Friday, 31 March 2023

UNTUK APA - by: Michael Gunadi | Staccato, April 2023

UNTUK APA
By: Michael Gunadi
Staccato, April 2023

Slamet Abdul Sjukur, Alm.

Seorang Slamet Abdul Sjukur, Almarhum, memiliki kesenangan untuk menganalisa, menelisik, menguak,dan menyeruak naskah musik. Banyak bahkan teramat banyak score musik yang sudah beliau telaah. Penelaahannya sangat detil seperti seorang Detektif ahli forensik. Yang menjadi pertanyaan adalah, untuk apa Mas Slamet melakukan itu semua? Pada saat beliau diminta untuk membuat tulisan essay panjang pada Hari Ulang Tahun Chopin ke-200 oleh Dewan Kesenian Jakarta, Mas Slamet pun mempertanyakan upayanya. 

 

Apa untungnya memahami musik Chopin? Apakah menghasilkan uang? Sama sekali tidak. Apakah menghasilkan ketenaran? Sama sekali juga tidak. Mengingat pada waktu itu Koran, Tabloid, majalah lebih suka memuat berita olah raga dan selebriti. Dengan demikian, sebetulnya untuk apa Mas Slamet melakukan itu semua.

 

Seorang Dokter spesialis penyakit dalam. Perempuan. Secara finansial sangat berkecukupan. Karirnya gilang gemilang. Anak-anaknya sudah purna belajar dan menjadi Dokter juga. Pasiennya sangat banyak. Beliau tenar sebagai Dokter bertangan dingin. Di sela sela kesibukan dunia medisnya, beliau masih menyempatkan diri untuk membeli buku-buku tentang musik. Menyempatkan diri membaca buku-buku musik. Dan, masih menyempatkan diri meski hanya sebentar untuk bermain piano. Main pianonya sama sekali tidak bagus. Lagu-lagunya hanya Light Classic, yaaaaaaa sebangsa Toselli, Maidens Prayer, dan itupun dimainkannya dengan salah-salah. 


Menjadi menarik mencermati kesenangannya. Seorang Dokter top sekaliber dia, untuk apa main musik dan baca musik. Untuk apa dan apa untungnya bagi beliau. Jelas tidak akan dapat uang, Kan mainnya buruk kok. Jelas tidak akan tenar karena beliau gak punya IG ,FB maupun YouTube. Untuk apa coba.



Ada lagi seorang Lawyer. Klien nya banyak. Tentu waktunya sangat tersita dengan profesinya. Beliau masih menyempatkan diri untuk mengadakan Home Concert. Yang datang hanya beberapa teman akrabnya. Di Home Concert tersebut Beliau menyanyi lagu Seriosa yang terkenal, tapi termasuk grade rendahan. Dan itu dilakukannya secara rutin. Untuk apa beliau melakukan hal sedemikian. Beliau juga memberi donasi pada para pemain musik klasik yang merana karena tak kunjung mendapat panggung tampil untuk mendapat penghasilan. Untuk apa. 

 

Ada yang lebih gila lagi. Perempuan. Ya tentu secara finansial sangat baik. Berulang kali memanggil pianis top klas dunia. Untuk datang ke rumahnya. Yaaaaaa sekedar Konser dihadiri teman-temannya. Si Artis juga diminta memberikan Masterclass. Pesertanya bayar hanya sekedar ada ikatan semata. Untuk apa. Rugi. Nombok. Dapat apa beliau. Tidak ada. Orang bahkan hanya beberapa gelintir yang menghagai upayanya. Sekali lagi, untuk apa.

 

Masih ada lagi yang lebih ekstrem. Tiap hari posting di Facebook, di Instagram tentang hal-hal bermanfaat seputar musik. Kadang dia juga main lagu Klasik, Jazz, dan Pop. Dia juga bicara tentang musik melalui video pendek. Untuk apa. Dia tidak dapat uang. Tenar? Tentu tidak. Karena yang LIKE tidak banyak. Yang mengucapkan terima kasih juga hanya kadang-kadang. Tapi ini dilakukan terus-menerus dan sudah satu dasawarsa. Untuk apa coba. Yang didapat malahan hanya caci maki. “ahhh lagi lagi si ini posting. Tiap hari posting. Muak”. Tragis kan. Diberi materi musik gratis malahan di caci maki.

