Monday 1 May 2023

BOSAN - by: Michael Gunadi | Staccato, May 2023

“BOSAN”
By: Michael Gunadi
Staccato, May 2023

 

“Lagunya itu itu doank”..... uuuuuufffff...... bosaaaaannn.... cape dech :(

 

Kalimat di atas memang sebuah kalimat dalam dialek Betawi. Jika hendak dipadankan dalam bahasa Indonesia “baku”, kalimat tersebut kira-kira bermakna: lagunya hanya itu-itu saja. Kata “itu-itu” saja menunjukkan sebuah hamparan pilihan yang terbatas. Sedemikian terbatasnya hingga nampaknya malah hampir tak ada lagi pilihan. Sehingga, wajar jika nuansa yang terasa adalah nuansa kebosanan dan kejenuhan.

 

KONDISI TERBATAS

Kata “itu-itu” yang sudah menunjukkan hamparan pilihan yang sangat terbatas, masih juga ditambah kata “doank”. Nampaknya ini adalah sebuah ungkapan yang ingin menekankan secara tandas suatu keadaan yang benar-benar tanpa pilihan. Dalam kalimat tersebut, keadaan tanpa pilihan diletakkan dalam konteks lagu. Lagu yang adalah salah satu manifestasi musik.

 

Lagu yang adalah pengejawantahan nilai estetis dalam rasa terhadap bunyi. Dan lagu yang adalah metamorfosa seni bunyi. Sebuah sublimasi karsa dalam karya, yakni kehidupan itu sendiri. Jadapakah kalimat “lagunya itu-itu doank” merujuk pada sebuah kehidupan yang tanpa pilihan sama sekali??? Boleh jadi dan bisa jadi, sinyalemen ini benar adanya. 



PENGULANGAN

Dalam ranah musik, sejatinya banyak dihadapkan pada keadaan BOSAN. Bukan semata karena keadaan pilihan lagu, melainkan pergulatan dalam musik itu sendiri acapkali bertaburan dengan rasa bosan ini. Dalam beberapa keadaan, batasan bosan dan sikap frustrasi malahan bisa sedemikian samar. Ilustrasinya kira-kira begini: Hakekat dari bermain musik sebetulnya adalah adagium repetitio est matter studiorum. Mengulang adalah induk dari belajar. Musik pada esensinya adalah pengulangan yang terus-menerus sampai pada satu kulminasi kelayakan tertentu, yang repotnya, batasannya juga seringkali sangat absurd. 

 

Seorang anak yang sedang belajar piano misalnya. Dia mau tidak mau, suka atau tidak suka, gurunya Professor ataupun pemain amatiran abal-abal, tetap harus melalui pengulangan. Mengulangmengulangdan mengulang. Hingga pada satu titik, dia, dan juga si guru, menjadi tidak tahu lagi. Ini bosan ataukah frustrasi karena tak kunjung memuaskan? Hmm... hehehehe.

 


PENYEBAB BOSAN

Menjadi menarik jika kita telaah sejenak dan telisik selayang pandang, apa sih sebetulnya penyebab orang jadi bosan? 


Yang pertama adalah Pikiran yang monotonous. 

Seseorang yang belajar musik, lazimnya hanya memiliki satu pemikiran. Bagaimana ia cepat bisa memainkan satu musik/lagu. Hanya itu. Dia tidak sempat (karena dalam proses belajar) untuk memaknai setiap pengulangan yang harus dilakukan. 

 

Hal kedua adalah bahwa pembelajaran musik seringkali tanpa tantangan. 

Sangat penting bagi guru untuk memberi tantangan pada siswa musiknya. Misalnya dengan ujian sertifikasi, konser ataupun sekedar masuk dalam sosial media. Hal ini membuat siswa tak lagi berpikir secara monoton, karena dia mempunyai lebih banyak goal alternative achievement.

 

Hal ketiga adalah kebutuhan akan sesuatu yang baru. 

Siswa belajar lagu jaman Baroque yang dia tidak tahu menahu asal usul dan dimana bagusnya, sementara di sekolah teman temannya mendengarkan aneka lagu viral yang kekinian. 

 

Hal keempat adalah keterbatasan sumber daya. 

Yang belajar musik itu tidak punya waktu, ataupun gurunya juga hanya melulu tukang perintah, sehingga ada kendala sumber daya unbtuk menggali dimana letak tantangan dan kebagusan lagu yang sedang dipelajari.

 

Hal kelima adalah kurangnya otonomi

Banyak siswa yang belajar musik sebagai pemuas nafsu keinginan parentsnya. Sebetulnya ini TIDAK SALAH DAN TIDAK BURUK. Konyol jika anak usia Primary School ditawarin kursus apa yang dia suka. Masalahnya adalah, parents dan guru semestinya mendorong si anak untuk berani terbuka. Bahwa ia prefer lagu yang model begini daripada yang seperti bule jadul Problemnya adalah bagaimana hal semacam ini berbenturan dengan kurikulum yang harus dikejar dan dipenuhi. Serba susah. 

 

Hal keenam adalah kultur dalam lingkungan keluarga dan masyarakatnya. 

