“BILA MUSIK MEMBAHASAKAN PANDEMI”
by: Michael Gunadi
Staccato, September 2020
KETAKUTAN TERHADAP COVID-19
Hampir pasti tak ada satu orang pun di muka bumi yang tidak cemas terhadap pandemi COVID-19. Kecemasannya malahan sudah berubah menjadi ketakutan. Bukan hanya cemas dan takut terkena virusnya. Namun cemas dan takut akan nasibnya menghadapi pranata sosial yang jelas berubah setelah adanya pandemi COVID-19. Saat tulisan ini berada di tangan pembaca, entah apa yang sudah terjadi. Yang pasti, cemas dan takut masih akan menghantui dunia untuk kurun waktu yang tak bisa dibilang sebentar.
BERPALING TERHADAP SENI
Menghadapi cemas dan takut, sudah menjadi sebuah kebiasaan yang membudaya. Bahwa manusia akan berpaling pada SENI. Dan tentu saja, dalam pandemi ini, secara kasat mata atau tidak, banyak yang sudah berpaling pada Seni, khususnya musik. Di awal tahun 1400, seorang komposer Inggris, namanya John Cooke menggubah STELLA CELLI. Itu adalah sebuah Himne atau lagu puja puji. Himne itu ditujukan pada Santa Bunda Perawan Maria, saat terjadi wabah BLACK PLAGUE yang menewaskan separuh penduduk Eropa saat itu.
Teks Himne itu bicara dan membahasakan luka-luka akibat kematian yang mengenaskan, namun juga membahasakan akan harapan. Pada Bintang Surgawi, menurut Iman Katolik, yang pasti akan memancar di tengah BLACK PLAGUE yang terjadi. Himne yang digubah Cooke bukan satu satunya musik yang membahasakan pandemi. Namun karya Cooke adalah bahasa musik yang paling awal tentang pandemi.
JS. BACH “KATANTA No. 25”
Dahulu kala, saat wabah yang entah epidemi atau pandemi menyerang, orang mengandalkan dan bertumpu pada karunia alamiah bagi keselamatan dan kesehatan tubuhnya. Hal semacam ini dialami oleh Johann Sebastian Bach. Usia 10, Bach yatim piatu, dan kehilangan 10 dari 20 anaknya, termasuk kematian istri pertamanya. Bach kemudian menggubah musik yang bisa sedikit menyejukkan untuk dirinya dan juga di masa itu.
Musik itu seolah menantang langsung sang wabah. KANTATA No. 25 yang diberi judul “TAK ADA LAGI YANG NAMANYA SEHAT DI TUBUHKU”. Kantata itu ditulis tahun 1723, hanya setahun setelah terjadinya wabah besar di Marseilles, Perancis. Wabah itu berakhir dengan menewaskan 100.000 orang. Namun Kantata Bach tak menyebut tentang wabah Marseilles itu. Hanya disebut dalam teks musiknya, bahwa dunia bagai sebuah rumah sakit raksasa dan anak-anak bergelimpangan dalam keadaan sakit. Di tengah Kantata itu, ada terdapat Aria. Aria yang menyerukan bahwa “Oh wabah ini tak dapat luluh. Cuma dengan dedaunan rempah dan balsem.” Sungguh sebuah rasa frustrasi yang aneh dari seorang Bach.
JOHN CORIGLIANO “THE AIDS SYMPHONY”
Di tahun 1980, Dunia menghadapi wabah modern. HIV AIDS. Menurut WHO, Aids ini menginfeksi 32 juta jiwa. Seiring dengan begitu banyaknya yang mati karena AIDS, sebetulnya ada gerakan paralel yang nantinya terhubung dengan wabah yang kita alami di 2020. Di tahun 1980, pemerintahan Presiden Ronald Reagan menjadi sasaran kemarahan publik Amerika Serikat. Karena dinilai lambat memerangi virus HIV AIDS, sekaligus tidak jujur sepenuhnya terhadap data penyakit. Salah menyalahkan juga terjadi di 2020 antara masyarakat terhadap pemerintahnya, dan bahkan antar negara, yakni Amerika Serikat dan Republik Rakyat Tiongkok.
Berhadapan dengan pandemi AIDS kala itu, para artis bereaksi keras. Karena sudah menyangkut kematian yang terjadi secara masif. John Corigliano, menggubah Symphony No 1, yang dikemudian hari lebih popular dengan sebutan “THE AIDS SYMPHONY”. Symphony tersebut ditulis Corigliano dengan kesedihan mendalam karena kehilangan banyak kawan karena Aids.
