Wednesday, 1 January 2020

SPEKULASI - by: Michael Gunadi | Staccato, January 2020

“SPEKULASI”
By: Michael Gunadi
Staccato, January 2020

Piano Battle

PERSAINGAN KETAT
Semua orang di dunia sekarang ini, hampir tanpa kecuali, tahu, mengerti dan paham, bahwa hidup dan kehidupan saat ini sangat sulit. Persaingan dan keadaan yang tak menentu dan tak dapat diperkirakan, menjadikan hidup dan kehidupan sangat sulit untuk bisa mendapatkan kelayakan secara ekonomis dan kualitatif. 

Dulu, jika anda masuk “dapur” rekaman, anda sudah menjadi artis top. Keadaan ekonomi anda akan melimpah ruah. Anda kaya, dan tentu saja kualitas hidup anda menjadi layak dan bahkan sangat layak. Jaman sekarang, “dapur” rekaman sudah dimiliki oleh hampir semua orang yang memiliki gadget. Semua orang bisa menjadi artis rekaman. 



IMPROVISATIF & SPEKULATIF
Persaingan sudah merupakan rimba belantara yang buas. Hidup dan kehidupan menjadi sedemikian sulitnya. Menghadapi dan menyikapi keadaan tersebut, banyak orang yang kemudian menjalani hidup dan kehidupan secara improvisatif dan SPEKULATIF.

Improvisasi hidup adalah membaca peluang dan memanfaatkannya secara spontan. Sedangkan SPEKULASI, adalah cara menghadapi, menjalani dan menyikapi hidup secara UNTUNG-UNTUNGAN. Bondo nya hanya tekad yang kemudian seringkali menjadi NEKAD. Ada perencanaan. Namun perencanaan tersebut dibuat dari pijakan info dan data yang berseliweran sehingga sulit diyakini kebenaran dan kesahihannya.

Hidup secara improvisatif dan spekulatif, jelas mengandung resiko. Bahkan, semua keyakinan dan religi, sebetulnya melarang keras hal semacam itu. Hidup itu bukan suatu permainan untung-untungan. Hidup itu ada jalannya. Ada petunjuknya. Yakni “Kitab yang Suci”. Persoalannya adalah bagaimana menerapkan semua petunjuk dalam Kitab nan suci itu ke dalam ranah kehidupan, yang telah menjadi rimba belantara buas. Dibutuhkan, perenungan, permenungan, doa, dan upaya imanen yang tidak terputus. 

Di sisi lain, sebetulnya ada seni. Termasuk musik. Yang menawarkan milyaran makna. Sangat salah jika dikatakan seni musik adalah hiburan. Hiburan hanyalah salah satu saja dari sekian banyak “busana” yang dikenakan musik. Dalam kesejatiannya, musik adalah asupan bathin. Musik menawarkan pelayanan untuk perenungan, permenungan bahkan upaya untuk mendekatkan diri pada YANG MAHA. 

Persoalannya, musik itu sendiri ternyata tak bisa menolak dari rabaan dan jamahan tangan-tangan jahil atas nama spekulasi. Kita tak pernah tahu, kapan musik bisa berubah menjadi hiburan sesat. Hiburan memabukkan. Hiburan yang membius melenakan sampai orang lupa daratan. Kita sering terlambat sadar, bahwa dari perkembangan jaman, banyak “muatan” yang dibawa oleh musik, yang hakekatnya adalah” pesan” terselubung dari pihak-pihak tertentu. Maksudnya bisa macam-macam. Dari mulai membangun oligarki kultural, sampai pada upaya aneksasi dan penjajahan kebudayaan.



PENAFSIRAN MUSIK
Tafsir musik, secara sengaja maupun kebetulan, seringkali dijeburkan, ditenggelamkan, dan bahkan dibenamkan dalam keadaan yang sulit dikatakan sebagai “baik”. Efek Mozart, dibawa ke ranah spekulasi. Bahwa itu tidak ada bukti empiris. Itu tidak ilmiah. Itu sarat muatan dari kelompok “penguasa Global”. 

