Tuesday, 31 January 2023

Musik Untuk Semua Orang - by: Michael Gunadi | Staccato, February 2023

MUSIK UNTUK SEMUA ORANG
By: Michael Gunadi
Staccato, February 2023


Ada ungkapan begini: Good Music is for everybody. Everybody have right for good music. Entah ungkapan itu berasal dari siapa, darimana dan mulai kapan itu nampaknya menjadi kurang penting. Yang pasti, ungkapan tersebut banyak membuat fenomena besar, khususnya dalam ranah pendidikan musik. Ungkapan itulah yang membuat anak anak mulai SD sampai SMA di Inggris, nangis-nangis ketika pemerintah Inggris kekurangan anggaran untuk tetap melaksanakan pendidikan musik di sekolah umum. 

 

Ungkapan itu pulalah yang membuat Indonesia, sejak MULO di jaman Belanda, masa Bung Karno, masa Pak Harto, masa Reformasi sampai kini tetap menyelenggarakan pendidikan musik. Baik sebagai muatan intra kurikuler di sekolah umum, extra kurikuler di sekolah umum maupun kursus kursus musik dari yang abal-abal, laba-laba cari uang sampai yang kursus beneran.

 

Satu pertanyaan yang seharusnya terlintas di benak kita adalah: kenapa kok musik? Kenapa kok bukan tari. Bukan ballet. Bukan seni lukis. Bukan seni patung. Mestinya, semua cabang seni bisa dan pasti bisa mencapai tujuan sebagaimana musik. Hanya saja musik menjadi satu keutamaan karena musik memiliki artis artis, panggung, kegemerlapan, dan pengarus sublimasi frekuensi nada sampai ke otak manusia yang paling perasa. Hal yang agak sulit didapat jika kita hanya memandangi patung, memelototi lukisan dan mengamati gerak tari. 



Pertanyaan berikutnya adalah: kenapa musik harus jadi hak semua orang dan kenapa semua orang pada hakekatnya memiliki hak untuk mendapat musik. Jawabannya sederhana saja. Agar umat manusia semesta menjadi berbudaya. Dan jika berbudaya maka umat manusia semesta akan menjadi semakin manusiawi. Perhatikan kata SEMAKIN yang artinya adalah proses berkesinambungan yang terus menerus tak henti. Karena meski, katakanlah, misalnya, semua manusia di semesta ini sudah mendapat hak untuk musik, tetap akan ada saja perilaku binatang yang buas dari umat manusia.

 

Sampai pada titik ini, pasti ada yang menyampaikan uneg-uneg: Lho?! tu di negara itu tuh, musik dilarang. Tapi ya negaranya, rakyatnya tetap baik-baik saja tuh. Ya, memang. Musik sebetulnya hanya SALAH SATU cara saja untuk berbudaya yang produknya adalah manusia humanis. Tidak apa pemutlakan bahwa manusia akan menjadi manusiawi HANYA lewat musik. Tidak ada. 



Hanya saja, perlu diingat, bahwa napak tilas peradaban manusia itu berkembang terus, terus dan terus. Perkembangan peradaban ini mau tidak mau, suka tidak suka akan membawa pula transformasi budaya. Ditambah lagi dengan interkoneksi antar budaya. Maka umat manusia sebetuknya membutuhkan satu entitas seni yang kenyal, yang adaptif, yang luwes. Dan, sampai hari ini, musik sudah membuktikan bahwa dirinya memiliki semua kemampuan tersebut.

 

Kemudian, jika musik memang untuk semua orang, dan semua orang memiliki hak terhadap musik yang baik, seperti apakah wujud musik bagi dan hak semua orang. Apakah Musik Klasik?! Apakah musik rohani?! Apakah musik meditatif?! Untuk memberi batasan, kita tidak akan mengelompokkan musik untuk semua orang menurut genrenya. Tidak. Kenapa? Pengelompokan musik berbasis genre dengan didasari fanatisme kegemaran pada genre musik tertentu, hanya akan mengkotak-kotakkan musik itu sendiri. Dan pengkotak-kotakan musik terhadap entitas seni sangat bertentangan dengan kebersamaan dan persamaan hakekat manusia sebagai makhluk berbudaya dengan laku, karsa dan asa yang manusia. 


