Saturday 30 June 2018

DICARI: Instrumen Musik Ramah Lingkungan - by: Michael Gunadi (Staccato, July 2018)

DICARI: 
INSTRUMEN MUSIK RAMAH LINGKUNGAN
By: Michael Gunadi
(Staccato, July 2018)


KESEIMBANGAN ALAM
Umur bumi tempat kita berpijak, sudah tua. Sudah lanjut, bahkan sudah uzur. Karenanya keadaan bumi yang sudah uzur itu, perlu dijaga. Agar tetap sehat. Karena jika bumi sampai sakit, jelas kita yang berpijak di atasnya akan ikut sakit dan bahkan tidak mungkin IT’S THE END OF THE WORLD alias Kiamat.

Cara menjaga kesehatan bumi, adalah dengan menjaga keseimbangan ekosistem. Yakni keseimbangan antara lingkungan hidup dan unsur-unsurnya. Terlalu banyak hewan, bahaya. Bisa-bisa kita yang dimangsa. Terlalu sedikit hewan juga bahaya. Karena persediaan protein jadi berkurang dan keseimbangan lingkungan akan terganggu akibat langkanya unsur pemangsa atau Predator. 

Prinsipnya: SEMUA HARUS SEIMBANG. Seberapa seimbang? Itu yang menjadi persoalan. Dan karenanya semua negara di dunia, termasuk Indonesia, membentuk sebuah BADAN PENGAWASAN LINGKUNGAN HIDUP. Apapun dan whatever will be will be (Que sera sera) bentuk hirarkinya.

BAHAN BAKU INSTRUMEN MUSIK
Dengan berjalannya waktu, badan-badan lingkungan hidup di seluruh dunia melakukan konservasi terhadap alam, flora dan fauna. Termasuk upaya melestarikan flora dan fauna yang mulai langka alias hampir punah. Nah dalam rangka itulah, rantai berimbas pada musik. Berimbas pada keberadaan alat musik. Alat musik mulai dikuya kuya uya kuya.


Mengapa? Karena Alat musik adalah piranti yang memakai bahan olahan. Dan bahan olahan ini jelas mengeksplorasi alam, flora, dan fauna. Bagi alat musik berbahan baku metal, tidak begitu masalah. Yang paling terkena imbasnya adalah PIANO SANG MAHARAJA, dan …. GITAR KLASIK SI KAYA YANG TERMISKINKAN yang kian hari juga semakin miskin saja.



TRAGEDI MUTILASI PIANO
Sekitar 20 tahun yang lalu, ada kejadian tragis yang menimpa PIANO. Kejadiannya di USA dan kejadian ini dikenal sebagai TRAGEDI MUTILASI PIANO dan dapat dikatakan sebagai awal rantai masalah antara alat musik dan kebutuhan lestarinya lingkungan hidup. Kejadiannya sebagai berikut:

Tahun 1988, dunia meratifikasi AKTA PERLINDUNGAN GAJAH AFRIKA. Istilah resminya adalah AFRICAN ELEPHANT CONSERVATION ACT. Akta tersebut, oleh pemerintah USA saat itu, dimaknai sebagai : 
  1. Semua perdagangan tubuh maupun bagian tubuh gajah, DILARANG!
  2.  Tubuh maupun bagian tubuh gajah dalam segala bentuknya,dilarang masuk USA.
  3. Olahan dari tubuh maupun bagian tubuh gajah, dilarang, KECUALI TELAH BERUSIA 100 tahun sebelum adanya Akta tahun 1988

Kemudian, ada sebuah Concert Grand Piano buatan tahun 1920. Piano tersebut bersemayam di HOUSE OF ERARD. Dibawa masuk USA oleh pianis Ophra Yerushalmi. Piano tersebut, tutsnya atau piano keys nya TERBUAT DARI GADING GAJAH. Saat tiba di rumah Ophra, Badan Konservasi Lingkungan USA, menyita piano tersebut, karena bertentangan dengan Akta Perlindungan Gajah tahun 1988. Piano buatan 1930, jadi usianya belum 100 tahun. 



Setelah disita, beberapa waktu kemudian, piano tersebut dikembalikan lagi ke rumah Ophra Yerushalmi namun dalam KEADAAN TERMUTILASI ALIAS TUTS NYA SUDAH GAK ADA SEMUA. Kedengarannya memang tragis dan miris. Hal yang sama dialami juga oleh sebuah piano upright bikinan Steinway and Son dengan tahun pembuatan 1862. Saat Presiden Abraham Lincoln bertahta. Jelas usia piano ini berdasarkan ketentuan akta, sudah mencapai 100 tahun. Namun, karena tidak ada dokumen sah yang menguatkan usianya, piano tersebut juga dimutilasi tuts nya.



Dua peristiwa tersebut, membuat pabrik piano tidak lagi memakai gading gajah untuk tuts piano. Sebagai gantinya, tuts terbuat dari plastik. Apakah ada perbedaan yang signifikan. TERNYATA TIDAK ADA. Bahkan tuts plastik jauh lebih comfortable dan lebih memungkinkan bagi para pianis untuk memanipulasi hammer atau palu pemukul senar, melalui tuts. 

