Sunday 2 October 2022

ANEH - by: Michael Gunadi | Staccato, October 2022

ANEH
By: Michael Gunadi Widjaja
Staccato, November 2022


Dalam KAMUS BESAR BAHASA INDONESIA atau KBBI, kata aneh, dimaknai sebagai: tidak seperti yang biasa kita lihat (dengar dsb); ajaib; ganjil. Dan aneh terjadi dalam berbagai sisi kehidupan manusia. Dalam bidang apapun. Aneh dapat menjadi keanehan. Dan keanehan ini kemudian memiliki sifat yang bermacam-macam. Ada keanehan yang sifatnya berupa sensasi. Menjadikan fenomena sensasional. Ada keanehan yang sifatnya destruktif. Memiliki daya rusak untuk merusak siapapun yang terlibat. Dan tentu, ada keanehan yang bersifat unik. Memiliki nilai untuk dipajang, dikoleksi, dijadikan tontonan dan lain lain dan lain lain serta lain lainnya.

 

Musik, sebagai bagian tak terpisahkan dalam pribadi (sebagian terbesar) manusia, tentu tak luput dari aneh. Beberapa karya musik memang aneh. Nampak aneh. Terdengar aneh. Terasa aneh. Mengandung hal ikhwal aneh. Dan... yang menulis juga aneh. Hmmmm. Orang biasanya, karena latah, karena agar dianggap paham musik, agar dianggap seniman, menyamaratakan hal aneh dalam musik sebagai MUSIK KONTEMPORER. Ya sebetulnya terserah dan bebas bebas saja. Orang bebas dan berhak menggolongkan musik dalam golongan apapun. Bahkan jika musik itu digolongkan sebagai makanan sejenis lumpia pun, tidak masalah. Karena... Toh musik. Salah juga nggak bikin mati.



Agar tidak pusing lantas berperilaku aneh, terlebih dahulu kita akan sedikit bicara tentang musik kontemporer. Istilah KONTEMPORER sebetulnya dipakai untuk karya yang “mendahului jaman”. Johann Sebastian Bach misalnya. Pada jamannya dianggap kontemporer. Lha bikin musik kok gak ada jeda nya. Di Jaman Bach belum ada musik seperti itu, makanya karya Bach dianggap kontemporer PADA JAMANNYA. Apakah sekarang karya Bach bisa disebut Kontemporer? Ya jelas TIDAK. Karena yang bikin seperti Bach sudah terlalu banyak. Contoh lain. Pemusik Jean Michael Jarre. Main pakai setumpuk Synthesizer dengan sinar laser. Pada jamannya ya jelas Kontemporer. Tapi untuk sekarang, ya tidak kontemporer. Lha anak SD kampung juga sudah buat pertunjukan begitu. Sampai disini, diharapkan pembaca menjadi terang benderang. Bahwa yang aneh itu tidak bisa dikatakan Kontemporer.



Sebagaimanan harkat aneh itu sendiri, aneh dalam ranah musik kemudian menjadi keanehan. Keanehan ini bisa bersifat beraneh aneh agar mendapat sensasi. Sengaja membuat musik aneh sebagai counter dari fungsi musik yang cuma selalu menghibur dan menyenangkan serta menenangkan. Atau keanehan yang memang unik dan dikomposisi dengan relung filsafat yang sangat matang. Konsep yang teramat sangat jelas. Perhitungan presisi. Dan tentu, ungkapan musikalitas yang juga aneh, dalam arti di luar yang umum. Aneh yang semacam itu kemudian menjadi tonggak sejarah dalam napak tilas musik. Orang akan membicarakannya tanpa berhenti. Dan itu juga hal aneh. Nah, dalam tonggak sejarah napak tilas musik, ada aneh yang sepertinya layak untuk ditayangkan. Karena banyak hal yang bisa dipelajari, meski juga aneh untuk mempelajari hal yang aneh.


4 Menit 33 Detik karya John Cage




Score nya hanya bertuliskan TACET. Seorang pemain hanya berdiam dan sama sekali tidak membunyikan nada apapun. Hening. Bisu selama 4 menit 33 detik. Karya ini untuk awam terkesan mengada-ada. Sebetulnya, John Cage ingin mengedepankan satu filosofi, bahwa dalam musik, kesenyapan, kesunyian, atau diam itulah yang menentukan kesan. Dan bukan hingar bingar macam-macam bunyi not. Yang juga aneh dari karya ini, bahwa sampai saat ini tidak ada orang yang berani misalnya: membuat karya semacam ini tapi judulnya misal 2 menit 10 detik TACET. Karena pasti akan dicaci, dibully, dicemooh dengan tuduhan meniru mentah-mentah karya John Cage. Ini juga satu kehebatan John Cage. Bagaimana ia memanfaatkan momen dan tak kan pernah ada yang berani nekad menirunya sampai segala abad.

 

Duodecatones dari Arnold Schoenberg

Arnold Schoenberg membuat BUKAN HANYA TANGGANADA BARU. Melainkan juga KONSEP BARU. TEKNIK KOMPOSISI BARU. PENDEKATAN MUSIKAL yang juga baru. Memang benar, Duodekatonik adalah tangganada yang terdiri dari 12 nada. Misalnya: 


Yang perlu digaris bawahi adalah bahwa 12 nada tersebut TIDAK SELALU HARUS DALAM LARAS WARAS atau WELL TEMPERED. Bisa dalam LARAS MRIYANG atau ILL TEMPERED (dengan tala yang tidak standard). Tidak seperti Diatonik yang 7 nada, anda tidak bisa berkreasi manasuka untuk mengkomposisi musik jika material nya adalah Duodekatonik. Teknik yang bisa anda lakukan adalah:



Gambar adalah penggunaan Teknik inversi.