 

Jadi, dapat dikatakan, musik untuk semua orang adalah musik YANG BAIK. Apa itu batasan baik? Gampang saja. Musik yang baik adalah musik yang membawa pelaku dan penikmatnya, antara lain: Makin Taqwa pada Khaliqnya. Mengagumi, menikmati dan memelihara lestarinya semua ciptaan sang Khaliq. Mencintai sesama bukan dengan napsu yang bejat melainkan menurut kepatutan lazimnya cinta di kalangan manusia berbudaya. Tidak mempropagandakan selera hewani. Tidak menyodorkan aroma busuk politik dan tak terpolitisasi. Dan sebagainya. Intinya, yang lazim dianggap baik oleh manusia “normal” itulah batasan musik yang baik.

 

Tata dunia semakin kompleks. Hal-hal yang tabu diantara relasi familia umat manusia, sekarang batasannya semakin sumir dan tipis. Lebih tipis dari kertas tissue. Ada isyu-isyu yang tadinya tabu, sekarang, sebagai sebuah realita, mesti diungkap lewat seni. Misalnya saja isyu tentang LGBTQ. Bagaimana jika aroma LBGTQ dihadirkan via musik. Dalam bentuk yang sangat seni. Artistik. Terselubung penuh semburat simbol dan pralambang. Apakah musik yang semacam itu masih bisa disebut musik yang baik?



Saya uraikan sedikit “penghakiman”nya. Sebuah entitas seni haruslah menjadi produk untuk membudayakan dan memanusiakan publiknya. L’art pour L’art atau seni untuk seni, itu adalah slogan kemandirian seni dan bukan menunjukkan keberadaan seni itu sendiri. Jadi artinya, seni, dalam hal ini adalh musik, tidak bisa terlepas dari konteks atau kesekitaran budaya publiknya. Musik ada dalam kesekitaran dengan budaya publiknya. Jika ragam budaya publiknya menolak keras LGBTQ, ya tentu dalam hal ini, meski sudah dikemas sangat estetis, musik tentang LGBTQ BUKAN TERMASUK MUSIK YANG BAIK. 

 

Di belahan lain, dalam kesekitaran yang mau menerima LGBTQ, ok lah jika musik yang mensiratkan hal tersebut diterima dengan tenang tanpa ribut-ribut. Sampai disini, tentu ada yang bertanya: Lho, jadi keberadaan musik itu relatif ya? Jawabannya: SAMA SEKALI TIDAK RELATIF. Karena relasi, interkoneksi, antara musik dan kesekitaran budaya penikmatnya sesungguhnya bisa diberi batasan demarkasi secara terang benderang.

 

Hal yang menarik adalah apakah musik bagi semua orang dan hak orang untuk mendapat musik yang baik sudah dilakukan dengan semestinya? Sebetulnya, tidaklah penting ukuran semestinya, proper atau unproper. Yang paling penting adalah bahwa musik masih dihadirkan di semua lapisan masyarakat dan musik masih DIAJARKAN secara mendidik di semua lapisan masyarakat. Kita akan menengok sejenak keberadaan musik di Indonesia dalam lingkup sekolah formal.



Kurikulum pendidikan formal yang sekarang dipakai adalah KURIKULUM MERDEKA BELAJAR DAN MENGAJAR. Musik termasuk konten yang diutamakan. Di tingkat SD, SMP, SMA materi pelajaran musik di Kurikulum MERDEKA sudah sangat baik. Tidak ada lagi itu anak SMP disuruh menulis transposisi tangganada sampai 4 sharp dan 4 flat. Tidak ada lagi itu anak SMA diminta membuat aransemen tertulis sebuah pop ensembles. Semua bertitik tumpu pada Profil Pelajar Pancasila. Teknik bermusik hanya diperkenalkan. 

 

Musiknya Bach, Mozart? Untuk apa anak Indonesia tahu begituan. Lebih elok para siswa di Indonesia tahu kisah tentang Jos Cleber yang mengorkestrasi Indonesia Raya daipada hafal tentang sejarah Minuet nya Bach. Dalam tata dunia digital, jika si murid tertarik dengan Bach, Mozart dan Beethoven, ia bisa googling dan baca. Tapi secara intrakurikuler, memahami musik budaya sendiri jauh lebih penting dan harus diberikan secara terstruktur, masif dan berkesinambungan.

 

Yang menjadi masalah adalah, bagaimana musik yang baik dalam kurikulum yang juga baik, dihadirkan di hadapan siswa/murid. Apakah gurunya siap? Apakah gurunya memiliki “rasa” akan musik yang pas dan mendidik bagi siswa/muridnya. Hal ini sebetulnya menjadi masalah serius. Karena dalam kenyataannya: saat acara perayaan sekolah, ok saja jika murid menampilkan musik bersyair cengeng menjurus cabul dengan goyang erotis. 