 

Dunia tempat kita berdiam saat ini memang adalah dunia yang materialistik. Semua diukur dengan berapa besar materi yang bisa didapat. Ukuran sukses itu jika rumahnya mewah, mobilnya keren, liburannya ke luar negeri. Ukuran sukses bukan lagi diukur dengan seberapa besar kontribusi sosialnya. Semua selalu dibenturkan pada pertanyaan UNTUK APA. Seakan semuanya adalah nisbi jika tidak dapat menghasilkan materi yang fantastis.

 

Orang yang mencoba berkontribusi bagi lingkungan sosialnya, dicibir, ditertawakan dan dicap sebagai “Pahlawan kesiangan”. Dalam keadaan materialistik semacam itu, musik sebetulnya sangat banyak menjadi tumbal. Berapa kali kita mendengar sumpah serapah para orang tua. Untuk apa kamu gitaran, lebih baik pikir ujian ASN saja. Gitaran tuh untuk apa. Ini memang tidak salah, namun ini menyuburkan materialisme yang nyaris menjurus pada hedonisme.


Felix Mendelssohn Bartholdy


Musik, lebih khusus lagi yaitu Musik Klasik, sebetulnya akan terasa janggal dan aneh jika harus dipersandingkan dan dijeburkan dalam arus materialisme yang semakin deras. Sejak dahulu, tidak ada komposer dan pemain Musik Klasik yang mapan secara materi. Hanya Felix Mendelssohn Bartholdy saja yang mapan secara finansial. Barulah pada era industri, dengan munculnya Deutsche Gramophon, perusahaan piring hitam Jerman, banyak pemusik klasik yang kaya raya. Herbert Von Karajan dengan gelimang harta. Soprano Maria Callas yang bergelimang ketenaran dan kisah yang mengharu biru. Namun jangan salah, orang-orang hebat tersebut mengabdi pada industri. Bukan kesejatian musik dalam relung yang sangat personal.


Maria Callas

 

Zaman 2010 Musik Klasik sudah tergerus. Beberapa orang dengan pongah dan congkak masih jumawa dengan kejayaan Musik Klasik. Padahal, daur Musik Klasik seperti kembali terulang. Meredanya Pandemi Covid 19 memang membawa angin segar bagi panggung Musik Klasik. Persoalannya adalah. Apakah ini Euforia semata ataukah memang Musik Klasik sudah bangkit jaya. Waktu yang akan menentukan. Satu hal yang menarik untuk dicermati adalah bahwa jaya atau bangkrutnya Musik Klasik, akan tetap saja pribadi pribadi yang menyendiri. Bermusik dalam rona relung yang sangat personal. Mereka adalah para Diletan. Minat musik nya luar biasa. Terkadang juga memiliki kemampuan teknik bermusik yang sangat baik. Namun mereka bukanlah musisi professional.

 

Dan tetap ada lagi pribadi pribadi seperti Almarhum Mas Slamet Abdul Sjukur. Bekerja dalam sepi meski tidak kesepian. Bekerja sunyi. Paparan hasilnya hanya berupa amalan ilmu bagi yang membutuhkan semata. Sebetulnya, ada banyak pribadi seperti mas Slamet. Para dosen musik berkualitas di jerman misalnya. Mereka bermusik, bermusik dan bermusik untuk memuaskan hasrat estetisnya. Ditengah rutinitas memberi kuliah yang sebetulnya sangat membosankan. Dan sekali lagi tentu tak bisa ditanya, untuk apa mereka misalnya, kok tidak punya IG dan kanal YouTube.

 

Maraknya pertanyaan yang sekaligus pernyataan UNTUK APA, sebetulnya membawa dampak yang tak kecil bagi pendidikan musik itu sendiri. Seringnya tercetus ungkapan UNTUK APA menjadikan siswa musik lebih mementingkan mata pelajaran eksakta dibanding les musiknya. Karena, pasti akan ada muncul ujaran UNTUK APA kamu mendalami musik. Yaaaa pokoknya ujian lulus ya sudah lah. Sekolah jauh lebih penting. Biar kamu jadi Dokter, lawyer, Insinyur. Mungkin memang dunia materialisme menjadi menafikan satu hal. Bahwa tidak semua orang ditakdirkan menjadi Dokter, Lawyer, Ekonom, Insinyur. Banyak yang sebetulnya diberi talenta untuk berkutat dengan takdirnya sebagai seniman. Termasuk Komposer dan Pemain musik Klasik.

