestinya dia hafal naskahnya seperti yang sudah diteladani Malcolm McDowell, seorang actor sejati yang pernah dipercayai memegang peran utama dalam film Kubrik CLOCKWORK ORANGE atau dalam film Gore Vidal CALIGULA. Burung bulbul tiruan yang dihadiahkan kaisar Jepang pada kaisar Tiongkok itu, sekalipun ada kekurangannya, robot tersebut tetap indah penuh dengan batu-batu permata.

Perbedaan antara seorang penyair yang membaca naskah seperti anak sekolah, burung bulbul yang aneh dan luar biasa serta ansambel musik yang tidak sekadar betul intonasinya, tidak menjadi masalah bagi penonton. Mereka semua gembira. Orang-orang Indonesia mudah terpukau oleh keindahan dan tidak terlalu tertarik untuk bersikap kritis. 

Sebelum The Nightingale (Burung Bulbul) karya Theo Loevendie, disuguhkan dulu musik komponis Belanda lainnya, Roderik de Man, The Surprising Adventures of the Baron Munchausen, berdasarkan peristiwa nyata yang tidak masuk akal. Sebuah catatan perjalanan Friedich di Rusia. Dia hidup antara 1720-1797. Suatu pengalaman yang demikian mencengangkan , sampai akhirnya hanya dianggap sebagai sekadar bualan yang luar biasa. Ini menyedihkan dan dia mati dengan sakit hati. Dari buku yang ditulis oleh Rudolf Eric Raspe, diterjemahkan ke dalam bahasa Belanda oleh Godfried, diolah kembali oleh komponis serta dibaca oleh Sitok Srengenge.

Sebagai ilustrasi musiknya, ditayangkan juga di layar lebar di samping panggung, goresan-goresan disain yang sangat bagus Gustav Doré. Semua ini mengingatkan pertunjukan ‘all stars’. Kita hidup di jaman multimedia.

Begitu rumitnya ! Kita dimanjakan oleh teknologi. Hanya saja pertanyaannya apakah ini bukan kemajuan yang berjalan mundur? Kemampuan kita berkhayal, secara halus dibunuh oleh kemudahan. Tentunya ada cara lain memanfaatkan video dengan sikap yang jauh lebih kreatif.

Dari segi musik, kedua karya The Nightingale dan The Baron sama kuatnya dengan L’Histoire du Soldat – Strawinsky yang keterbatasan instrumentasinya dijadikan acuan untuk festival ini. Bahkan bisa menimbulkan kesan sepertinya ketiga karya itu dibuat pada tahun yang sama. Padahal kerjasama Strawinsky-Ramus, terjadi hampir seratus tahun yang lalu. Itu artinya, kedua komponis tersebut berbeda dari umumnya para komponis muda yang mudah hanyut oleh hal-hal yang baru. Loevendie dan Man sudah menemukan jati dirinya dan tahu betul bahwa mereka tidak perlu menjadi Ligeti, Xenakis atau lainnya.

Monday, 4 March 2013

JAZZ ROCK: "Perkawinan Budaya Yang Mengguncang Dunia" - Artikel Staccato Maret 2013

JAZZ ROCK:
"PERKAWINAN BUDAYA 

YANG MENGGUNCANG DUNIA"
(Artikel Staccato, edisi Maret 2013)

Oleh: Michael Gunadi Widjaja


Jika kita menonton acara konser Jazz pada era sepuluh tahun terakhir ini, agak sulit bagi kita untuk menentukan jenis Jazz apa yang ditampilkan para pemusiknya. Sebagian orang berujar, bahwa tidaklah penting menggolong-golongkan Jazz ke dalam jenis atau alirannya. Lets just enjoy the music whatever it is. Sebagian lagi merasa penting dengan pemahaman klasifikasi musik,khususnya Jazz. Alasannya,bagaimana mungkin kita dapat mengapresiasi dengan baik sebuah genre musik,khususnya Jazz, jika kita tak paham seluk beluk dan ragam alirannya. Apapun pijakan sikapnya, nampaknya adagium jazz senantiasa berlaku: Jazz tidak pernah dapat dimengerti namun selalu dapat dinikmati”. Adagium tersebut semakin kokoh dengan sifat Jazz yang bagaikan “open source music”. Kenyal terhadap masukan semua unsur dari beragam genre musikal. Kekenyalan Jazz menjadikannya arena “perkawinan” dari beragam genre musik. Baik yang mentradisi maupun yang membawa panji sebagai sebuah entitas modernitas. Salah satu modus perkawinan tersebut adalah JAZZ ROCK.