Musik Bach, dibenamkan dalam apriori yang spekulatif. Bahkan disudutkan dan dipepetkan untuk nantinya bisa dikonfrontasi dalam ranah religi sampai pada taraf yang membahayakan keutuhan satu bangsa. Orang berspekulasi bahwa Musik Rock identik dengan “yang berbau kegelapan”. Dan anehnya, orang bangga dengan spekulasi tersebut. 

MEDIA SOSIAL 
Publik seperti tidak mau tahu, bahwa ada dan bahkan banyak, Musik Rock yang mengeksploitasi hal-hal dark and creepy hanya dalam upaya membangun nuansa teatrikal semata. Dan ketika sosial media sudah mewabah seperti sekarang, hal-hal spekulatif tentang musik bisa berbelok dan dikukuhkan menjadi sebuah “ kebenaran” yang disodorkan ke publik. Yang dengan sosial media pula, publik digiring untuk meyakini bahwa yang spekulatif itu adalah sebuah kenyataan faktual yang tak terbantahkan.

Sosial media itu unik. Batasannya bukan kode etik jurnalistik. Batasannya HANYALAH MORALITAS belaka. Jadi, orang bisa seenaknya saja menyodorkan apapun di sosial media. Termasuk berspekulasi tentang musik. Sebetulnya, ada satu upaya untuk setidaknya mereduksi keliaran sosial media. Yakni, semakin dewasa sebuah komunitas, seyogyanya semakin kritis menyikapi 3 hal: FAKTA, OPINI, DAN NARASI. Berikut adalah pengungkapan contohnya.


Fenomena: Seorang pianis memberikan seminar PENDIDIKAN MUSIK

Fakta: Pianis ini ijazahnya Performance. Dan Bukan seorang pendidik.

Opini yang dibangun:Yaaaaaa dia kan pianis hebat. Jadi bisa dong ia memberi tip- tips bagaimana main piano secara hebat”. “ Oh ya. Betul. Tapi jangan lupa yang dia berikan itu SEMINAR PENDIDIKAN MUSIK! Kalo Masterclass, it’s ok baik dan sah saja. Tapi kalo seminar PENDIDIKAN MUSIK, tahu apa si pianis tentang pendidikan musik!?”

Narasi: Dia itu pernah ‘ngajar dari mulai anak umur 2 tahun sampai nenek umur 92 tahun, dst. Ohhhhhh Ya ya ya. Lalu apa hubungannya mengajar privat dengan semesta PENDIDIKAN MUSIK?!

MENGGIRING OPINI PUBLIK
Ilustrasi tersebut menguraikan bagaimana sebuah spekulasi dibangun dengan menggiring opini dan memanipulasi diksi narasi sehingga menjadi sesuatu yang sah dan sahih. Apakah ini “baik”? “Baik” itu terkadang absurd dan apa sih tolok ukurnya. Yang jelas dan pasti, hal semacam itu, sangat TIDAK BERMORAL. Sekali lagi Welcome to The Weird World. Saat kesenian dan budaya dibangun dari spekulasi tanpa moralitas.

Sebetulnya, jika kita cermati, napak tilas musik pun dipenuhi dengan hal-hal yang spekulatif. Meskipun, harus dinyatakan dengan tegas bahwa MUSIK BUKANLAH HAL YANG SPEKULATIF. Karena musik dibangun sebagai sebuah entitas seni sekaligus adalah ILMU. Musik memiliki obyek. Musik memiliki tujuan. Ada sistematika pembelajaran dan pendidikan musik. Dan, ini yang penting, musik adalah ranah yang logis. Obyek, tujuan, sistematika dan logika adalah syarat sebuah disiplin dapat dikatakan sebagai ILMU. Sehingga, spekulasi dalam musik, agaknya muncul sebagai suatu konsekuensi logis musik sebagai entitas seni yang keilmuan. Berikut adalah paparan contohnya.

