“GELIAT MUSIK KLASIK”
By: Michael Gunadi
Staccato, December 2018
MENOLEH SEJENAK
Makhluk hidup itu mempunyai ciri IRITABILITA. Yakni peka terhadap rangsang. Apapun dan bagaimanapun bentuk rangsangannya. Sebagai reaksi dari kepekaannya terhadap rangsang, makhluk hidup, tentu termasuk manusia, dapat melakukan aktivitas berupa MENGGELIAT. Menggeliat ini dilakukan jika makhluk hidup tersebut: mulai tersadar dan mencoba bangkit dari kelelapan tidurnya. Atau juga makhluk hidup tersebut merasakan sebuah rangsangan yang membuatnya terekstase.
Musik Klasik, dalam esensinya adalah perwujudan dari karsa manusia seutuhnya. Karsa, termasuk di dalamnya adalah ide dan fantasi, diwujudkan dalam bentuk karya. Karya yang adalah seni bunyi. Membicarakan Musik Klasik, menjadi tak ubahnya dengan membicarakan manusia itu sendiri. Geliat manusia, sekaligus menjadi geliat karya estetiknya, Musik Klasik.
Persolannya menjadi: ada rangsang apakah gerangan, sehingga Musik Klasik sampai harus menggeliat? Di awal 2019 ini ada baiknya kita menoleh ke belakan sejenak. Bukan karena cengeng, melainkan untuk menarik utas tali yang merentang prakiraan kita untuk masa yang akan datang.
KEBRANGKRUTAN MUSIK KLASIK
Tahun 2018, menorehkan banyak hal. Bahkan terlalu banyak hal. Hampir semuanya mengisyaratkan satu keadaan. Bahwa Musik Klasik sebetulnya sudah bangkrut. Tidak hanya Musik Klasik. Musik seni lainnya seperti Jazz, New Age, Kontemporer, dan bahkan Musik Pop yang adalah produk industri musik, sudah kehilangan pamornya. Menarik untuk ditelisik, apa penyebabnya.
Untuk hal tersebut, orang akan berdebat sepanjang panjangnya tanpa ada satu pun ketetapan formulasi sebagai penyebabnya. Mengapa? Karena upaya menelisik kebangkrutan Musik Klasik, terutama yang dilakukan oleh para pemusik Klasik, selalu bernuansa rasa kecewa, nyaris tak percaya, dan kecemasan di masa yang akan datang.
Debat tersebut sebetulnya sangat tidak penting. Yang pokok adalah bahwa kita harus, mutlak mengakui bahwa musik, juga Musik Klasik, sudah bangkrut. Tak perlu berdebat mengenai penyebabnya. Cukup kita lakukan sebuah NAPAK TILAS saja.
NAPAK TILAS MUSIK KLASIK
Pada zaman Bach, Beethoven, dan Mozart, musik (yang kemudian kita kenal sebagai Musik Klasik) adalah bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan. Tentu saja. Karena di zaman itu, ungkapan ekspresi hanya bisa terekstasi melalui karya musik yang dibuat dan diciptakan.
Revolusi Industri sebetulnya membawa angin segar bagi Musik Klasik. Karena dengan adanya manufaktur, harga alat musik menjadi relatif terjangkau. Sehingga golongan kelas menengah mulai dapat bicara cerewet dalam hal Musik Klasik.
Modernisasi tiba-tiba saja meluluh lantakkan tatanan itu. Orang tak lagi harus datang ke konser. Orang malahan lebih afdol menikmati konser dalam bentuk audio visual. Pilihan jenis musik pun mulai beragam. Dan dengan adanya digitalisasi jaringan maya, musik pada umumnya TAK LAGI MEMILIKI PERAN SEBAGAI ASUPAN BUDAYA. PILIHAN MANUSIA LAH YANG MALAHAN MEMBUDAKI MUSIK SEBAGAI ASUPAN BUDAYA. Hal lainnya tentu adalah globalisasi. Bukan Cuma menjadikan dunia makin sempit. Globalisasi menyertakan juga seleksi alam dalam versinya yang mengerikan.