Gambar adalah Teknik Retrograde atau Tangganada 12 nada primer
dibaca DARI BELAKANG.




Gambar adalah Teknik Inverted Retrograde.

Tangganada 12 nada primernya dibaca dari belakang kemudian dicari Inversinya.

 

Dari paparan ini, nampaknya Schoenberg membuat konsep kemungkinan terbatas untuk sebuah material yang sebetulnya lepas dari kelaziman Tonalitas. Sebuah anomali yang sebetulnya aneh. Bagaimana lepas dari kungkungan Tonalitas, tapi malah terbatas kemungkinan eksplorasi teknik kompositorisnya. Di Indonesia, Komposer Harry Roesli acapkali membuat musik dengan Duodekatonik ini.


Konsep Messiaen adalah bagaimana musik, yang adalah materi auditif atau untuk didengarkan, bisa divisualisasikan atau DILIHAT. Bukan lihat orang main musik lho ya. Bukan. Bukan permainannya yang dijadikan bisa dilihat tapi MUSIKNYA yang dibikin supaya bisa DILIHAT. Lho?! Hah?! Iya. Aneh bukan ?? BUKAAAAAAAN !!!!!!

 

Tentu saja, hubungan antara warna dan suara bersifat subjektif, seperti yang dijelaskan Messiaen sendiri. Namun, konsep pemikiran semacam ini seharusnya tidak menghalangi kita untuk menganggap pendengaran warna sebagai bagian penting dari bahasa musik Messiaen itu sendiri. Subjek itu sudah lama menjadi topik yang rumit, dan sampai sekarang, sayangnya, hanya diteliti secara dangkal, hal tersebut sebagian karena volume Traité yang berisi deskripsi warna masih kurang diminati untuk ditelaah.

 

Orang-orang tertentu tentu saja yang telah berhasil mengetahui implikasi dari pendengaran warna Messiaen selama bertahun-tahun. Dan terutama, sudah tentu istrinya, Yvonne Loriod, yang dengan murah hati berbagi wawasannya tentang konsep Messiaen. Bu Loriod memberikan deskripsi  tentang berbagai mode dan akord, yang bahkan kemudian diterbitkan dalam volume terakhir Traité. Karena publikasi ini tertunda, seseorang harus menunggu lama untuk mengetahui rahasia lengkap dari warna mode dan akord untuk diungkapkan kepada publik.

 

Tetapi bahkan setelah itu muncul, dan terlepas dari minat penelitian yang berkembang dalam musik Messiaen, para sarjana sering menghindari subjek ini dengan alasan subjektivitasnya. Gareth Healey, misalnya, berpendapat bahwa 'tidak mungkin menarik kesimpulan yang berarti'  dari pendekatan yang 'menghalangi eksplorasi secara independen' 

 

Demikian pula, Christopher Dingle merasa puas untuk 'menyentuh aspek asosiasi warna Messiaens sebagai sebuah metafora saja yang meskipun berguna, tetapi, karena sifat yang sangat pribadi dari fenomena ini percaya itu hanya perlu untuk menyadari apa yang bagi kita semua cenderung, ironisnya, malahan disebut sebagai area abu-abu'. Hmmmm. Oh ya, Mas Slamet Abdul Sjukur, pernah belajar langsug dari Olivier Messiaen ini.

 

Prepared Piano dari John Cage

Padanan dalam bahasa Indonesia, diberikan oleh Mas Slamet Abdul Sjukur, menjadi PIANO SUMBAT . Yang dilakukan John Cage adalah Eksplorasi bunyi piano, disamping tentu saja teknik komposisi dan teknik permainan piano yang “baru”. Untuk “menyumbat” pianonya, John Cage lazim membuat daftar seperti ini




Terlihat di tabel, nada mana diberi sumbatan misalnya: paku, sekrup, potongan seng, juga aturan pasangnya. Sampai disini mungkin ada yang nyinyir begini: “ahhhh susah dan ribet amat... kalo mau bunyi begitu saja sih synthesizer atau keyboard bisa... ngapain piano dikasih sekrup sekrup”..... Bukan begitu ya Bhambhang.... Ini bukan Cuma soal bunyi. Tapi konsep eksploratif terhadap satu intrumen akustik yang namanya Piano.Prepared Piano ini bisa dibilang sangat populer. Banyak komposer komposer jaman sekarang yang masih membuat karya untuk Prepared Piano. Misalnya di tahun 2012 kemarin ada yang membuat karya begini:




ANEH dalam batas tertentu bisa saja sebagai dampak persepsi karena kurang terbiasa. Beberapa tonggak dalam sejarah musik, menunjukkan pada kita bahwa aneh bukanlah nganeh nganehi sekadar sensasi murahan. Melainkan sebuah gelombang terobosan dan kreatifitas baru yang malahan akan menghasilkan pakem baru. Pertanyaannya: Apakah anda sudah aneh? Seberapa anehnya anda dalam bermusik ?

No comments:

Post a Comment

Note: only a member of this blog may post a comment.