Jika budayanya seperti budaya masyarakat pantai Utara Jawa yang umumnya mentabukan anak usia sekolah untuk lantang berpendapat, celakalah si anak. Dia akan menjadi katak dalam panci yang pengap dan tertekan habis. Sebaliknya, jika kulturnya seperti Cina Jakarta orang kaya baru yang sok ke amerika amerikaan, si anak juga akan kebingungan seperti keledai dungu bodoh tetapi norak. Ia akan menerapkan gaya liberal tanpa arah yang hasilnya adalah dia menjadi Boss kecil yang kurang ajar terhadap gurunya. Lagi-lagi serba salah.

 

Semua hiruk pikuk serba salah yang menjadi biang kerok rasa bosan belumlah selesai. Dalam ranah musik, semua itu akan digiring beramai-ramai pada keadaan faktual di medan kehidupan yang mau tidak mau bertalian dengan seni khususnya musik. Contoh konkritnya adalah lagu yang beredar dan viral. Agak aneh. Yang viral itu sebetulnya dari genre yang itu itu saja. Dia viral semata karena syair, garapan musik yang norak ataupun profil tipikal performancenya. Tapi secara substansial, genre nya juga itu, itu, itu dan itu saja. Misal, revitalisasi seni tradisi. Diselipkan dialek Bali, Sunda. Tapi esensi musiknya sebetulnya tidak baru.

 

Lagu adalah musik. Pernyataan tersebut sudah sangat jelas. Musik bisa didengar dan/atau didengar sekaligus ditonton. Banyak konser musik yang sebetulnya acapkali menampilkan repertoire yang itu-itu doank. Acara lagu-lagu nostalgia misalnya. Hampir selalu menampilkan lagu-lagu yang itu-itu saja. Karena memang yang itu-itu sajalah yang populer. Repertoire jazz, juga tak luput dari itu-itu saja. Moonlight in Vermont, Days of Wine and Roses, Bluesette dan sebangsanya. Karena memang yang itu-itu sajalah yang menjadi standard dan merupakan dambaan tiap pemusik Jazz untuk mengimprovisasinya. Konser musik klasik pun demikian juga. Seringkali dan bahkan acapkali menampilkan simfonia dan konserto yang itu-itu saja. Karena yang itu-itu sajalah yang ternyata merupakan tolok ukur interpretasi dan presisi pemusiknya.

 


Dalam musik industri pun terjadi keadaan itu-itu saja. Lagu dang dut ditampilkan dengan gaya tampilan yang itu-itu saja. Pinggul digoyang atau digoyang-goyangkan. Bibir dimonyong-monyongkan untuk memberi kesan “haus” birahi. Dan…ini yang wajib…pamer ketiak!!! Musik Pop pun ditampilkan dengan gaya performansi yang itu-itu saja. Sang penyanyi jalan kesana kemari seperti mencari jarum dalam jerami. Kemudian..ini juga wajib… microphone ditodongkan ke arah penonton, Juga mengajak tepuk tangan dan mengajak penonton buka ketiak alias mengangkat tangan tinggi-tinggi.

 

Dari repertoire lagu (dan musik) yang itu-itu saja. Kemudian gaya performansi yang juga itu-itu saja, nampaknya kita perlu memberi pemaknaan berbeda terhadap kalimat lagunya itu-itu doank. Ada satu keadaan yang menempatkan itu-itu doank pada situasi unik. Itu-itu doank, tidaklah selalu membosankan dan membuat jenuh. Itu-itu doank memang merujuk pada limited alternative, namun keterbatasan pilihan tersebut justru mengungkap kesejatian nuansa dan fenomenanya. 

 

Yang menjadi masalah tentu adalah bagaimana kita menghalau bosan. Beberapa maestro legendaris sudah melakukan hal itu. Legenda Gitar Pepe Romero misalnya. Beliau memainkan Concierto de Aranjuez karya Joaquin Rodrigo ribuan kali! Beliau tidak bosan. Audiens nya pun tidak bosan. Kok bisa? Ya karena dalam setiap episodenya selalu ada “yang baru”. Pendekatan musikal yang baru. Pengolahan tempo yang baru. Permenungan penghayatan yang juga baru. Itu dapat menghalau rasa bosan.

 


Dalam ranah Musik Klasik ada satu petunjuk yang bagus dari seorang pianis hebat, Yuja Wang. Bukan hanya untuk episode latihan dalam pembelajaran musik melainkan juga untuk tetap membuat anda excited menikmati setiap sajian musik, utamanya Musik Klasik.



Ada beberapa elemen yang bisa menghalau kebosanan dalam terutama musik klasik. Bahwa Musik Klasik dalam esensi terdalamnya memiliki “blood” artinya adalah aliran “daya hidup” seperti darah. Energi yang bisa membuat orang terbangun bangkit. Hal hal yang sinistik dan kelam. Bahkan daya linuwih sensual. Tinggal bagaimana anda, sebagai pribadi, sebagai guru ataupun sebagai parents bisa mengakomodir hal ini.


No comments:

Post a Comment

Note: only a member of this blog may post a comment.