Ketika seorang anak lulus SMA dan memutuskan untuk menjalani profesi sebagai seorang dokter, ada banyak nuansa yang berseliweran di benaknya. Bisa jadi ia memang suka dengan dunia kedokteran. Barangkali nilai biologi nya jauh lebih bagus dari nilai fisikanya. Bisa juga dia bingung antara harus tetap eksis sebagai sosok yang suka science dan hantu yang membisiki bahwa sebagai anaknya si A ia harus mapan secara prestis dan ekonomi. Atau, ini yang paling menggelikan, karena opa oma papa mama nya dokter ya dia harus menjadi dokter. Dan, tidak ada yang salah dengan semua itu. Fine saja. Ok saja.
Begitupun dengan seseorang yang ingin menjadi pengacara. Macam-macam nuansa juga yang berseliweran. Sah dan baik jika dia ingin menjadi pengacara karena terinfluence pengacara top yang secara ekonomi sangat mapan. Bagus juga jika ia terusik oleh penegakan hukum yang masih penuh drama. Bisa juga karena Fakultas Hukum adalah satu dari sekian banyak Fakultas yang bisa ditempuh sambil bekerja. Sekali lagi, itu semua Fine, Ok dan sah saja. Lalu....ini persoalan kita. Bagaimana dengan menjadi Pemusik?
Pemusik itu beda dengan dokter dan pengacara. Iyalah, makhluk dungu juga paham itu. Bukan begitu. Jika dokter dan pengacara memperoleh kepastian lahan penghasilan, tidak bagi pemusik. Siapa yang berani mengatakan bahwa pemusik memiliki penghasilan yang pasti. Tidak ada. Ana Vidovis, seorang Gitaris Klasik hebat asal Kroatia, dalam sebuah wawancara di situs gitar dengan gamblang menjelaskan. Jadi Pemusik itu berat. Anda harus benar benar TOTAL passion dan cinta musik. Beratnya tuh bahwa pemusik selalu harus menunggu tanpa ada kepastian kapan dia akan bisa konser dan/atau perform untuk mendapat nafkah. Dan sementara menunggu itu, KERJA APA. Mengajar dong. Hahahaha. Tak semua Pemusik bisa mengajar. Lagipula, guru musik itu, fenomenanya bisa dapat murid sekonyong konyong banyak, tapi juga bisa sekonyong konyong lenyap. Sampai di sini menjadi jelas bahwa diperlukan satu “kerja apa” untuk mengatasi problem utama pemusik masa kini yakni menunggu orderan.
Jika kita menilik dan bahkan menelisik kehidupan para pemusik musik seni, bukan musik industri ya, sebetulnya bisa dipastikan bahwa gaya hidup mereka teramat sangat sederhana. Tinggal di apartemen tipe studio yang sempit, dan bisa saja di lingkungan yang kurang begitu baik. Tak ada kerja. Kerjanya hanya dua. Latihan dan memakai internet untuk cari order pentas dan mengaktualisasi diri agar tetap terhubung dengan kemungkinan mendapatkan orderan. Di sosial media mereka berusaha untuk menampakkan diri dengan citra yang representatif. Sehari harinya, makan saja sangat sederhana. Di eropa, sepotong roti doang. Yaaaaa kopi lah, bukan dari produk bermutu. Bersahaja. Jika ada rejeki bisa ditambah sup sayur. Atau kalau du Jerman, menu hemat kenyang ya Spaghettu. Saos nya saja yang dimacem macemin agar tak bosan. Kemna mana tak bisa selalu menggunakan transportasi berbayar. Untuk neighborhood utility, yaaaa sepeda. Cukup sepeda.
