Wednesday, 1 October 2025

JUARA | by: Michael Gunadi | Staccato, October 2025

“JUARA”
By: Michael Gunadi
Staccato, October 2025


Ada satu, dua pertanyaan yang sering diajukan khalayak. Pertanyaan-pertanyaan tersebut sebetulnya klise, membosankan dan memuakkan. Namun anehnya, pertanyaan-pertanyaan tersebut selalu dapat menjadi panduan tolok ukur dan bahkan parameter untuk mengukur perkembangan musik, khususnya “Musik Klasik” , saya beri tanda petik, di tanah air. 


Mengapa orang harus peduli dengan perkembangan “Musik Klasik” di negara seperti Indonesia? Ya jawabnya karena musik, yang klasik itu bisa dianggap sebagai musik seni. Musik yang masih mengedepankan dan mempertahankan ide-ide dan citarasa musikal yang menempatkannya sebagai entitas seni, yang tentu saja dapat memberi masukan bagi siapa saja pada hal yang sifatnya “baik” dan semestinya. 


Tentu saja juga sebagai penyeimbang di tengah maraknya industri dan industrialisasi musik. Industri dan Industrialisasi musik itu sama sekali tidak jelek. Bagus saja. Hanya kadang-kadang, kebutuhan akan cuan dapat membuat sebagian kalangan mengkeremus ide dan kepatutan musik sebagai entitas seni.


Pertanyaan pertama adalah, tentunya, bagaimana perkembangan Musik Klasik di Indonesia sampai artikel ini ditulis. Pertama, kita harus memilah dengan sangat cermat. Istilah MUSIK KLASIK menjadi sesuatu yang dalam era sekarang ini menjadi lebih exclusif. Jika yang dimaksud dengan karya Musik Klasik adalah pementasan karya-karya solo instrumen untuk musik seperti Bach, Beethoven, ataupun karydalam forma Ensembles dan Orkestra, dapat dikatakan perkembangannya CUKUP. Cukup dalam arti belum mati. Masih ada. Dan yang penting, institusinya bisa menyelenggarakan sendiri secara mandiri, tidak terlalu bergantung pada sponsorship dan/atau apalagi bergantung pada dana dari Pemerintah. 


Sampai disini dapatlah kita sedikit berbangga dan berbesar hati. Bahwa di Indonesia masih eksis, masih lantang terdengar adanya kepedulian terhadap berlangsungnya Musik Klasik yang digembar gemborkan sebagai Universal Human Heritage. Di tengah carut marut keadaan dunia. Dinamika perpolitikan yang silih berganti panas dingin dan suam suam kuku, ada masyarakat Indonesia yang peduli terhadap budaya adi luhung. Perkara yang hadir sedikit itu lain cerita.

 

Di sisi lain, jangan lupa ada bentuk MUSIK SENI. Ini yang marak diajarkan di kursus kursus musik. Sejak lembaga sertifikasi musik Internasional TIDAK LAGI melulu memuat repertoire classical music, ada semacam genre baru dalam blantika rimba pendidikan dan/atau pembelajaran musik di Indonesia. Jika ini yang dimaksud, perkembangannya sangat menggembirakan. 



Para siswa masih mampu dan mau urunan untuk bisa menyewa venue konser dan main pakai Grand Piano. Guru-guru musik yang, mohon maaf, siswa-siswanya dari kalangan tidak mampu, juga berkesempatan untuk bisa konser secara gretongan dengan siswa guru lain. Acara KONSER BERSAMA sudah sangat marak digelar. Bahkan sudah terbentuk aneka rupa lembaga penyelenggara. Dan tentu festival, kompetisi musik juga marak. Tentang obyektifitas dan hasil dari kompetisi itu sendiri, hmmmm itu kisah lain yang perlu ditoreh tersendiri.

 

Dari keterangan tersebut, menukiklah satu pertanyaan yang, ehm.., agak.. Begini. Jika memang perkembangan Musik Klasik dan/atau musik seni di Indonesia begitu menggembirakan, KENAPA BELUM ADA ORANG INDONESIA YANG JADI JUARA CHOPIN COMPETITION? Kenapa belum ada orang Indonesia yang Juara dunia GFA untuk Ghithar Klaziek? Anda mungkin akan rame-rame berdiri dan berteriak lantang. YAAAAAA YANG ITU MEMANG BELUM ADA. TAPI THE RESONANZ PIMPINAN BAPAK AVIP PRIATNA DENGAN SPONSOR BU GIOK HARTONO SUDAH LANGGANAN JUARA DUNIA PAAAAAAAK! Iya. Itu bagus dan tentu sangat membanggakan. Namun sebagaimana di belahan dunia yang lain, perkembangan musik seni masih “menuntut” adanya Personal Icon. Pribadi yang menjadi World Champion. Apa kepentingannya dan apa pula gunanya bagi kemajuan perkembangan Seni dan Budaya bangsa ini? Itu hal yang menarik.