Gurunya sendiri, gemar menampilkan lagu yang mestinya tidak pas untuk ditampilkan dalam acara lembaga pendidikan formal seperti sekolah. Lhoooo.... kita kalo lagi lagi BAGIMU NEGRI, IBU KARTINI ya bosan dong pak. Bukan! Salah!. Sesuai batasan dalam paragraf di atas, silahkan saja anda tampilkan musik apapun. Dangdut? Sangat ok. Tapi gerakannya tolong jangan goyang itik, goyang duyung, goyang lumba lumba. Goyangnya bisa ambil dari Tari Tradisional kan. Begitu pun lagunya. Bukan harus lagu suami whatsapp an dengan perempuan lain kan. Bisa misalnya Melukis Senja karya Budi Do Re Mi di dangdut in. 

 

Kalau kita cermati, dan kita mau jujur, sebetulnya Kemdikbud dibawah pak Nadiem Makarim sudah benar-benar memperjuangkan musik bagi semua orang. Bagi yang belum tahu. Di Kurikulum MERDEKA BELAJAR DAN MENGAJAR ini, di jenjang SMP, kelas itu dibagi berdasarkan minat murid terhadap seni. Jadi ada kelas Musik, kelas tari, kelas Lukis. Dan ini berlaku UNTUK SEKOLAH FORMAL YANG NEGERI. Sebuah terobosan yang berani, luar biasa dan sangat layak diacungi jempol. Dengan keadaan seperti itu, tidak ada lagi sebetulnya kekhawatiran bahwa musik akan terpinggirkan dari intra kurikuler sekolah formal di Indonesia. Dan tentu, dengan pembagian kelas berdasar minat murid terhadap seni yang begitu intens, diharapkan output nya akan menjadi baik. Output dalam hal ini tentu bukanlah banyaknya pemusik pemusik yang lahir. Melainkan sebuah generasi yang berbudaya dan manusiawi.


 

Yang menjadi masalah adalah sarana dan prasarana. Musik bagi semua orang bukanlah sebuah keniscayaan yang tanpa biaya. Ada biaya yang terbilang besar yang harus dialokasikan. Musik semua orang mengandaikan bahwa semua orang juga memiliki akses yang cukup baik untuk mendapatkan musik yang baik pula. Akses tersebut tentu, dalam bentuknya yang paling sederhana adalah quota internet. 

 

Indonesia ini bukan Inggris yang Cuma sejengkal daratan. Indonesia sangat luas dan jangan lupa, dipisah sambung oleh samudera. Tidak mudah memeratakan akses internet untuk keadaan sedemikian. Kemampuan dan kreatifitas guru, akan dihadapkan pada kenyataan sulitnya akses bagi berlangsungnya upaya musik bagi semua orang. Pemerintah jelas telah berusaha maksimal. Namun, negara Archipelago seperti Indonesia ini memang membutuhkan perjuangan ekstra untuk mendapat akses seni dan budaya khususnya musik.



Masalah lain yang tak kalah peliknya adalah material musik yang baik itu sendiri. Kenyataan yang dihadapi adalah bahwa semua orang, saat ini, mau tidak mau, suka tidak suka, dihadapkan pada gencarnya arus serbuan industri musik. Tidak ada yang salah dengan derasnya arus industri musik. Semua baik saja. Yang menjadi masalah adalah bahwa industri pasti akan berorientasi pada profit. Dalam industri seperti musik, profit ini terjadi dengan membuat trend. 

 

Ada kalanya trend harus dibuat dengan sensasi sensasi agar hasilnya bisa menggiring kegemaran publik. Ini masalahnya. Tidak semua sensasi itu sehat. Sensasi bisa sangat menyesatkan dan bahkan membahayakan jai diri satu generasi. Dan bukan Cuma Indonesia. Banyak negara maju yang kewalahan menghadapi sensasi industri musik. Dibutuhkan sebuah filter yang kuat. Seperti apa filter itu? Jawabannya adalah REVITALISASI BUDAYA LOKAL. Budaya lokal diangkat dan diberi “baju baru” agar tetap survive dalam ranah generasi masa kini yang kekinian.



Musik Untuk Semua orang sebetulnya bukan satu kulminasi perjuangan. Musik Untuk Semua Orang dalam hakekatnya adalah slogan. Yang membuat umat manusia senantiasa mawas diri. Bahwa manusia memerlukan seni yang dapat membudayakan budi pekerti yang semestinya


No comments:

Post a Comment

Note: only a member of this blog may post a comment.