 

Sebetulnya, pertanyaan yang paling mendasar adalah: Apakah seseorang itu perlu kaya atau hanya perlu hidup dengan kebutuhan primer dan sekedar hiburan bathin. Lalu apakah tolok ukur dan parameter kesuksesan itu akan bergeser sesuai alur jaman. Ini bahan permenungan yang mestinya patut kita renungkan dan permenungkan. Untuk apa. Kayak kurang kerjaan saja mikirin hal begituan.

 

Sebetulnya ya demi adanya manusia berbudaya. Sebab jika materialisme yang semakin deras tidak diimbangi dengan budaya, maka akan terjadi fenomena Homo Homini Lupus. Manusia adalah serigala bagi sesamanya. Dan fenomena ini sangat mengerikan. Ah. Untuk apa berpikir jauh begitu. Untuk apa. Tuh, anak nangis, kerja,kerja,kerja,cari duit. .... Tak ada salahnya bersikap pragmatis seperti itu. Namun, jangan pernah lupa. Dulu saat si Bocah Greta Thurnberg mengkampanyekan krisis iklim, kita ramai-ramai mencibir dan layaknya gaya orang metropole yang anjay-anjay, kita cuek bebek. Apa yang terjadi sekarang? Kita terkaing kaing akibat derita badai dan banjir serta cuaca extreme.


Stefan Koelsch


Kita semua tentu tahu bahwa musik itu menyenangkan, dan mengakui bahwa musik banyak berperan dalam mewujudkan kehidupan kesejahteraan kita. Sebetunya tak hanya itu. Banyak peneliti juga percaya bahwa musik memainkan peran penting dalam memperkuat ikatan sosial. Dalam tinjauan penelitian musik tahun 2013, Stefan Koelsch, psikolog musik di Universitas Freie Berlin, menjelaskan beberapa mekanisme di mana musik memengaruhi kemampuan kita untuk terhubung satu sama lain, dengan cara mempengaruhi sirkuit otak yang terlibat dalam empati, kepercayaan, dan kerja sama yang sangat mungkin juga menjadi hal yangmenjelaskan bagaimana manusia dapat bertahan di setiap budaya dunia yang penuh aneka rona.

 

Pada sebagian besar napak tilas sejarah manusia, ditengarai bahwa satu-satunya cara untuk menikmati musik adalah secara live. Sejatinya, tidak ada rekaman yang memungkinkan kita berbagi musik di luar pertunjukan. Karena musik harus melibatkan kontak dengan orang lain (misalnya datang bersama untuk konser), itu memberikan jaring kenyamanan fisik dan psikologis yang mungkin telah membantu nenek moyang awal kita. Serta mungkin masih membantu kita sampai saat ini untuk bertahan hidup. Lalu rame-rame akan dijawab: Untuk apa datang ke konser. Bahaya. Dicopet. Dan sebagainya. Enakan di rumah. Nonton streamingnya pakai layar lebar.

 

Sejatinya, satu pertunjukan musik melibatkan koordinasi dari upaya kita juga. Yaaa, setidaknya jika kita ingin menikmati bunyi yang menyenangkan. Menurut peneliti, ketika kita mencoba menyelaraskan musik dengan keberadaan orang lain, dengan menjaga irama atau mengharmoniskan apa yang kita saksikan dan dengarkan, misalnya. 

 

Maka kita akan cenderung merasakan perasaan sosial yang positif terhadap orang yang kita selaraskan, bahkan jika orang itu tidak terlihat oleh kita atau tidak dalam ruangan yang sama. Meskipun tidak jelas mengapa hal itu terjadi, mengkoordinasikan gerakan dengan orang lain terkait dengan pelepasan zat kimia kesenangan (endorfin) di otak, yang mungkin menjelaskan mengapa kita mendapatkan perasaan positif dan hangat saat kita menikmati musik bersama. Dan please jangan tanya lagi untuk apa.

 

Memainkan musik dalam duet atau Ensemble kecil atau bernyanyi dalam paduan suara, tentu melibatkan kerja sama juga, baik dalam persiapan pertunjukan maupun selama pertunjukan. Dapat dikatakan, kerja sama meningkatkan kepercayaan antar individu dan meningkatkan peluang kerja sama di masa depan. Semua itu adalah faktor penting dalam keberhasilan evolusi manusia dan stabilitas masyarakat.


No comments:

Post a Comment

Note: only a member of this blog may post a comment.