Semua episode dalam napak tilas tadi, bagi beberapa orang dikatakan sebagai peluang. Namun kenyataannya, sangat sulit mengatakan bahwa Musik Klasik masih bisa bermain mata dengan sang peluang. Dampak utamanya sebetulnya sederhana saja. ORANG TAK LAGI BISA MENGGANTUNGKAN NAFKAH HIDUPNYA PADA MUSIK KLASIK.
Jika membaca pernyataan saya tersebut, beberapa orang langsung akan membantah dengan sangat keras. Mereka akan menunjukkan buktu-bukti bahwa kursus musik masih bertumbuh bak cendawan di musim hujan. Dan konser Musik Klasik tetap digelar. Tanpa panjang lebar saya akan langsung menangkis dengan mengatakan: SIAPA DIBALIK KURSUSAN TERSEBUT? DAN KONSER YANG MANA YANG DIMAKSUD?
INDIKASI KEBANGKRUTAN MUSIK KLASIK
Indikasi kebangkrutan Musik Klasik sebetulnya dapat dilihat dari beberapa rangkai peristiwa. Saya beri contoh:
- Ujian ABRSM yang menjadi tolok ukur pencapaian pelajaran dan pendidikan musik paling representatif di seluruh dunia, selalu menyertakan lagu Jazz, Pop dan modern dalam silabus ujiannya. Bisa saja berkilah agar para kandidat memahami genre musik yang beragam. Namun dibalik Itu, tak usah pernah ragu untuk mengatakan bahwa Musik Klasik sudah hilang pamor, tak lagi digemari dan bahkan terasa teralienisasi.
- Bahkan pertunjukan orkestra kelas Dunia seperti Berliner Philharmoniker, dalam annual concertnya tidak lagi bergulat dengan Musik Klasik secara total. SELALU, sekali lagi SELALU ada nuansa Musik Popular dan Modern. Apa artinya? Direktur orkes nya malas untuk mengambil resiko pamor dan popularitas jika hanya menampilkan repertoire yang klasik sebagaimana lazim dikenal.
- Hampir bisa dipastikan, tiap konser yang total mempersembahkan Musik Klasik, akan sepi. Festival gitar international yang melegenda bahkan hanya dihadiri segelintir manusia saja. Konser legenda seperti zaman kejayaan Barenboim, Argerich, Kissin tak pernah ada lagi.
Kita perlu detail dan cermat membaca situasi tersebut. Agar ke depan, Musik Klasik masih bisa menggeliat. Yang muaranya tentu akan membuat banyak orang menjadi mampu memiliki nafkah sekaligus membagikan persepsi pengalaman estetiknya.
Berikut adalah grafik yang akan berbicara banyak hal tentang situasi Musik Klasik. Grafik ini adalah resume dari Data berbagai institusi dan Universitas, Konservatori, dan Sekolah Tinggi musik di beberapa kota besar Eropa, khususnya di Jerman.
Number of people interested in classical music, piano concertos,
and symphonies in Germany from 2013 to 2017, by level of interest
(in millions)
Sumbu aksis pada grafik adalah TAHUN. Ordinatnya adalah JUMLAH RESPONDEN. Segi empat yang paling atas adalah luas daerah untuk responden yang SAMA SEKALI TIDAK TERTARIK PADA MUSIK KLASIK. Kalau kita perhatikan, jumlahnya cenderung naik pada 2016 sampai 2017. Komposisi antara yang sangat tertarik, tertarik, kurang tertarik, dan sama sekali tidak tertarik, semenjak 2013 - 2017 relatif sama. Lalu bagaimana penafsirannya?
- Bahwa perkembangan Musik Klasik, setidaknya dari 2013 sampai 2017 adalah relatif stagnan. Tidak menggembirakan.
