Monday 5 November 2018

TO BE A MUSICIAN - by: Michael Gunadi (Staccato, November 2018)

“TO BE A MUSICIAN” 
By: Michael Gunadi 
(Staccato, November 2018)


BERKACA DI AKHIR TAHUN
Di penghujung tahun 2018 ini, perkenankan saya menyampaikan sekelumit permenungan. Permenungan tentang keberadaan kita, dalam kaitannya dengan musik sepanjang tahun 2018. Tentu, maksudnya adalah sebagai bahan refleksi. Agar kita dapat senantiasa menggandeng asa yang takkan pupus, jika kita masih bisa merenung dan mempermenungkan diri sebagai bekal menapaki yang di kemudian.


Renungan dan permenungan ini akan dimulai dengan sebuah adagium. Adagium yang mengatakan bahwa setiap orang, siapapun dia, berhak dan pantas untuk memiliki cita-cita. Ada ungkapan begini: Gantungkan cita-citamu setinggi langit.” Tak ada salahnya bercita-cita. Cita-cita memupuk harapan yang adalah separuh kenyataan. Dan masih banyak ungkapan lainnya. Tentu, ungkapan tersebut elok, indah, enak dibaca, dan bagi sebagian orang dapat menjadi motivasi. Persoalannya menjadi begini: Orang memang berhak memiliki cita-cita. Dan orang berhak pula bercita-cita se-ekstrem dan se-mustahil apapun. Benarkah? 


Jika seorang pedagang kerak telor di daerah Kemayoran, memiliki cita-cita punya mobil pick up, itu sesuatu yang wajar dan masuk akal. Karena, mobil pick up saat ini bukan termasuk barang mewah melainkan sebuah kebutuhan, termasuk bagi seorang penjual kerak telor. Seandainya, si penjual kerak telor itu memiliki cita-cita Ingin memiliki mobil LamborghiniRasa-rasanya ia perlu segera dibawa ke dokter jiwa. 


Demikian juga misalnya, seseorang yang terlahir cacat tak memiliki dua tangan. Wajar, mengharukan dan patut kita dukung seandainya ia berkeinginan, berobsesi dan memiliki cita-cita ingin dapat berenang. Namun akan sangat konyol dan layak dikasihani, jika ia bercita-cita menjadi juara renang olimpiade.

Dengan demikian, meski pada hakikatnya, manusia bebas bercita-cita, tetap ada batasan. Batasan yang bukan normatif. Melainkan batasan yang ambangnya adalah probabilitas keberhasilan dan konyol tidaknya sebuah perjuangan untuk cita-cita tersebut. Prinsip ini, semestinya berlaku juga bagi mereka yang bercita-cita, berkeinginan, terobsesi, berangan-angan, bermuluk-muluk untuk dapat meniti karir dalam bidang musik, khususnya Musik Klasik.


MENJADI MUSISI DI ERA BEETHOVEN & FRANZ LISZT
Sejak zaman Bach sampai era nya Bethoven dan Mozart, lalu Chopin dan Franz Liszt, hingga Debussy. Tak ada satu pun pemusik dan komposer akbar yang kaya. Para komposer dan pemusik akbar itu malahan sangat miskin. Hidupnya tak pernah cukup. Bergantung belas kasihan dan sumbangan orang kaya. Hanya ada satu komposer dan pemusik besar yang kaya raya, yakni Felix Mendelsohn Bartholdy. Itupun kekayaan dari orang tuanya. 

Dengan gambaran seperti itu, yang mengherankan, kok ya masih ada yang bercita-cita jadi pemusik klasik? Bercita-cita jadi komposer. Dimana daya tariknya? Ditambah lagi, para komposer besar tersebut tak ada yang beres moralitas kehidupannya. Bahkan Bach yang dikenal sangat religius pun pernah dipenjara. Mozart berkelainan sex. Beethoven pemarah dan pemberang. Franz Liszt stress nggak karuan. Chopin mengharu biru dalam alam khayal puisi cinta. Waaaaaahhh. Repot. Tapi kok ya ada saja yang bercita-cita menjadi seperti mereka?