Dari istilahnya,tentu seketika dapat kita pahami bahwa Jazz Rock adalah gabungan dari Jazz dan Rock.Sebuah penggabungan, yang bukan fusi. Fusi adalah peleburan. Dalam Jazz Rock, elemen Jazz dan elemen Rock masih dapat ditengarai identitasnya. Kadang muncul juga sebutan Rock Jazz. Inversi nama ini sama sekali tidak menunjukkan dominasi elemen tertentu. Jazz Rock dan Rock Jazz adalah identik. Untuk lebih mengakrabi Jazz Rock, yang adalah perkawinan berbagai elemen dari dua budaya musik yang berbeda, ada baiknya kita tengok sekilas terlebih dahulu, perbedaan dan persamaan antara Jazz dan Rock.

PERBEDAAN ANTARA JAZZ DAN ROCK
JAZZ
  • Umumnya disajikan secara instrumental
  • Sajian vocal disertai teknik Scat (seperti orang berceloteh)
  • Jiwanya adalah improvisasi dan dilakukan dengan konsep yang relatif bebas
  • Umumnya dimainkan dengan piranti musik akustik
  • Tata gramatika musiknya sangat progresif dengan akord-akord berstruktur kompleks
  • Format musiknya adalah : Tema - tema diolah dengan improvisasi
  • Peran penting pada alat musik tiup dan juga piano
ROCK
  • Umumnya berupa sajian musik vocal dengan isi teks yang diutamakan
  • Menggunakan piranti elektronis dan teknologi olah bunyi
  • Tata gramatik musiknya menggunakan akord dengan struktur relatif bersahaja
  • Format musiknya adalah lagu berbait. Mirip lagu pop pada umumnya
  • Peran penting pada gitar dan drum set

Persamaan Jazz dan Rock adalah bahwa kedua genre musik ini memiliki sumber yang sama , yakni musik Blues. Juga sama-sama memiliki ritme yang kuat dan ada variasi sinkopatis (pemindahan aksen/tekanan pada pola irama). Dan sama-sama juga kurang mengolah tema. Pada Jazz dan juga Rock,melodi pokok atau cantus firmus sering bahkan selalu disajikan dengan jumlah kalimat musik (phrase) yang sedikit dan tidak diolah atau bersahaja. Hal ini menjadi nyata jika kita bandingkan tema dalam Jazz dan Rock dengan tema komposisi musik klasik.


Jazz Rock adalah sebuah “perkawinan” - penyatuan dua budaya. Budaya ini berkait juga sikap dan gaya hidup para pemusiknya. Di sisi inilah problematika Jazz Rock muncul. Sampai sejauh mana sebetulnya sublimasi atau totalitas penggabungan elemen Jazz dan Rock. Apakah elemen Jazz dan elemen Rock benar-benar memperoleh kesejajaran dalam Jazz Rock. Hal ini menarik jika kita menyoroti sebuah kenyataan sosio kultural bahwa:
  1. Seorang pemusik Jazz yang oleh sebab tertentu mengarah ke Rock akan memiliki kecenderungan untuk berperan serta dalam segi komersialisasi musik
  2. Pemusik Rock yang juga oleh sebab tertentu mengarahkan konsep musiknya ke Jazz biasanya memiliki kecenderungan umtuk mengembangkan konsep bermusik yang lebih mengutamakan “mutu”
Dari dua perilaku kultural tersebut dapatlah dipahami bahwa senantiasa ada gap, Ada kesenjangan porsi antara elemen Jazz dan elemen Rock dalam sebuah genre Jazz Rock. Dapat terjadi elemen jazz lebih dominan atau sebaliknya.Namun apapun problematikanya, Jazz Rock dalam kenyataannya telah mengguncang dunia. Bukan saja blantika musik, namun Jazz Rock juga telah menorehkan sejarah baru dalam cara pandang penyatuan budaya dalam kerangka estetika.

