Sunday 31 January 2021

Berpacu Dalam Virtual - by: Michael Gunadi | Staccato, February 2021

BERPACU DALAM VIRTUAL
By: Michael Gunadi
Staccato, February 2021


KEADAAN COVID-19 YANG TIDAK MENENTU

Hingga tulisan ini dibuat, keadaan dunia akibat pandemi COVID-19 tetap belum menentu, bahkan semakin membingungkan. Terutama yang berkaitan dengan kapan pandemi ini akan berakhir dan bagaimana endingnya. Menghadapai ketidakpastian yang semakin carut marut, warga dunia jelas tidak tinggal diam. Bahkan sejak awal pandemi, warga dunia sudah bersama sama bergerak. Bergerak dalam keserempakan ragam. Yakni agar kemanusiaan dan nilai nilai manusiawi tidak tergerus atas nama kecemasan, ketakutan dan kekhawatiran.


KEBERADAAN SENI MUSIK DI ERA PANDEMI

Meski terseok-seok dan nyaris hilang asa, seni, termasuk musik, tetap dipertahankan keberadaannya. Karena seni lah salah satu unsur budaya yang membuat manusia masih layak disebut sebagai makhluk bermartabat. Cara yang diempuh adalah rame rame berpacu dalam VIRTUAL. Orkestra virtual, ensemble virtual, memberikan harapan palsu virtual, lesson virtual, ujian virtual, dan bahkan konser siswa virtual.


Hampir satu warsa pandemi COVID-19 kita alami. Mengawali 2021, ada baiknya kita tinjau, kita tatap tajami, kita kritisi sedikit. Bagaimana pacuan virtual kita, bukan sebagai kritik, melainkan untuk evaluasi arah perjuangan agar tak salah arah, agar semangatnya tak salah sasaran, juga agar ke depan bisa dibuat rangkaian formulasi yang lebih jitu. Satu hal yang paling mencolok adalah adanya konser siswa secara virtual. Ini cukup layak untuk dikritisi. Kenapa? Karena konser siswa virtual pada esensinya adalah gabungan antara seni performansi, ketrampilan teknik bermusik dan jangan lupa, ASPEK PENDIDIKAN MUSIK. Juga yang tak kalah uniknya, peserta umumnya adalah usia anak. Generasi penerus dari ragam budaya Indonesia.


Secara material, musik adalah seni bunyi. Musik bersifat auditif. Namun dari keberadaannya, musik adalah entitas seni pertunjukan. Dua hal esensial inilah yang menjadi pokok semesta pendidikan musik. Dan dua hal inilah yang mendasari mengapa para siswa baik usia anak, remaja maupun adult learner, perlu untuk tampil dalam konser siswa. 



FAKTA AKTIVITAS SENI MUSIK DALAM DUNIA VIRTUAL

Dalam keterbatasan pandemi COVID-19 ini, konser siswa oleh beberapa guru dan kursus, maupun sekolah musik, diganti menjadi virtual konser. Berikut beberapa fakta yang mestinya bisa kita cermati.


Konser siswa adalah salah satu wujud self actualization.

Saat masih berbentuk real time dan bukan virtual, memang konser siswa diperuntukkan bagi hal semacam itu. Siswa tampil dihadapan khalayak secara fisik. Dilatih self actual nya. Rasa percaya diri. Nah, jika cara begitu terus diubah jadi model virtual, ehm untuk apa konser virtual. Tinggal rekam sendiri, upload ke facebook atau instal kelar. Tidak ada gunanya konser siswa virtual dalam hal ini.


Konser siswa adalah ajang siswa mendapat apresiasi.

Dalam keadaan virtual, nyaris tidak mungkin, Siswa main 60 detik misalnya. Tante nya nonton 3 detik doang eeeeee tega memuji muji. Begitu juga oom nya yang cuna nonton 5 detik. Muji-muji setinggi celana kolor. HERAN. GAK LIAT SAMPE HABIS BISA MEMUJI-MUJI. Ini namanya apresiasi tipu.


Dalam konser siswa, pihak yang sangat diuntungkan selalu penyelenggara. Entah itu guru musik, kursusan, lembaga pendidikan musik, lembaga sertifikasi musik. Karena virtual konser bagi siswa itu ajang promo yang luar biasa. Citra sekolah akan naik. Wuiiiiihhhhhh gika nih. Jaman covid siswanya banyaaak amiiiiir. Pasti yahud ni gurunya. Tapi siswanya dapat apa? Selembar kentut yang diwangi-wangiin.


