Friday, 31 July 2020

PRIHATIN - by: Michael Gunadi | Staccato, August 2020

PRIHATIN

By: Michael Gunadi

Staccato, August 2020


 


SIKAP PRIHATIN

Jadi manusia itu memang repot. Hidup dan kehidupan itu terasa misteri. Tahapan dan babak nya acapkali membingungkan. Salah satunya adalah PRIHATIN. Prihatin dimaknai sebagai sikap sedih, menarik diri dan sedih serta menarik diri dalam kebimbangan. Prihatin ini bisa dialami siapa saja. Dan anehnya, manusia selalu perlu untuk prihatin. Meskipun anda memiliki 2 buah Ferrari, 2 Lamborghini, 13 Jeep Mercedez, anda tetap harus prihatin. Yakni manakala kurs merosot. Ekonomi stagnan. Jika Anda seorang ibu rumah tangga, anda juga perlu prihatin. Manakala suami anda di PHK atau anak anda berpenyakit berat. Atau jika anak Anda nakalnya melebihi Crayon Shinchan. Lalu bagaimana dengan pemusik?


KEPRIHATINAN DALAM DUNIA MUSIK

Sudah lama sebetulnya musik dan pemusik mengalamai keprihatinan mendalam. Anak dan orang yang kursus kebanyakan hanya pengisi waktu luang. Situasi ekonomi global membuat orkestra di dunia banyak yang bangkrut. Pensiun untuk pemain Orkestra seperti di Bostor USA, ditiadakan. Pertunjukan musik sepi bukan main. Sewa venue konser menjadi lebih mahal dari sewa Bus wisata. 

 

Anda mau main musik online? Haha. Nasib tragis menanti anda. Awalannya anda laris dan dapat sekedar uang dari Youtube. Setelahnya? Anda akan berharap dalam kenistaan, bagai orang bongkok rindu untuk menyentuh rembulan. Main di hotel? Haha juga. Honornya kecil bukan main. Tak cukup lah menghidupi diri sendiri. Mengajar? Haha juga dengan sangat sinis. Persaingannya sudah tidak sehat. Lulusan magna summa cum laude Austria disaingi dengan jebolan kursusan yang bayarnya enam puluh ribu per datang.

 


DAMPAK COVID-19

Prihatin ranah dan belantara musik tidak berhenti di situ. Wabah COVID-19 menambah prihatin bagi musik dan pemusik. Kalo anda lihat situs seperti Classic FM, anda akan ikut prihatin bahkan jika anda masih punya naluri, Anda akan menangis atau setidaknya meneteskan air mata. Di classic FM banyak kejadian pemusik orkestra menjual alat musik kesayangannya. Alat musik yang selama hidupnya menjadi sarana pencari nafkah, terpaksa dijual. Hanya sekedar untuk bisa makan menyambung hidup. Banyak pemusik stress yang kemudian melakukan online home concert gratisan. Banyak pula yang mengupayakan mengisi kanal YouTube nya hanya sekedar masih bisa berkarya ditengah teror COVID-19.



MUSIC LESSON ONLINE

Himpitan deraan wabah COVID-19 memang tentu akan segera berakhir. Namun, keprihatinan akan menghantui untuk kurun waktu yang lama. Bahkan sangat lama. Yang bisa dilakukan tentu saja satu satunya jalan adalah semuanya dilakukan secara online. 


Ini ada konsekuensinya. Mengajar online jauh lebih melelahkan Belum lagi jika muridnya karena di rumah, berwajah masam seperti buah kedondong kebembem. Belum lagi jika situasi rumahnya tidak kondusif. Adiknya nangis. Anjing piaraannya menggonggong histeris. Susah. Lesson online memang solusi satu satunya. 


Beberapa parents tetap niat anaknya lanjut belajar. Bukan karena kasihan pada gurunya yang miskin mendadak terkena dampak COVID-19. Melainkan karena para parents tersebut sadar bahwa adalah satu-satunya yang tersisa bagi perkembangan jiwa anaknya. Agar tetap menjadi manusia yang manusiawi dan tidak berubah menjadi predator karena sudah kalap dengan tekanan keadaan.



PERTUNJUKKAN ONLINE

Ranah pertunjukan musik lebih memprihatinkan lagi. Orkestra dunia sekelas Berliner Philharmoniker sudah lama melakukan pertunjukan online, bukan karena COVID-19, melainkan karena tiket pertunjukannya sudah tidak laku. Persoalannya, jika main online, lalu bagaimana ada interaksi rasa antara penampil dan audience yang selama ini menjadi saripati pertunjukan musik. Bayangkan. Sekumpulan pemain orkestra main di panggung kosong tanpa hadirin. Disiarkan online. 


Nampaknya memang cara pandang kita terhadap pertunjukan musik sudah harus diubah. Pertunjukan musik bukan lagi sebuah asupan bathin dengan hasrat yang menyatu antara penampil dan penikmat. Pertunjukan musik tak ubahnya menjadi tontonan dunia maya. Ini sungguh memprihatinkan.

