“JUST LISTEN!”
ETIKA MENDENGARKAN MUSIK KONTEMPORER
by: Michael Gunadi Widjaja
CHAOS DI PERTUNJUKKAN MUSIK
Paris, 29 Mei 1913. Tak ada yang menyangka sebelumnya bahwa hari itu akan tercatat nan abadi dalam sejarah perkembangan musik. Pertunjukan perdana “THE RITE OF SPRING” atau Ritus Musim Semi karya Igor Stravinsky. Pertunjukan berupa Ballet dan karya orkestra. Pengunjung terbilang meluap. Maklumlah, sebelumnya mereka dibuat penasaran oleh provokasi program tentang debutan baru yang menggabungkan Ballet tradisional Rusia dan seni Ballet modern, serta komposisi musik yang juga modern.
Pertunjukan pun dimulai. Orkes mengepakkan keperkasaannya. Hadirin memekik… Serasa akan pingsan… sebagian lagi berteriak. MUSIK APA INI? Aneh… Bisa bikin musik nggak sih tuh orang? Ramai… riuh… Sebagian penonton ada yang tetap ingin menikmati pertunjukan. Mereka bersitegang dengan penonton yang marah… Riot… Chaos… Kursi berterbangan… Namun tak ada yang terluka.
EJEKAN TERHADAP MUSIK POLITONAL
KIsah yang sama, dialami pula oleh komposer DARIUS MILHAUD. Kejadiannya juga di Paris, Perancis. Kisahnya dimulai dari seorang Dirigen bernama Gabrie Pierne, pemimpin orkestra Concert Collone. Baginya Suita Orkestra karya Milhaud adalah sebuah karya musik yang jenial. Ia juga mengharap bahwa Darius Milhaud akan mendapat sukses dari pertunjukan perdana tersebut, mengingat usia si komposer saat itu sudah 30 tahun. Usia yang sebetulnya terlalu tua untuk memulai debut sebagai komposer.
Awalnya, musik mengalir sebagaimana musik yang umum di dengar orang jaman itu. Tetapi semakin lama arah musiknya semakin menjurus ke arah POLITONAL. Politonal itu tiap tiap jalur bunyi memakai tangga nada yang berbeda satu sama lain namun berbunyi secara bersamaan (BOLERO karya Maurice Ravel pada sekuens akhir juga memakai keadaan POLITONAL). Saat itulah, persis seperti kejadian karya Stravinsky, penonton berteriak-teriak mengejek. Sebagian lagi, yang merasa penasaran, menghardik yang mengejek. Lucunya, para penonton MENGEJEK POLITONAL, namun mereka sendiri mengalami dan bahkan membuat sebuah *politonal* dengan ejekan plus hardikan.
Setelah movement pertama selesai, Pierne, sang Dirigen, berbalik ke arah penonton dan memohon agar konser berlanjut, dan penonton dimohon untuk tenang dan mendengarkan sampai selesai, baru kemudian silahkan berpendapat. Sejenak penonton nampak terkendali… Konser berlanjut… Pada bagian FUGA, keributan mulai lagi. Penonton berteriak-teriak “Assez… Assez!”berulang-ulang. Sebagian lagi menghardik pihak yang berteriak… Namun akhirnya konser pun usai (Disarikan dari apa yang dituturkan oleh Musikolog Hendrik Andriesen)
BUDAYA DAN KARAKTER PENONTON
Dua peristiwa. Stravinsky dan Milhaud. Sama-sama diejek diteriaki. Kenapa sih penonton tidak mau sabar menerima menunggu sampai selesai? Etika dan adab mendengarkan, ternyata bertalian erat dengan BUDAYA DAN KARAKTER. Orang Perancis memang begitu adanya. Orang Itali jaman sekarang pun begitu. Dulu, Opera Itali selalu ditonton dengan tenang, tanpa suara, dan seperti sebuah kesenyapan.
Sejak 10 tahun terakhir, keadaannya tidak demikian. Jika ada Soprano atau Tenor yang dianggap kurang pas, penonton akan berteriak mencemooh dengan sangat kurang ajar. Ada lagi tipe penonton Belanda. Mohon maaf sebesarnya, ini sangat subyektif sifatnya. Orang Belanda tidak spontan melainkan tetap tenang duduk tetapi sambil senyum sinis mengejek jika dalam performance ada yang kurang pas.
Persoalan nya mengerucut menjadi demikian. Sebetulnya, gedung konser atau performance venue, adalah tempat bagi orang untuk mendengar dan mendengarkan musik secara seksama. Sebuah sajian musik, mestinya selalu diberi waktu. Bukan terus baru dimainkan beberapa birama, orang sudah menggerutu.
