Sunday, 1 December 2024

PARA AMATIR HEBAT - by: Michael Gunadi | Staccato, December 2024

PARA AMATIR HEBAT
By: Michael Gunadi
Staccato, December 2024

 

Jika anda mendengar musik karya Chopin, pasti hati nurani anda akan berkata bahwa ini adalah sebuah karya musik yang dikerjakan oleh seorang Professional. Professional dalam artian pekerjaan utamanya adalah sebagai pemusik. Dan memang. Chopin adalah seorang pemusik yang professional. Chopin sangat professional dan pakar dalam performansi piano. Chopin juga sangat pakar dan berkemampuan sangat professional dalam menggubah karya musik untuk piano. Semua karya musik Chopin menunjukkan hal tersebut. Bahkan Valse in A minor Op. posthumous yang sering diledek sebagai musik anak-anak grade 1, sebetulnya adalah sebuah komposisi karya musik piano yang sama sekali tidak sederhana.


Selain Chopin, Beethoven juga adalah pemusik dan komposer professional. Profesi utamanya adalah pemusik. Meski hidupnya miskin melarat, kemampuan dalam bermain piano dan menggubah musik sangatlah professional. Banyak kali Beethoven ditolak perempuan saat meminang, hanya karena Beethoven sangat miskin dan berpenghasilan tidak tetap. Beethoven pun sering berselisih paham dengan pihak penerbit karya-karyanya. Dalam rentang hidupnya, Beethoven hanya beberapa kali saja menggelar konser dengan menerima honorarium. Selebihnya, ya biasa. Dikemplang, wassalam dan panitianya alasan ini itu anu. Meski demikian, Beethoven tertera dalam sejarah sebagai The Professional Music Grand Master.

Thursday, 31 October 2024

SISI LAIN CHOPIN - by: Michael Gunadi | Staccato, November 2024

“MENILIK CHOPIN ALLA BEDA”
SISI LAIN CHOPIN
By: Michael Gunadi
Staccato, November 2024


Lazimnya orang mengenal Chopin sebagai komposer piano. Banyak menganggap bahwa jika sudah bisa memainkan karya Chopin, maka seseorang menjadi berhak untuk disebut sebagai “bisa” main piano. Kata BISA berada dalam tanda petik, yang maksudnya adalah sangat relatif. Kenapa relatif? Karena untuk dapat memainkan musik Chopin, seseorang mestinya tak hanya berurusan dengan teknik semata. Melainkan kedalaman untuk tahu emosional karya nya dan juga mampu mengkaji secara inteligensia apa yang tersirat dibalik yang tersurat. Sebut saja misalnya TEMPO RUBATO yang menjadi salah satu ciri khas karya Chopin. Begitu banyak orang memainkan Walts karya Chopin dengan tempo yang strict. Persis seperti memainkan Waltz dari Johann Strauss. Beberapa lagi dengan sangat tolol dan bodoh memainkan Waltz Chopin dengan Phrasering atau pengkalimatan yang dipenggal dengan sesuka hatinya dengan dalih ia memainkan TEMPO RUBATO.

 

Bicara tentang Chopin, kita berbicara tentang satu pribadi yang sangat kompleks. Melafalkan namanya saja banyak yang salah. Orang dengan sok tahu dan sok ke Perancis Perancisan menyebutnya sebagai SYOPANG. Untunglah era internet memberi pencerahan yang luar biasa bagi orang sok tahu, koplak dan songong untuk melafalkan nama Chopin sebagai (Syopen, pen dilafalkan seperti pulpen). Selama hidupnya Chopin bukanlah seorang yang narsis. Ia tidak seperti Pianis Instagram masa kini yang gemar pamer sampai pakai topi kelinci, main Piano dengan menjungkir balikkan badan, pura pura menangis sedih haru di tengah capaian siswanya. Chopin adalah pribadi yang tertutup. Ia pemalu. Ia memainkan musik piano sebagai satu kebutuhan hidupnya dan sama sekali tidak mencita citakan dirinya untuk glamour sebagaimana pianis kagetan yang tenar lewat potongan Instagram.