 

Beberapa negara, seperti China, Korea Selatan, Jepang sangat menaruh perhatian pada Musik Klasik dan/atau Musik Seni. Korea Selatan misalnya. Mereka sampai harus mendatangkan para Pakar dan Professor Professor musik yang berkompeten untuk memberi kuliah. China pun demikian. Dan mereka tak segan segan untuk memfasilitasi pengiriman orang orang terutama remaja yang memang berminat menjadi Juara dalam ajang Kompetisi Musik Klasik dan/atau Musik Seni kelas Dunia. Hasilnya memang ada beberapa orang berkebangsaan China, Korea Selatan yang menjadi Juara di ajang Kompetisi bergengsi seperti Chopin Competition. Belum lagi Orkestra orkestra mereka dengan Dirigen yang namanya berkibar di blantika musik seni serius klas dunia.

 

Tak hanya cukup menjadi juara. Ada Asia yang malah kemudian menjadi salah satu legenda Pianis sepanjang masa. Ia adalah DANG THAI SON.


DANG THAI SON & BRUCE LIU


Pada tahun 1980, Dang Thai Son menjadi orang Asia pertama yang menjuarai International Chopin Competition. Penafsirannya terhadap karya Chopin sangat sempurna. Teknik dan kemampuan pianistiknya sungguh mencengangkan. Dang Thai Son sekaligus memupuskan mitos bahwa Musik Klasik hanya dapat ditafsir dengan pas oleh native nya. Oleh orang Eropa. Dang Thai Son mematahkan mitos tersebut. Di satu sisi, prestasinya meluluhlantakkan dominasi Eropa terhadap Piano Klasik. Di sisi lain, ia menyemburatkan satu aura baru, bahwa agaknya memang benar bahwa Musik Klasik, dalam hal ini Piano Klasik adalah satu Universal human Heritage.

 

Kenapa negara seperti China, Korea Selatan dan Jepang menaruh perhatian pada Musik Klasik? Mengapa mereka tidak mengedepankan Musik Tradisional nya saja? Atau mengapa mereka tidak berlaga di ajang Musik Populer? Ada beberapa faktor yang membuat mereka melakukan ini.

 

1. Mereka merasa perlu terlibat dan bahkan menjadi pemuka dalam pergaulan budaya semesta. Hal ini penting agar mereka tidak teralienasi dan menjadi gagap budaya. Jangan pernah lupa bahwa Musik Klasik, apapun itu, masih dianggap sebagau Universal Human Heritage.

 

2. Negara-negara seperti China, Korea Selatan, dan Jepang tetap memelihara dan merawat dengan sangat baik musik tradisionalnya. Musik Klasik dalam hal ini bagi mereka berfungsi sebagai: sarana merevitalisasi musik tradisional dalam kancah budaya semesta, sekaligus secara perlahan tapi pasti memainkan peran sebagai  HEGEMONI BUDAYA DUNIA.



Ada kisah begini. Perusahaan Piano yang sangat legendaris yakni BÖSENDORFER mengalami kebangkrutan. Kemudian, Perusahaan Yamaha asal Jepang dengan kelihaian diplomasi, keunggulan strategi bisnis dan modal, mengakuisisi perusahaan tersebut. Secara ekonomis, peusahaan manufaktur yang memproduksi Piano sebetulnya adalah investasi jangka panjang. Return of Investment nya kecil sekali. Tapi kenapa Yamaha melakukan ini. Jawabannya karena secara politis dagang, Yamaha dan juga Jepang sebagai satu negara dan bangsa ingin menunjukkan pada dunia bahwa mereka telah mencapai kemapanan dalam ekonominya. Dan tentu saja ini adalah salah satu bentuk “menanamkan secara halus” hegemoni pada budaya semesta.

 

Mungkin ada pertanyaan. Apa untungnya jika berhasil membangun satu hegemoni pada budaya semesta. Keuntungannya adalah bahwa secara psikologi Politik, negara yang demikian memiliki Bargaining Position yang sangat baik. Tidak dipandang sebelah mata. Disegani. Dan dianggap layak untuk diikutsertakan dalam perundingan perundingan yang mempengaruhi masa depan dunia pada umumnya. Harus tetap diingat bahwa hanya satu bangsa yang sudah sangat mapan dalam ekonomi dan stabil secara politik yang mampu membangun hegemoni dalam musik seni seperti Musik Klasik. Hegemoni semacam ini tidak cukup dengan akuisisi piranti alat musik dan penyelenggaraan event konser berskala dunia. Harus ada pribadi-pribadi yang menjadi JUARA. Menjadi Megastar. Yang ikut mendikte dan memelihara antusiasme publik dan rasa “butuh” masyarakat dunia akan musik seni itu sendiri.