Sikap seperti itu sangat tidak pada tempatnya. Beda dengan melihat pameran. Dalam pameran lukisan misalnya. Sekejap orang bisa melihat obyeknya secara utuh. Selanjutnya terserah dia. Apakah mau mengamati atau terus ngeluyur berlalu pergi. MUSIK TIDAK BISA DIPERLAKUKAN SEMACAM ITU.
ETIKA DAN ADAB MENIKMATI MUSIK
Dalam karya Musik Kontemporer, sangat tidak bijak dan sangat kurang ajar jika baru mendengar beberapa detik terus mulai teriak-teriak. Ada banyak unsur Musik Kontemporer yang berjalan lambat, berputar-putar, berubah secara sedikit-sedikit… Kesemuanya butuh WAKTU untuk didengarkan dan dicerna.
Memang ada berbagai cara dan adab dalam mendengarkan musik, bergantung pada GENRE nya. Jazz seyogyanya didengarkan sambil berceloteh. Bahkan celoteh jorok. Dangdut semestinya didengarkan dengan angkat ketek tinggi-tinggi dan goyang. Rock didengarkan sembari ber yel-yeldan mengacungkan Hand Sign simbol. Klasik? Harus didengarkan sambil tidur… (Hahaha).
JUST LISTEN. Dengerin ajah. Protes dan komentarnya nanti setelah bubaran. Nulis facebook, nge-tweet, bikin meme sekalian.
MUSIK KEHIDUPAN
Dulu, almarhum Sapto Rahardjo, pernah menggelar musik kehidupan. Isinya adalah aktivitas beliau sehari-hari. Mandi, sikat gigi, BAK, BAB, semua bunyi itu di proses oleh sebuah digital sampling untuk menjadi MUSIK. Just Listen sangat diperlukan dalam keadaan ini. Kenapa? Ya karena anda BELUM KENAL bahasa musiknya Mas Sapto.
Perlu waktu sebelum berkoar-koar. Saat yang lain, Mas Sapto Rahardjo memutar sampling phrase gendhing sambil ia memainkan priwitan burung-burungan. Saya yakin jika anda menonton saat itu, Anda akan heran, bingung, dan bahkan bisa saja mencap bahwa Mas Sapto tak bisa bikin musik. Itu kan Anda. Tapi bijaklah sedikit. Kenali dulu bahasa musiknya!
YOKO ONO "CUT PIECE"
MUSIK PROVOKATIF
Dunia mengenal beberapa karya musik yang rentan terhadap reaksi provokatif. Stockhausen dengan musik dari irama jantung dua insan yang bersetubuh di belakang panggung. Heinz Holliger dengan elematika kinetis tubuh manusia. Le Monte Young dengan musik di ruang angan-angan. Nam June Paik dengan musik dari kutang di dada perempuan, yang entah itu musik atau bukan. Yoko Ono dengan Fluxus dan Happening art, dimana musik nya berakhir saat sebatang korek api habis terbakar.
JOHN CAGE 4'33''
4’33’’
Tak dapat dipungkiri bahwa acapkali terdapat kesenjangan antara “keinginan dan harapan“ penonton dengan “keinginan dan bahasa” si komposer. Contohnya adalah karya John Cage berjudul 4’33”. Atau empat menit tiga puluh tiga detik. Scorenya begini:
Ada 3 bagian. Bagian 1 TACET alias TIADA BUNYI. Bagian II TACET LAGI, bagian III TACET juga. Lhooooo trus? Ya iyaaaa. Memang gakda yang dibunyikan. Selama 4 menit setengah lebih itu penyajinya. Cuma tampil tanpa membunyikan apapun. Anehnya, meski tak ada bunyi apapun yang diperdengarkan, ada yang menafsir karya John Cage tersebut menjadi seperti ini.
Sebetulnya, kesenjangan atau gap antara penonton, penikmat, dengan komposer, jika dikritisi, wujudnya demikian: Penonton kesal dan marah karena bunyi musik karya si komposer tak sesuai dengan bunyi yang biasa penonton dengar. Penonton, siapapun itu di seluruh dunia, sudah terbiasa hanya mendengarkan musik yang MAYOR dan MINOR saja. Seolah musik itu berkelamin. Di luar mayor dan minor, termasuk susunan harmoni serial dan kontrapunkt abstrak akan dianggap barang aneh dan asing.
PENUTUP
Just Listen dalam esensinya bukan hanya sikap. Melainkan sebuah budaya dan adab. Adab untuk menghargai dan berperspektif secara bijak sebelum berkomentar dan ngamuk-ngamuk. Lucunya, musik dikatakan sebagai gambaran kehidupan.
Kehidupan modern sudah sangat kompleks dan tak mungkin dikotak-kotak hanya satu atau dua kelompok saja, tapi publik tetap saja berasyik-masyuk dan memaksa bahwa musik hanya punya kelamin mayor dan minor. Diluar itu dianggap LGBT yang harus dibinasakan.
No comments:
Post a Comment
Note: only a member of this blog may post a comment.