Monday, 30 September 2024

KUSUT - by: Michael Gunadi | Staccato, October 2024

KUSUT

By: Michael Gunadi

Staccato, October 2024



Jika kita mau sedikit menaruh perhatian pada keadaan sekarang, tentu kita akan menyadari bahwa banyak, bahkan terbilang sangat banyak hal-hal KUSUT dalam ranah musik. Di segala sektornya. Baik pertunjukan, apresiasi, pembelajaran dan pendidikan musik sampai pada dokumentasi musik. Kusut. Penyebabnya macam macam dan mengurat akar sehingga memang kusut nyaris tak terurai. Beberapa orang yang mencoba peduli dengan keberadaan musik, tentu saja sudah berupaya dengan bercucuran keringat, menipiskan pundi-pundi dan bahkan tersok seok untuk mencoba mengurai kusutnya musik. Tak hanya Indonesia, namun merata di seluruh dunia. Apakah keadaan kusut ini mengganggu keberadaan musik? Begini. Orang berpikiran kusut tetap dapat berpikir. Orang muka kusut tetap bisa dapat jodoh. Persoalannya, yang seperti apakah yang didapat dengan kusutnya itu.

 

Di kota besar seperti Jakarta, pembelajaran musik sebetulnya kusut dan bahkan sangat kusut. Anak dan remaja kota besar seperti Jakarta, nyaris tak memiliki waktu untuk belajar musik. Jikapun masih ada yang les musik, mereka melakukan pengorbanan yang sesungguhnya luar biasa dan tentu layak diacungi jempol. Jadwal sekolahnya sendiri sudah tergolong padat. Ambil contoh saja SMA. Di seluruh Indonesia, siswa SMA itu bersekolah dari Senin sampai Jumat mulai jam 7 pagi sampai jam 4 sore. Kapan dia bisa les musik?! Lhoooo kan Sabtu mereka libur, Pak... Eit jangan salah. Sabtu mereka full. Proyek kurikuler sekolah. Plus Bhakti sosial. Mulai dari acara bikin tugas film pendek sampai kegiatan keagamaan. Minggu? Hahaha. Satu-satunya hari untuk acara keluarga. 

Sunday, 1 September 2024

VALUE - by: Michael Gunadi | Staccato, September 2024

VALUE
By: Michael Gunadi
Staccato, September 2024


Yang dimaksud Value dalam artikel ini adalah NILAI. Ya tentu nilai dalam hubungan mesranya dengan entitas seni, dalam ranah seni bunyi atau musik. Lalu kenapa tak dipergunakan istilah NILAI saja. Karena penulis khawatir akan terjadi kerancuan pemaknaan dengan Nilai sebagaimana halnya Nilai mata uang, nilai rapor pendidikan dan semacamnya. Nilai pada musik tak sekedar bicara angka. Namun cita rasa. Daya apresiasi. Gengsi dan aneka rupa variabel dan parameter yang terkadang bisa membuat kita tercengang dan bahkan ternganga nyaris tak percaya.

 

Kita akan mulai dari ART VALUE atau nilai seni pada umumnya. Ada satu pertanyaan klasik. Bagaimana sih cara memberi nilai pada sebuah karya seni. Value nya tentu berupa price. Dan price tentu bicara soal banyak entitas ekonomi. Satu lukisan misalnya. Berapa harga lukisan itu? Ada yang hanya ratusan ribu saja jika anda ingin mendapatkan lukisan dari pekerja lukisan. Namun tentu anda harus merogoh kocek sampai milyaran dan bahkan puluhan milyar jika anda punya minat terhadap karya seorang Maestro. 

Thursday, 1 August 2024

MISKIN - by: Michael Gunadi | Staccato, August 2024

MISKIN
By: Michael Gunadi 
Staccato, August 2024


Jika kita mau jujur, dan melepaskan diri dari segala syakwasangka, harus kita akui bahwa Gitar Klasik adalah instrunen yang sering dianggap miskin. Tapi, jangan khawatur. Artikel ini tidak bercerita tentang gitar klasik. Hanya sepintas lintas kilas saja. Anggapan bahwa Gitar Klasik adalah miskin maupun ”miskin” (dalam tanda petik). Dapat dengan mudah kita amati pada institusi semacam Sekolah Musik dan/atau kursus-kursus musik. Tak dapat dipungkiri, Piano adalah instrumen musik yang paling digemari. Perbandingan siswa Piano dan Gitar Klasik dalam satu institusi pembelajaran musik, sangat menyolak. Siswa Gitar Klasik hampir tak pernah mencapai 10% dari jumlah siswa piano. Dan ini terjadi bukan saja di Indonesia.

 

Dan memang, rasa atau kesan miskin itu nampak jelas ketika kita menghadiri Konser Gitar Klasik. Satu panggung yang luas. Kemudian muncul seseorang menjinjing Gitar Klasik dan duduk. Ia nampak sangat kecil dan mini dibanding luasnya panggung Konser pada umumnya. Kesan miskin tersebut diperkuat dengan misalnya, Sang Gitaris sudah uzur, berjalan gontai, sedikit terbatuk batuk. Meskipun mainnya jago seperti Dewa Gitar Angkasa, tetap saja kesan miskin itu ada. Dan rupanya, sudah sejak dahulu, Gitar Klasik dianggap miskin. 