Melihat fakta tersebut, kita menjadi sangat yakin mestinya. Bahwa “KERJA APA’ memang sebuah fenomena yang bukan main main. Satu hal prinsip yang mesti sangat dipertimbangkan dengan terukur jika seseorang ingin memulai karir sebagai pemusik. Banyak pameo bahkan terlalu banyak pameo yang menyatakan bahwa pemusik adalah CERIA PANGGUNG DUKA DAPUR. Sejak dahulu begitu. Satu contoh yang teramat sangat populer adalah si Dewa Piano, Franz Liszt. Di jamannya, Liszt adalah megastar. Luar biasa. Ketenarannya bagai megastar Pop Rock di jaman kita sekarang ini. Jika Liszt pentas main piano, waaaaah perempuan perempuan mengumpulkan helai rambutnya yang seringkali berjatuhan. Yaaa maklum, Liszt itu kalo main piano goyang-goyang seperti Rockstar jadi rambutnya sering rontok. Abu rokoknya juga dikumpulin banyak perempuan, dibawa pulang dan disimpan.
Itu adalah keceriaan panggung seorang Franz Liszt. Tapi di luar panggung, Liszt adalah sosok DUKA DI DAPUR. Dia kesulitan beradaptasi dengan kehidupan. Terserang stress dan bahkan depressi yang luar biasa hebat. Dia dihantui oleh KERJA APA di luar panggung. Panggung itulah dunianya. Tapi panggung itu juga siksaannya. Seorang Franz Liszt yang notabene adalah pujaan kaum perempuan, sampai harus pasrah dan masuk biara dan terobsesi menjadi seorang Rohaniwan Katolik, meski Liszt tidak pernah benar-benar total menjadi Pastor, sekalipun beberapa Kardinal berusaha memfasilitasinya, karena dia benar-benar tak tahu lagi kerja apa di luar Surga Panggungnya.
Lain Franz Liszt lain pula Beethoven. Beethoven ini juga mengalami peliknya fenomena KERJA APA. Ia sering berseteru dengan [ara penerbit karyanya. Karena setoran hasil penjualan buku karyanya sering dikadalin oleh sang penerbit. Kegiatan Beethoven sehari-hari hanya ke warung. Bawa gulungan kertas catatan. Minum kopi sekedarnya dan jarang bersosialisasi. Kegiatan utamanya ya hanya latihan, latihan, dan latihan. Bukan Latihan Piano. Tapi latihan komposisi. Jika ada ide segar dia catat di gulungan kertasnya. Kemudian dia termenung berusaha menggali dan melatih teknik dan intuisi serta ilmu komposisinya untuk mengolah ide yang sudah dia dapatkan.
Sampai di sini tentu banyak yang rame-rame akan berteriak. Bahwa nasib pemusik yang seperti itu hanya ada dahulu kala. Orang menjadi khilaf terkesima dengan Dirigen Herbert Von Karajan yang punya Yacht dan Jet Pribadi. Daniel Barenboim yang bisa mengelana ke seluruh penjuru bumi dengan tetap menikmati kecukupan hidup. Julian Bream, sang Dewa Gitar klasik yang bisa beli Kastil super mewah di London. Andres Segovia, Sang legenda Gitar klasik. Yang di usia uzur masih bisa menikah dengan perempuan muda nan cantik dan membangun Villa Super Mewah di tepi laut di Spanyol.
Sebetulnya, jika kita ingin sedikit saja berpikiran kritis, fenomena KERJA APA ini selalu saja diperhadapkan dengan apa yang dikenal sebagai SURVIVORSHIP BIAS. Bias kebertahanan atau bias penyintasan (bahasa Inggris: Survivorship bias) adalah kesalahan logika karena memusatkan perhatian pada orang atau benda yang berhasil melalui suatu proses dan mengabaikan mereka yang tidak, sehingga mengarahkan pada kesimpulan yang salah.
Atas nama optimisme orang sering mengungkit-ungkit kembali. Kata siapa pemusik itu dihantui momok KERJA APA. Tuh liat Taylor Swift. Di Indonesia sendiri banyak yang sukses. Konser sering digelar. Konser klasik juga dapat dikatakan gakda matinya di gelar di tanah air. Golongan ini senantiasa bangga dan menganggap dirinya kaum optimis. Segalanya baik saja dan bisa dilalui dengan optimisme. Mereka ini tanpa sadar sudah terkena Survivorship Bias.