Sejatinya, China, Korea Selatan, Jepang, dan bahkan Vietnam serta negara kecil seperti Singapura, memiliki prioritas untuk mendidik dan mencetak Juara Juara dalam ajang musik klasik. Mereka memiliki sekolah sekolah yang dengan fleksibilitas tinggi melakukan penyesuaian kurikulum bagi siswa siswa yang memiliki potensi untuk menjadi JUARA. Singapura bahkan sampai mengimpor guru musik, bukan Dosen ya, untuk sekolah umum. Semata agar ada semacam kelas pendadaran intensif bagi siswanya yang berpotensi. Vietnam, negara yang sempat porak poranda karena Perang Saudara juga mengupayakan dan mengkondisikan sekolahnya sebagaimana halnya dengan Singapura.

 

Kemudian, tentu, bagaimana dengan Indonesia. Sebetulnya, Indonesia sudah menjadi negara yang dalam beberapa kancah politik, sudah sangat lantang bicara dan diperhitungkan. Secara potensi warganya pun tak dapat dipungkiri banyak bahkan teramat banyak bakat bakat dan potensi untuk menjadi unggul dalam ranah musik klasik semesta. Persoalannya adalah : Bahwa situasi Indonesia secara politis, ekonomi dan hukum sering dirasa TIDAK PASTI. Bukan tidak stabil melainkan TIDAK PASTI. Keadaan semacam ini tentu membuat masyarakat dan bahkan Pemerintah sendiri sering tidak memprioritaskan pendidikan musik seni. Hal itu tidak salah dan baik saja. Dan memang mungkin saja prioritas Pemerintah Indonesia bukanlah kedudukan politik dan Ekonomi semesta melalui jalur musik Seni.

 

Lalu kemudian,jika demikian, apa problemnya bagi masyarakat Indonesia sendiri? Sebetulnya, secara jujur, jelas tidak ada. Sangat tidak masalah bagi rakyat atau masyarakat Indonesia jika belum pernah atau bahkan tak akan pernah ada orang Indonesia yang Juara musik seni. Sudah sejak lama, Indonesia didominasi oleh SPORT. Jika anda simak, sejak jaman koran cetak sampai dengan Digital saat ini. Berita Sport disajikan ber halaman. Sementara reportase Konser Musik dan telaah disajikan hanya seiprit dan secuil. Kenapa bisa begini? Tentu ada banyak faktor. Salah satunya adalah bahwa Sport berkaitan dengan kesehatan manusia. Orang yang tidak Sport lebih gampang mati sakit. Sementara, orang tak musikan juga sangat tak mengapa.

 

Keadaan semacam itu membuat JUARA dalam ajang musik seni di Indonesia seperti mendapat pemaknaan baru. Rupanya masyarakat Indonesia tak perlu mengejar sosok juara yang nantinya juga bisa menjadi Legenda. Cukuplah Juara yang bisa mengharumkan nama bangsa dan negara. Maka kita menjadi semestinya memberi penghargaan yang layak bagi para penyandang Juara. Seperti seorang Eunice Tong yang terpilih menjadi Conductor Orkes Terbaik dalam kejuaraan dunia di Inggris. Juga The Resonanz dengan Avip Priatna nya yang langganan juara, juara, dan juara.

 

Jika memang skopa apresiasi masyarakat Indonesia terfokus pada hal hal semacam itu, maka sebetulnya debut Internasional orang Indonesia termasuk para siswa dari Jelia’s Piano Studio dengan Direksi Ibu Jelia Megawati Heru perlu juga mendapat tempat tersendiri.

 

Dalam batas tertentu, Juara dalam ajang Musik Seni tentu bukan pemenang seperti dalam perlombaan dan pertandingan fisik dan mental. Juara dalam musik seni sebetulnya sarat juga dengan kontroversi. Bagaimana satu kebebasan penafsiran karya seni yang sangat personal harus diadu dalam ajang yang parameternya sudah ditentukan. Terasa aneh memang. Tapi faktanya, masih sangat banyak yang memuja Juara dalam Musik Seni.

No comments:

Post a Comment

Note: only a member of this blog may post a comment.