Sunday, 30 June 2024

UJI | by: Michael Gunadi | Staccato, July 2024

UJI
By: Michael Gunadi Widjaja
Staccato, July 2024


Dalam pembelajaran musik, belum tentu berupa pendidikan ya, karena bisa saja pengajarnya sama sekali tidak paham akan psikologi pendidikan, dikenal adanya evaluasi. Evaluasi pembelajaran musik ini status dan tarafnya berbeda dengan evaluasi sekolah umum. Dalam pembelajaran, atau ya sudahlah, pengajaran musik, evaluasi, terutama di kursusan musik dan/atau sekolah musik, sifatnya lebih kepada Progress Report. Dan Progress Report ini lebih kepada pertanggung jawaban terhadap parents yang dalam hiruk pikuk ini adalah BOSS. Yang membayar biaya pembelajaran musik. Jadi, karena Boss keluar duit dia harus dapat “laporan” dong, tentang progress atau kemajuan anaknya. Dalam Androgogi, atau terhadap Adult Learner, siswa dewasa, juga perlu ada laporan semacam itu. Karena bisa saja si suami atau si koko, si sugar daddy yang keluar duit.

 


Ada beberapa jenis Progress Report yang dilakukan kursusan dan/atau “sekolah” musik di Indonesia. Kata SEKOLAH diberi tanda kutip karena sekarang teramat banyak sekolah yang tidak punya kurikulum. Tidak paham beda kurikulum dan silabus itu apa. Hanya contek sana sini ambil mentah-mentah dari pihak lain. Tapi ya sudahlah. Bentuk Progress Report yang paling sederhana adalah berupa LAPORAN TERTULIS bagi parents. Persis seperti buku Rapor sekolah umum. Anaknya selama sekian waktu sudah bisa ini itu. Kekurangannya ini itu. Harapan ke depannya begini begitu. Kemudian ada lagi Konser. Baik Studio Konser yang biasanya si siswa main dengan jadwal yang tidak jelas, dihadapan staf Tata Usaha Sekolah, pakai celana pendek, kaos renang juga nggak apa-apa. Naaah, Parentsnya akan melihat, bahwa ini lho anak loe ini bisanya begini doang.

Friday, 31 May 2024

Masalah Klasik untuk Klasik - by: Michael Gunadi | Staccato, June 2024

MASALAH KLASIK UNTUK KLASIK
By: Michael Gunadi
Staccato, June 2024


Musik Klasik Telah Kehilangan Penonton: Benarkah? Mengapa? Kok bisa? Lalu bagaimana dengan Pagelaran di Monas dan Gedung Konser Kemayoran? Sebetulnya, ini adalah satu mata rantai masalah klasik yang berlaku untuk Musik Klasik. Sangat komplex dan ruwet. Selera, tempo dan timing pertunjukan, teknologi baru, dan media sosial, semuanya berperan dalam masalah klasik untuk Musik Klasik.

 

Tak dapat dipungkiri, bahwa Taylor Swift, K-pop, dan lainnya telah menarik perhatian penonton di seluruh dunia. Fans nya sampai berjumlah ratusan juta dan hal ini merupakan fenomena yang benar-benar menggemparkan dunia modern. Pada saat yang sama, jumlah penonton Musik Klasik telah mengalami penurunan selama beberapa dekade. Ada yang menduga, hal ini dipicu oleh kekhawatiran selama pandemi COVID, yang cenderung semakin membatasi jumlah penggemar. Anehnya, mengapa hal ini tak terjadi pada Blantika Musik Pop.


Ada sebuah penelitian yang menunjukkan bahwa konser orkestra dan kehadiran opera di Amerika Serikat menurun sebesar 30% dalam beberapa tahun terakhir. Sekitar dua puluh tahun yang lalu, laporan Knight Foundation,yang tertuang dalam “Studi Segmentasi Konsumen Musik Klasik,” menemukan bahwa “hanya 10-15% orang Amerika memiliki keintiman dengan Musik Klasik.” Masalah ini, yang berkaitan dengan alasan fenomena ini, sejatinya rumit. Namun dasar fenomenanya itu sendiri, mencakup lanskap budaya modern dan teknologi yang membentuk kebiasaan konsumsi musik pada penonton di mana pun di dunia.