 

THE WORLD IS CLOSED

Apakah keprihatinan ranah musik dan musisi/musikus/pemusik ini bisa sirna? Saya rasa sulit dan bahkan mustahil. Dengan COVID-19 yang menteror dengan luarbiasa, praktis dunia ini tutup. The World is closed. Perbaikannya butuh waktu lama. Menata ekonomi yang porak poranda karena wabah membutuhkan waktu sangat lama. Ingat sejarah. Pada waktu Spanish Flu menyerang. Recovery atau pemulihannya lama. Dan ingat bagaimana ekonomi yang porak poranda akibat Perang Dunia II. Sampai harus ada Marshall Plan segala untuk menghidupkan lagi perekonomian dunia. Dan praktis tak ada tempat bagi upaya membangkitkan musik. Karena, jujur saja, musik bukan kebutuhan primer.


Prihatin sebetulnya jika disikapi dengan wajar, bisa merupakan awal bagi sebuah pembaharuan. Katakanlah musik sudah bangkrut dan tak gemerlap lagi. Namun pemusiknya harus tetap hidup bisa makan dan berkarya. Karena bagaimanapun, sebuah peradaban selalu membutuhkan kebudayaan. Seni termasuk musik adalah urat nadi, sekaligus jantung kebudayaan. Lalu kira-kira apa yang bisa dilakukan agar pemusik bisa tetap hidup dan berkarya? Tentu dalam cakupan pemusik yang berkarir di tanah air kita Indonesia yang gemah ripah loh jinawi.



PROFESI MUSISI

Wabah COVID-19 menerangkan satu hal. Bahwa pemusik adalah golongan yang rentan terhadap kebijakan seperti social distancing dalam skala besar. Satu-satunya jalan keluar adalah, bahwa pemusik harus diakui sebagai sebuah profesi. Di KTP orang harus boleh mencantumkan PEMUSIK sebagai pekerjaannya. Bukan lagi ditulis swasta atau wiraswasta. 

 

Demikian pula dengan data kependudukan. Kenapa ini urgen? Karena hanya status demografis yang diakui secara hukum sipil sajalah, pemusik dapat memperoleh hak tunjangan sebagaimana profesi lainnya. Tunjangan yang dimaksud bukan berarti menerima santunan dana miskin dan jatah sembako. Bukan itu. 

 

Tunjangan yang dimaksud adalah, jika suatu saat nanti ada masa prihatin, pemerintah bisa memberi solusi berupa effort dan kesempatan bagi pemusik untuk bisa bertahan dari pekerjaannya. Apa bentuk konkritnya? Misalnya ada upaya fasilitasi kemudahan kredit perbankan. Fasilitas diskon penggunaan kuota jelajah internet. Hal hal semacam itu adalah tunjangan bagi pemusik jika suatu saat ada masa prihatin.

 

Tentu kita akan rame rame bertanya. Lalu siapakah yang dimaksud dengan pemusik yang bisa ditunjang dalam masa prihatin? Karena seorang gembel pun bisa mengaku sebagai seorang pemusik. Inilah pentingnya PENDATAAN PROFESI PEMUSIK. Pemusik harus didata. Apa dasar dan acuannya? Sertifikasi kompetensi. Seorang lulusan S1 S2 S3 jurusan musik dari universitas Eropa, harus diakui secara portofolio. Bukan uji ketrampilan. Melainkan secara portofolio. Bahwa ia memang berkompeten dan ingin berprofesi dan bekerja dalam lingkup kesenian yang adalah sub ordinan dari kebudayaan. 

 

Begitu juga dengan mereka yang memiliki Grade 8 sertifikasi Internasional. Jika sudah mengajar atau menjadi penampil rutin, harus didata dan bersertifikasi. Jika portofolio nya belum meyakinkan, maka perlu diadakan praktek ujian kompetensi. Jika ini dilaksanakan maka pemerintah akan memiliki Database pemusik nasional. Yang jika ada keadaan prihatin seperti bencana alam dan wabah, bisa dimasukkan sebagai golongan yang perlu mendapat tunjangan dan ditunjang untuk kesinambungan pekerjaannya.



Memang hal semacam itu tidak mungkin dilakukan saat begini. Apalagi dampak COVID-19 membutuhkan segala daya upaya untuk recover. Namun setidaknya usaha semacam ini perlu dirinyis dari sekarang. Lembaga Sertifikasi Profesi musik perlu lebih diperkenalkan. LSP mestinya bisa bekerjasama dengan Badan Ekonomi Kreatif dan Kementrian Sumber daya manusia. Kita menghimbau sambil terus melakukan pendekatan aktif. Apakah upaya ini akan berhasil atau justru mendatangkan keprihatinan baru? Itulah tantangannya.



No comments:

Post a Comment

Note: only a member of this blog may post a comment.