Pada awal-awal berkembangnya sekolah musik dan konservatorium, cita-cita menjadi pemusik dan komposer tumbuh bukan karena implikasi materi. Melainkan prestis pergaulan. Beethoven, meski melarat, tapi kenalan bangsawannya banyak. Liszt meski stress edan, dipuja wanita. Bahkan para wanita menciumi rontokan rambut dan cerutu yang bekas dihisap Liszt. Rupanya ini yang menjadikan orang zaman itu bercita-cita jadi pemusik. Disamping pada zaman itu, musik sangat dimuliakan. Karena hanya musik lah satu-satunya hiburan dan pengisi bathin.


MENJADI MUSISI DI ABAD KE-20
Era Beethoven sampai Debussy berakhir. Karena setiap era tentu ada akhirnya. Mulailah adanya INDUSTRI REKAMAN MUSIK KLASIK yang dipelopori oleh Deutsche Grammophon. Dunia mengenal Herbert von Karajan. Dirigen hebat, ganteng, genius. Dan karena rekamannya laris, ia menjadi kaya raya tajir melintir bak Raja Minyak. Ada lagi pemain piano Vladimir Horowitz yang dipuja puja bak Dewa dari angkasa. Arthur Rubinstein, Claudio Arrau yang flamboyan. Kemudian disusul dengan generasi Daniel Barenboim dan Martha Argerich, Jacqueline Du Pre dan sejawatnya. Yang lebih menggemparkan adalah GUSTAVO DUDAMEL. Anak kere dari jalanan yang secara ajaib menjelma jadi tokoh dunia yang kaya raya dengan menjadi Dirigen kenamaan.

Waaaaaah. Menjadi jelas. Tahun tahun 60-an sampai dengan sekitar 2005-an, musik mengalami masa jaya. To Be sepenuhnya terarah pada musik. Orang berlomba-lomba memasukkan anaknya ke konservatorium. Berharap bisa seperti para Dewa dan Diva Musik Klasik. Apakah To Be nya berhasil? YA. Produknya adalah generasi Evgeny Kissin, Yuja Wang dan Lang Lang.

Yuja Wang

MENJADI MUSISI ZAMAN NOW
Makin kemari, makin ke depan, makin lama, masa kejayaan Musik Klasik semakin surut. Badai ketidakpastian ekonomi global menjadi biang keroknya. Eropa sebagai poros Musik Klasik tak lagi kukuh pada tradisinya. Kebangkrutan institusi musik khususnya orkestra mulai marak. Beberapa orkestra besar dan sudah punya nama mencoba bertahan hidup. Namun, sajiannya bukan lagi sebagai seni apresiasi melainkan sebatas tontonan turisme belaka. 

Yang aneh, bahwa di zaman sekarang, To Be menjadi sangat anomali. Konservatori di Eropa, lebih dari separonya dibanjiri oleh mahasiswa dari Asia. Terutama Cina, Korea Selatan, dan Jepang. Sisanya adalah mereka yang dari Amerika Latin. Mahasiswa Eropa terbilang sudah sangat sedikit. Apa artinya ini? Apakah terjadi pengambilalihan cultural root dari Musik Klasik? Jawaban yang pasti kita tidak tahu Yang jelas, ada unsur political hegemony balancing. Dengan kata lain, ada upaya dari para macan Asia, untuk mengimbangi hegemoni barat, dalam hal ini Eropa dalam ranah budaya.


SITUASI PENDIDIKAN MUSIK DI INDONESIA
Bagaimana dengan situasi di Indonesia? To Be dalam ranah Musik Klasik, di Indonesia diwarnai dengan cukup unik. Saat para parents di Scotlandia sudah tidak sanggup membayar les musik, di Indonesia siswa kursus masih banyak. Bahkan melimpah. Biaya kursus pun tidak murah. Apakah berarti di Indonesia saat ini musik, terutama Musik Klasik sedang naik pamor?  TENTU TIDAK. 

Masih banyaknya anak dan adult les piano di Indonesia, bukan berarti daya apresiasi musik meningkat. Yang benar, fenomena tersebut adalah gejala. Bahwa orang Indonesia mulai sadar. Bahwa Enriched people memang jauh lebih unggul dari mereka yang cuma lulus sekolah umum belaka.

International Grade Examination di Indonesia di tahun 2018 juga masih tetap full housedipenuhi peminat. Sampai rela antre dan duduk di karpet hotel tempat ujian sambil bete-bete bawa laptop. Sekali lagi, bukan berarti daya apresiasi musik meningkat. Karena, toh para parents dan bahkan si siswa sendiri (sebagian terbesar) nggak pernah dengar Musik Klasik selain lagu ujian. Namun ada kesadaran pada masyarakat kita. Bahwa selembar ijazah maknanya begitu penting bagi sebuah portofolio jenjang karir. Apapun profesi yang akan dipilihnya kelak.