Glenn Gould 

MUSIK BACH DAN PEDAL
Main Bach TIDAK BOLEH pakai pedal. Hampir semua pianis meyakini hal ini. Termasuk Andras Schiff. Sebetulnya, pernyataan tersebut sangat spekulatif. Karena ada tersisa pertanyaan. Bach itu dulu tidak pakai pedal kan memang karena alat musiknya belum ada yang pakai pedal, sustain, una corda. Seandainya saat itu sudah ada pedal, apakah Bach juga akan tetap no pedal? Pertanyaan yang juga spekulatif. Dan adagium ini porak poranda ketika Daniel Barenboim main Bach dengan pedal. Musiknya tetap Bach. Idiom, gramatik dan retoriknya tetap khas Bach.

BWV 998. Ini karya Bach berupa Prelude, Fugue dan Allegro. Diasosiasikan bahwa karya ini adalah simbolisme dari misteri Ilahi Kristianitas. Banyak paper ditulis untuk hal ini. Bahkan samapi pada tesis doktoral. Pertanyaannya, bagaiman cara pengumpulan faktanya. Tidak mungkin dari telaah empiris. Karena tidak pernah ada rekaman permainan Bach. Tidak pernah ada wawancara auditif dan visual kepada Bach. Tesis dibangun berdasarkan analisa dokumen literer yang tersisa. Dokumen literernya sih jelas sahih. Tapi penafsiran hasil analisanya? Hmm, sangat spekulatif!

Martha Argerich & Claudio Abbado

Zaman Carl Czerny, siswa wajib mengikuti latihan berupa etuda ang mekanik dan sangat non musikal. Digembar-gemborkan bahwa posisi tangan pianis hebat senantiasa terbentuk gesturenya dari latihan dengan militansi seperti itu. Pertanyaannya: Generalisasi semacam itu sangat spekulatif. Faktual nya sangat tidak bersifat induktif maupun deduktif. Anggapan ini menjadi porak poranda. Ketika Glenn Gould main Bach denngan gesture tangan seperti orang kena rematik. Ketika Horowitz memamerkan dexteritas jari seperti langkah berlari seekor macan tutul. Dan ketika Martha Argerich secara liar dan binal mempertontonkan sebuah fisiologis gerak baru dalam memainkan oktaf dengan kecepatan sangat tinggi. Dan semuanya sangat jauh berbeda dari tradisi Carl Czerny.


POTRET DIRI BEETHOVEN
Ada banyak kesaksian bahwa penampilan fisik Beethoven adalah demikian: 

"Beethoven was short, but broad-framed. Until his early thirties he was slim... [he had] penetrating brown eyes beneath a broad forehead and thick eyebrows. His ruddy complexion bears the scars of childhood smallpox, his mouth is shapely, and his chin has a cleft which became more marked in later years. 

In his late thirties Beethoven became stockier." Grillparzer writes in 1823: "I first saw Beethoven in my boyhood years - which may have been 1804 or 5. Beethoven in those days was still lean, dark, and contrary to the habit in later years, very elegantly dressed. One or two years later I was living with my parents in Heiligenstadt, near Vienna. Our dwelling fronted on the garden, and Beethoven had rented the rooms facing the street. My brothers and I took little heed of the odd man who in the meanwhile had grown more robust, and went about dressed in a most negligent, indeed even slovenly way."

Dari beberapa ulasan dan paparan, tidak berlebihan kiranya jika ditarik seutas benang merah. Spekulasi dalam musik, khususnya Musik Klasik memang sebuah fenomena. Namun keberadaan spekulasi itu sendiri adalah sebuah bunga-bunga napak tilas dan sama sekali bukan merupakan karakterisasi musik.

No comments:

Post a Comment

Note: only a member of this blog may post a comment.