Jazz Rock lahir dan kepopulerannya segera mengguncang dunia pada sekitar 1960. Jazz Rock pernah mengalami masa surut, namun kemudian “lahir kembali” pada dekade 80-an. Awal kemunculan Jazz Rock ditandai dengan terbitnya album Bitches Brew oleh pemain terompet legendaris Miles Davis. Pengembangan Jazz Rock kemudian dimotori oleh pemain Jazz yang tadinya berada dalam genre Mainstream Jazz - Chick Corea, kelompok Weather Report pimpinan Joe Zawinul - pianis yang juga mantan anggota koor The Vienna Boys Choir dan juga Frank Zappa - pemusik legendaris yang kontroversial yang berpijak pada multi genre musikal.


Mencermati Jazz Rock sebagai perkawinan dua budaya, nampaknya akan membawa kita untuk masuk lebih dalam kepada pemaknaan keadaan sosial budaya dalam kehidupan kita. Bahwa sebuah perkawinan bukanlah sebuah pengorbanan jati diri. Sebagaimana dalam Jazz Rock, perkawinan (baca:pernikahan) agaknya harus dimaknai bahwa laki-laki dan perempuan tetap pada akar budaya dan jati dirinya masing-masing. Keragaman itu diletakkan dalam kesekitaran untuk mencapai harmonia atau keselarasan kehidupan sesuai konsep kehidupan yang disepakati. Juga dalam prernikahan senantiasa ada dominasi.Sama halnya dengan Jazz Rock, tidaklah mungkin untuk memaksakan kesetaraan apalagi dalam bentuk persamaan proporsi peran. Namun yang penting, apapun jenis dominasinya sejauh masih ada kerangka harmoni semua akan mengacu pada sesuatu yang “indah.

Merujuk pada Jazz Rock, perkawinan dapat juga dimaknai sebagai sebuah sinergi. Semestinya lembaga-lembaga dalam pemerintahan kita juga senantiasa bersinergi. Namun faktualnya, meski secara hirarki ada dua lembaga yang sepadan kedudukannya, sinergi tidaklah senantiasa berarti persamaan porsi peran dan kekuasaan. Dalam segi-segi tertentu akan mucul dominasi. Yang esensial adalah meletakkan jatidiri pada semesta keselarasan. Jazz Rock memberi pelajaran pada kita. Jika ingin mengguncang dunia tidak cukup dengan tebar pesona. Namun dengan kematangan konseptual.Untuk sampai pada harmoni kehidupan yang sejati.

"Saat Beethoven Menjelma Menjadi Mozart" - Liputan Resital Piano Christian Leotta



LIPUTAN RESITAL PIANO CHRISTIAN LEOTTA:
"SAAT BEETHOVEN MENJELMA MENJADI MOZART"
(Liputan Majalah STACCATO, edisi Maret 2013)


Christian Leotta, pianis asal Italia menggelar resital piano di Gedung Kesenian Jakarta pada 11 Februari 2013. Resital tersebut diselenggarakan oleh Kementrian Negara Italia, bekerjasama dengan Pusat Kebudayaan Italia (Istituto Italiano Di Cultura) dan Gedung Kesenian Jakarta.Resital terbuka untuk umum.