Dulu konser siswa itu melatih kesabaran. Kebersamaan. Toleransi. Lha kalo bentukmya virtual, gak saling ketemu, apanya yang mau toleransi. Ini benar-benar sebuah paradoks bahkan anomali bagi dunia pendidikan musik. COVID-19 dengan ganas tak kenal kompromi mencabut semua martabat manusia. Akankah hal seperti ini akan berlanjut. Akankah manusia akan mengalami konser siswa yang real time seperti semula?


COVID-19 ini aneh. Sampai ada ungkapan untuk pertama kalinya Surga dan Neraka kompakan. Kompak sama-sama tutup. Artinya, kita mestinya berhikmat. Terhadap kemungkinan terburuk yang akan terjadi. Tentu saja, sebagai guru musik, parents dan siswa musik kita tentu mengharap agar semua dapat pulih seperti sebelum ada pandemi COVID-19. Persoalannya, akankah hal itu akan kembali menjadi nyata. Bagaimana jika misalnya kita dipaksa memang untuk beradaptasi dengan keadaan new normal. Sebuah bentuk kenormalan baru. Termasuk dalam hal ini tentu saja adalah konser siswa secara virtual.




PENCARIAN FORMAT KONSER VIRTUAL YANG BARU

Jika memang semua tak lagi seperti sedia kala, ada baiknya sedari sekarang, para guru musik, parents, pemerhati musik dan semua pelaku musik, mencari formulasi bentuk. Bagi setiap hal yang sifatnya virtual. Sebab, musik, apapun sajiannya, jika pandemi ini berkepanjangan, akan terus dan terus berada dalam ranahnya untuk berpacu, dipacu dalam virtual.


Tak ada ruginya jika konser siswa secara virtual, mulai dikemas. Bukan lagi sebagai ajang silaturahmi dan menyapa handai taulan melalui permainan musik. Melainkan betul-betul dibuat mendekati konser siswa yang real time. Ajang berbagi. Ajang bertukar apresiasi. Dan tentu saja arena berpacu yang positif karena semestinya didasari pada hasrat bermusik yang terukur. 




Ke depan, guru tak bisa lagi membiarkan siswanya untuk merekam permainan musiknya melalui handphone amatiran. Perlu ada koordinasi antara siswa, orang tua murid, dan guru. Agar rekaman yang akan disajikan virtual, benar-benar punya nilai estetis yang pantas tanpa harus membuat semua cemas karena ukuran file yang akan di upload menjadi begitu besarnya. Hal-hal berikut kiranya dapat menjadi fokus perhatian utama, agar resital atau konser virtual siswa dapat semakin berkembang dan semakin tepat guna.


  • Akses konser virtual yang bisa diakses dengan mudah
  • Sharing platform yang bersahaja, seperti: Google Meet dan Zoom
  • Interaktif dan menarik. Memungkinkan adanya interaksi, tanya jawab mengobrol misalnya
  • Berbasis kurikulum. Alangkah cepat memang jika dalam konser virtual, diketengahkan juga variasi semua gaya dan genre yang menjadi bagian dari kurikulum pembelajaran para siswa. Sehingga dengan menyaksikan konser dan atau resital tersebut, orang tua memperoleh gambaran yang lebih lengkap tentang apa yang nantinya cocok diterapkan bagi anaknya.


Berikut ini ada beberapa petunjuk mengenai aplikasi dan alat bantu agar konser siswa virtual dapat benar-benar tidak kedodoran dalam berpacu secara virtual:

1. Gunakan aplikasi iMovie atau YouTube Editor

2. Kumpulkan pujian, testimoni, dan dorongan orang tua dan guru bagi siswa.

3. Gunakan medsos untuk menyebarkan berita, seperti Instagram, Facebook, dan Twitter.

4. Kirimkan program dalam bentuk pdf atau dengan QR Code agar orang tua dapat mengakses konser dari rumah.


Tips perekaman video

  • Gunakan perekam multi-track, seperti: iMovie 
  • Rekam perkenalan lisan secara terpisah
  • Gunakan tripod, jika memungkinkan
  • Buatlah video dengan representatif dan formal. Perhatikan pakaian dan lingkungan sekitar pengambilan video, karena video ini akan dibagikan secara publik. Kelihatannya remeh dan sepele. Namun hal ini bisa menjadi masalah jika konten konser virtual atau resitalnya kemudian terkenal dengan cara yang kurang bertanggung jawab.

No comments:

Post a Comment

Note: only a member of this blog may post a comment.