- Orang orang yang sangat tertarik pada Musik Klasik, jumlahnya dapat dikatakan sangat kecil dan hampir tak berarti. Padahal survei dilakukan di Eropa yang adalah poros Musik Klasik.
Bertolak dari gambaran grafik yang sedemikian, jelas sangat perlu diupayakan GELIAT MUSIK KLASIK. Ada beberapa hal yang kiranya layak untuk ditelisik.
Penyadaran
Harus disadari terlebih dahulu bahwa Musik Klasik dapat dikatakan sudah bangkrut. Tak perlu lagi bermanis manis dan mengiming-imingi dengan jempol yang diisap bahwa Musik Klasik masih cerah prospeknya. BANGKRUT. Titik. Ini adalah sikap dasar yang paling utama jika seseorang ataupun sebuah entitas ingin bangkit kembali. Penyadaran sampai pada taraf kesadaran akan keadaan yang sesungguhnya.
Paradigma
Sudah bukan jamannya lagi Musik Klasik disajikan sebagai sebuah produk budaya asupan bathin secara mandiri. Musik Klasik harus bersama-sama dengan genre musik lainnya. Paradigma nya adalah bukan lagi sebagai seni adiluhung yang mandiri. Melainkan sebagai produk kesenian bunyi. Dan paradigma ini harus bisa beradaptasi dengan modernitas. Termasuk serbuan digital yang kenyataannya telah secara revolusioner merubah dan mengubah cara orang berbudaya.
Lingkup Penikmat
Siapapun yang mengaku cinta Musik Klasik, dan bukan sekedar suka, mestinya memiliki semacam kewajiban moral. Sebetulnya, untuk bisa menggeliat, sekuens penikmat manakah yang menjadi sasaran utama. Remaja, Para eksekutif muda dalam usia produktif, para pengusaha dan enterpreneur yang telah mapan? Dan bagaimana dengan Gender? Dominasi perempuan ataukah tidak?
Meskipun sudah ada kerangka berpikir sedemikian, tentu saja geliat Musik Klasik bukan hal yang gampang. Yang paling masuk akal sebetulnya adalah MENGUBAH WAJAH MUSIK KLASIK. Dari kesan aristokrat menjadi agak membumi, meski tidak harus merakyat. Beberapa upaya ke arah ini sedang dan nampaknya akan terus dilakukan. Meski demikian, upaya semacam ini juga tak akan lepas dari persoalan persoalan.
Gambar adalah pemusik klasik yang main di jalanan. Nampak bahwa ia masih mengenakan jas. Sebuah tradisi performansi dalam Musik Klasik. Persoalannya, sangat dibutuhkan ruang dan atmosfir yang mendukung penampilannya. Dan hal semacam ini tidak bisa dilakukan di setiap tempat di berbagai negara.
Ensembles Musik Klasik pentas di jalanan. Yang semacam ini berulang kali dilakukan para pemusik Indonesia. Mereka main di Pasar, Halte Bus, tempat publik lainnya. Tujuannya jelas tentu untuk mengubah wajah Musik Klasik. Yang menjadi masalah adalah. Bahwa perubahan wajah Musik Klasik bukan serta merta menanggung konsekuensi berubahnya harkat dan martabat sebagai sebuah entitas seni dalam koridor dan bingkai budaya. Akan sangat fatal jika pementasan semacam itu, hasilnya malahan adalah pandangan orang yang menganggap bahwa Musik Klasik tak ubahnya seperti BRAZILIAN CHORO. Street Music.
Mungkin secara alamiah, Musik Klasik akan menggeliat. Tapi mungkin juga dibutuhkan kiat dan upaya yang terus menerus untuk merangsang agar Musik Klasik bisa menggeliat. Apapun bentuk rangsangannya, satu hal perlu senantiasa diingat. Bahwa Musik Klasik di masa jayanya adalah sebuah seni bunyi yang adiluhung dan sudah terlanjur banyak orang yang menggantungkan nafkahnya pada Musik Klasik.
No comments:
Post a Comment
Note: only a member of this blog may post a comment.