Taylor Swift misalnya. Sedunia Cuma dia doang yang dalam keadaan tata ekonomi global morat marit masih bisa sukses kaya raya tajir melintir bak mesin penghasil uang. Kita tidak pernah tahu: mekanisme bisnis macam apa yang menggerakkannya. Formulasi apa yang menghantar kesuksesannya. Siapa saja yang terlibat dalam keberhasilannya. Bagaimana ia mengasah dan mempertahankan bakat, ide kreatif, eksplorasinya. Dan yang lebih penting harus ditengarai adalah apakah kiat manusia semacam Taylor Swift ini memungkinkan untuk diduplikasi orang lain.
Dalam dunia nyata, skenario seperti inilah yang acapkali terjadi. Dan ada baiknya semua pihak yang berperan sebagai pelaku musik, berfokus pada hal semacam ini daripada bertahan pada optimisme yang semu belaka.Pertama kali seorang musisi klasik muda mengalami tantangan kegagalan dalam proses perjalanan karirnya, kemungkinan besar akan menjadi salah satu hal yang tersulit, terutama karena saat menjadi mahasiswa musik, di Sekolah tinggi musik maupun Konservatori, ada tuntutan untuk cenderung berprestasi tinggi. Penelitian secara konsisten menemukan hubungan antara partisipasi musik dan prestasi akademik. Hubungan ini kemungkinan tidak bersifat kausal, tetapi menurut pengalaman beberapa pakar tingkah laku, banyak mahasiswa biola, piano juga berada di peringkat teratas di kelas mereka saat di sekolah umum. Mahasiswa yang terbiasa dengan tingkat prestasi tinggi yang konsisten dalam studi akademik mereka tidak diragukan lagi akan merasa kesulitan ketika menghadapi persaingan dan subjektivitas bidang Musik Klasik. Saat mereka diperhadapkan pada fenomena KERJA APA, kemungkinan serangan stress akan lebih besar. Karena mereka akan lebih rentan merasa tersisihkan karena prestasi akademik tinggi yang terlanjur disandangnya.
Sebagai satu konklusi, semestinya baik jika para pelaku musik, pemerhati musik, maupun pencinta musik, terutama musik seni, untuk senantiasa berpegang dan berpegangan pada prinsip prinsip yang utama. Yakni bahwa sangat tidak perlu, dengan dalih optimisme kemudian membangun satu keyakinan semu akan sebuah kesuksesan atau keberlangsungan kegiatan musik. Optimisme hanya dapat diraih jika kita tahu secara benar, betul, dan pasti akan problem yang kita hadapi. Dunia modern, terutama dalam ranah musik seni, terlalu rumit jika orang hanya berpegang pada optimisme sebagai penghibur dan penguat diri sementara sebetulnya dia sendiri paham bahwa masalah yang dihadapinya luar biasa rumitnya.
Fenomena KERJA APA, setidaknya memberi pesan sekaligus asupan, terutama untuk para Guru Musik. Bahwa mengiming-imingi, memberi harapan tanpa berpijak pada kenyataan adalah sesuatu yang jahat. Beritahu siswa anda yang ingin meniti karir sebagai pemusik tentang fenomena KERJA APA ini. Uraikan detailnya. Malahan akan sangat lebih baik jika misalnya sebagai Guru Musik anda mungkin memiliki beberapa kiat untuk bisa selamat dari fenomena KERJA APA. Karena harus betul-betul disadari dan dipahami, keberadaan musik dalam era sekarang ini dipenuhi dengan status keunikan yang terlalu sederhana untuk dihadapi dengan optimisme.




No comments:
Post a Comment
Note: only a member of this blog may post a comment.