Musik karya Corigliano ini mencampur kelembutan, kesedihan dan keganasan. Pembukanya diberi judul Apologue. Diawali seksi gesek yang menyayat membakar ditimpa bunyi perkusi. Bagian lain, Tarantella menggambarkan keadaan demam dan halusinasi dari penderita AIDS. Penampilan perdana karya ini dibawakan oleh Chicago Symphony Orchestra tahun 1990 dan mendapatkan banyak penghargaan.
KONSER ONLINE
Pandemi COVID-19 secara kejam, tak terhitung mencabut nyawa banyak pemusik dan komposer. Pandemi COVID-19 juga membuat penampilan panggung berubah menjadi online dan dilakukan di rumah saja. Donasi dilakukan, sumber pendanaan digali dan berbagai komisi tetap ada meski tentu tak sesukses penampilan panggung.
Krisis Virus Corona menggerakkan dari mulai orkes simfoni besar, band untuk keperluan hiburan dan hampir semua lapisan pemusik. Lisa Bielawa membuat gubahan Choir. Diberi judul Broadcast from Home. Komposisi tersebut dia buat dengan diilhami testimoni para pemusik di sosial media selama menjalani karantina di rumah.
Banyak hal baru, bahkan hal hal yang revolusioner yang bisa kita kedepankan saat musik membahasakan pandemi khususnya COVID-19 ini. Salah satunya adalah pemusik melakukan respon dengan tetap berkarya. Tetap bergandeng tangan menyatu karsa, dalam kolaborasi online. Ada yang berupa online ensembles, online orchestra, tutti challenge, sampai yang hanya direkam berbaju tidur dan daster saja.
Pemusik dan musik sepertinya akan tetap berbahasa meskipun ada pandemi yang menyerang secara membabi buta. Dampak ikutannya berupa keruntuhan ekonomi. Dan tentu ini membawa dampak pada penghasilan pemusik. Banyak pemusik yang mencoba tetap survive dengan menggelar pertunjukan online. Dengan honor se-ikhlasnya dari yang menyaksikan. Sungguh hal yang membuat miris. Tapi ini sqlah satu bentuk perlawanan pemusik terhadap pandemi. Dan terus terang secara jujur harus diakui, dunia sangat berterima kasih. Pada music educator, dan guru musik yang tetap mengadakan music lesson via online. Dengan masih adanya online music lesson setidaknya generasi muda masih dapat menyatu dengan musik secara semestinya.
Pandemi COVID-19 ini memang membuat porak poranda. Satu hal yang sangat revolusioner adalah bahwa pertunjukan musik BERPINDAH. Pindah tempat dari ruang publik ke ruang privat. Ganti sifat. Dari yang tadinya adalah show off menjadi show online. Ini adalah revolusi. Karena terjadi mendadak dan begitu cepat. Doktrin, tradisi, panduan music performanship seketika berubah total. Semua online. Dan tentu saja masih gratisan.
Di satu sisi ini ada hikmahnya. Ada kesempatan bagi klaa ekonomi bawah untuk bisa menyaksikan konser orkes dunia sekaliber Berliner Philharmoniker secara gratis. Meskipun tentu melalui live video streaming dalam layar smartphone yang kadang membuat mata mengerling sampai keriting. Namun hikmah ini tidak bisa berlangsung lama. Karena pemusik perlu pemasukan uang untuk makan dan hidup. Jadi para ahli Manajemen Musik pasti akan merancang bagaimana skema penghasilan online bagi para pemusik. Dengan tetap memperhatikan kemampuan musik untuk membahasakan situasi.
Dari segi didaktik, para music educator juga akan bekerja sangat keras. Untuk memformulasikan bahan pelajaran dan sajian pelajaran. Karena online lesson bukan berarti materi musik konvensional lantas trus disajikan online. Ada hal-hal seperti courage, nursery, juga pandangan tiga dimensi yang mesti dipikirkan untuk sajian online lesson ke depannya. Tentu, jika pandemi COVID-19 ini akan berkepanjangan, tak ada selesainya, vaksinnya bertahun-tahun, sehingga manusia sudah teralienasi dengan akar budayanya.
No comments:
Post a Comment
Note: only a member of this blog may post a comment.