Bagi yang sudah belajar musik sampai grade lumayan, 2018 membuka peluang bagi manifestasi To Be. Kompetisi piano masih marak seperti midnight late sale pakaian dalam. Apa artinya? Bahwa selagi di Eropa dan mana-mana musik bangkrut, Indonesia masih menunjukkan geliatnya. Musik masih bisa untuk mengais rejeki. Masih banyak orang yang bisa dan mau serta sudi diiming-imingi dan dibuai dengan predikat JUARA KOMPETISI. Hal semacam ini sah-sah saja. Karena, jika saatnya masyarakat sudah lebih cerdas lagi, bisnis kompetisi akan punah dengan sendirinya.


MENJADI MUSISI DI INDONESIA
To Be artinya menjadiMenjadi apa? It’s your choice. Namun, To Be ini juga diantisipasi dengan beberapa prestasi. Koor Anak Indonesia dengan gilang gemilang lagi lagi untuk kesekian kalinya, Juara dunia, Eropa dan bahkan juara planet. Orkestra masih banyak digelar. Meski jika ditanya kapan akan konser lagi, para pemainnya saling menatap kebingungan. Mudahan di tahun depan akan banyak donatur yang sudi meluangkan uang untuk membiayai pementasan orkestra Indonesia. Daripada bikin film panas.

Lalu bagaimana dengan konser siswa? In Indonesia, you can be anything you wantMau main piano sambil jadi sales sekolah musik? Bisa. Tuh yang konser di Mall. Anak orang disuruh main sambil (sebetulnya) diperalat untuk mempromosikan kursusannya. Parents nya disuruh bayar pula. Dan anehnya, si parents bangga. Kalau yang model begini terus saja bertumbuh, siap-siap saja deh kita menjadi bani koplak dalam musik.

Masih ada sebetulnya, konser siswa yang memang full educated. Mendidik sita dan mendidik audiens nya. Seperti misalnya konser atau RESITAL yang diadakan oleh JELIA PIANO STUDIO dengan direksi Jelia Megawati Heru M.Mus.Edu. Seorang music educator yang bukunya tergolong laris. Blognya ramai dibaca seantero persada nusantara. Instagramnya dipuji banyak kalangan. Pertanyaannya, sampai berapa lama yang model Jelia begini bisa bertahan. Mengapa? Ini jawabannya.

Dengan keadaan ekonomi global yang mencekik, ditambah surut dan bangkrutnya industri musik, tak terkecuali industri Musik Klasik, maka ada kecenderungan para pelaku musik untuk menghalalkan segala cara. Apa tujuannya? Tak lain dan tak bukan adalah untuk survive dan mempertahankan zona nyaman yang sudah didapat selama ini. Bagaimana wujudnya? 

  1. Dengan goreng menggoreng harga alat musik. Berdalih bahwa alat musik adalah art craftsmanship. Para spekulan dan pedagang petualang pasang harga dengan menggelembung tak wajar. Digoreng lah mitos mitos palsu. Plus bumbu-bumbu. Misalnya: ini gitar nih daftar tunggunya sampe 20 tahun lho. Makanya harga satu milyar tuh murah
  2. Dalam sajian pagelaran musik. Penampil tak lagi memperhatikan estetika dan kepatutan. Gejalanya, bahwa Musik Klasik harus tampil all out. Jika perlu, jadikan Musik Klasik sebagai hiburan semata. Lengkap dengan buka baju dan obral material yang non musik.
  3. Dalam hal pendidikan musik. Ada trend bahwa: ahhhh pokok anak saya bisa pentas. Dengan pentas kan ada encourage pribadi. Gak peduli pentas di Mall atau warung nasi bakar.


Tahun 2018 menyisakan banyak peristiwa. Namun esensinya, ke depan, perjuangan untuk ranah Musik Klasik nampaknya semakin berat. To Be tentu saja masih bisa menghirup kebebasannya. Namun sangat disarankan agar kita semua melakukan perhitungan cermat di segala hal. Sebelum memutuskan TO BE A MUSICIAN. Selamat menapaki tahun 2019! 

No comments:

Post a Comment

Note: only a member of this blog may post a comment.