Ada dua hal menarik yang sekaligus juga merangsang minat Team Staccato untuk meliput. Pertama adalah apa yang tertulis pada publikasi Christian Leotta. Dalam publikasinya ditulis bahwa Christian Leotta adalah pianis termuda kedua di dunia, setelah Daniel Barenboim, yang berhasil meng"khatam"kan (bukan sekedar tamat tapi khatam) seluruh seri Sonata karya Beethoven. Catatan dari publikasi ini menyisakan beberapa pertanyaan: apakah dengan mengkhatamkan seluruh seri Sonata Beethoven kemudian Christian Leotta layak menyandang predikat interpretator Beethoven? Sebagaimana Glenn Gould untuk Bach dan Anton Rubinstein untuk Nocturno dari Chopin, ataukah khataman tersebut adalah perwujudan idola Christian Leotta terhadap Beethoven, atau juga mungkinkah ada hal-hal lain yang menyebabkan khataman seri Sonata Beethoven perlu dipaparkan secara publik?

Hal kedua adalah, ekspektasi sebuah bentuk interpretasi yang berbeda - bagaimana karya Beethoven yang bermazhab Mannheimer akan diinterpretasi dengan gaya Italia yang panas dan spontan.


Malam itu dapat dikatakan kursi Gedung Kesenian Jakarta yang berjumlah 472 termasuk balkon, nyaris penuh terisi. Sebagian besar hadirin adalah warga negara asing yang ekspatriat di Indonesia. Kehadiran mereka juga menarik untuk sekedar ditelaah. Apakah para ekspatriat itu sungguh mencintai Musik Klasik, khususnya musik piano? Atau apakah para ekspatriat tersebut mengidolakan Christian Leotta? Atau apakah para ekspatriat tersebut hadir karena basa basi diplomasi antar bangsa karena konser ini resmi diselenggarakan perwakilan negara Italia?

Resital Piano Chistian Leotta dimulai tepat pukul 8 malam. Dalam resital ini penyelenggara tidak menyediakan programme notes secara khusus. Hanya selembar kertas berwarna berisi riwayat perjalanan karir Christian Leotta dan judul-judul repertoire yang akan dimainkan malam itu.

Jika kita googling di situs video youtube, terpampang bahwa semua video dari Christian Leotta adalah ketika sang pianis seluruhnya memainkan seri Sonata Beethoven dan memang malam itu semua repertoire yang dibawakan adalah seri Sonata Beethoven.

Resital Christian Leotta mengambil setting dan adab yang sudah sangat lazim dalam sebuah pagelaran Musik Klasik. Christian Leotta memasuki panggung tanpa basa basi dan memberikan hormat. Dia mengenakan tuxedo yang dapat dimaknai bahwa resitalnya adalah sebuah pagelaran resmi yang tentunya telah dipersiapkan dengan formalitas yang terjaga. Secara teknik dan musikalitas, Christian Leotta layak disebut pianis kelas international. Dia memiliki dexterity yang baik, pedalling yang bagus, dan juga power serta kecepatan yang memadahi. Permainannya pun bukan saja eksplorasi rentang dinamika melainkan sudah sampai pada taraf tone color.

Saat nomor pertama bergulir, kami sempat terhenyak karena Beethoven disajikan sebagaimana halnya Mozart. Gramatik dan retorika musik Beethoven sama sekali tak muncul. Yang ada malahan kegenitan dan kenakalan musikal alla Mozart. Dalam nomor kedua malah kegenitan ala Mozart semakin menjadi-jadi dan ditambah dengan romantisme yang ala Chopin.

Mengenai hal ini memang sah-sah saja jika orang memperdebatkan. Tetapi jika nurani ini diberi kesempatan untuk sedikit saja berkata jujur,yang terjadi malam itu adalah BEETHOVEN YANG MENJELMA MENJADI MOZART. Untuk sebagian orang musik malam itu sah saja dianggap indah mengharu biru sampai mampu menggerakkan komentar BRAVO BRAVO. Pertanyaannya adalah apa sebetulnya yang terjadi sampai sampai orang seperti Christian Leotta yang notabene khatam semua seri sonata Beethoven sampai menjelmakan Beethoven menjadi Mozart?

Meski demikian kita tetap memberi respek dan apresiasi bagi Christian Leotta dan juga pihak kedutaan Italia.Yang telah dengan sangat baik menghadirkan sebuah alternatif dan resital berskala dunia.

TIM LIPUTAN STACCATO
(Michael Gunadi Widjaja)