Jika nantinya, jika tak hanya gading gajah, seandainya semua kayu dilarang pun, industri dan kerajinan piano tidak akan menghadapi masalah. Saat ini sudah banyak Grand Piano berbahan kristal. Hybrid kayu, dan malahan dalam bentuk digital, sudah digagas piano berbahan komposit plastik. 


ILUSI BUNYI 
Piano adalah alat musik yang sebetulnya sama sekali tak terpengaruh dengan environmental good material. Kok bisa? Ya karena sejatinya, yang disajikan piano adalah ILUSI BUNYI. Piano sebetulnya TIDAK PERNAH BISA membunyikan LEGATO sebagaimana alat musik gesek. Yang dilakukan pianis adalah dengan ketrampilan jemari dan kepekaan telinga nya, mengeksplor palu pemukul dan pedal agar yang mendengar memperoleh kesan bunyi legato. Begitu pula dengan TONE COLOR. 

Pianis hebat, dalam satu nada mampu di warnai dengan lebih dari 100 macam warna bunyi. Namun sekali lagi, ini hanyalah ILUSI. Semata ketrampilan dan kepekaan si pianis. Dalam hal tone color piano pun, hanya pendengar dengan telinga yang sangat terlatih yang mampu mencecap warna bunyi dengan semestinya.



BAHAN BAKU GITAR KLASIK
Berbeda dengan piano, nasib GITAR KLASIK sungguh memelas dan memprihatinkan dalam soal material ramah lingkungan ini. Yang menjadi akar permasalahan adalah adanya AKTA LARANGAN PENEBANGAN DAN PENGOLAHAN KAYU ROSEWOOD. Kayu Rosewood itu kalau di Indonesia ya KAYU SONOKELING. Di dunia ini ada berbagai jenis Rosewood. Yang terkenal adalah Brazilian Rosewood di Amazon sana. Ada juga Indian Rosewood.



AKTA ROSEWOOD
Tadinya, yang dilarang dan dilindungi hanyalah Brazilian Rosewood. Tetapi pada tanggal 2 Januari 2017, CITES mengeluarkan akta perlindungan bagi SEMUA JENIS ROSEWOOD di seluruh dunia, termasuk Rosewood Indonesia atau kayu Sonokeling

Pemerintah Indonesia sendiri sebetulnya sudah sejak tahun 1999 telah turut meratifikasi hasil konferensi CITES. Dengan dikeluarkannya PP No. 9 tahun 1999 pasal 65. Yang menugaskan DIRJEN PERLINDUNGAN DAN KONSERVASI ALAM sebagai pelaksana penegakan hukumnya. Beberapa hal penting dari Akta Kayu Rosewood adalah:
  1. Tidak berlaku bagi perdagangan hasil olahan domestik. Sejauh total kayu yang dioakai kurang dari 10 kg
  2. Tidak berlaku bagi personal music instrument. Jadi jika misal anda punya gitar berbahan Rosewood, sejauh itu anda miliki sendiri dan tidak berupa barang dagangan, anda aman saja.

Yang menarik adalah bahwa Akta Rosewood, akhirnya memberi dampak yang kurang menguntungkan pada berbagai sektor.
  1. Bagi pabrik, termasuk pabrik gitar dan industri kerajinan gitar. Jika mau import bahan baku, harus ada SERTIPIKAT CITES bahwa bahan baku Rosewoodnya ditebang sebelum 2 Januari 2017. Sayangnya, bentuk sertipikat dan prosedur administrasinya belum jelas.
  2. Untuk para pengrajin jika mau ekspor harus ada sertipikat serupa.
DAMPAK LARANGAN ROSEWOOD
Dampak terbesar dari Akta Rosewood adalah terhadap pengrajin gitar. Hampir SEMUA GITAR STANDAR KONSER, memakai ROSEWOOD sebagai bodynya. Terutama back board atau bagian belakang. Jika pabrik gitar, atau gitar standar industri biasanya memakai kayu lapis. Apa akibatnya? Begini keadaannya:

Gitar itu beda dengan piano dalam hal menghasilkan TONE COLOR ATAU WARNA BUNYI. Pada piano, tone color itu hasil manipulasi ilusi. Pada gitar, Tone Color afalah kenyataan yang memang mampu dihasilkan. Dan ini menuntut adanya material terbaik. Dalam hal ini adalah Rosewood. Selain itu, bagi seorang gitaris professional, material adalah wujud dari intimacy atau keingiman. 

Saat bermain gitar, body belakang gitar akan menempel pada badan gitarisnya. Ini menghasilkan getaran gelombang yang membuat si gitaris mampu mengadaptasi passion. Dan ini hanya bisa dihasilkan oleh KAYU ROSEWOOD. Pernah dicoba untuk mengganti body gitar klasik dengan material selain Rosewood.



PRODUK GITAR BAHAN KOMPOSIT
Pernah ada perusahaan yang mengeluarkan produk gitar berbahan plastik komposit. Malah back boardnya dibuat spheric parabolic. Hasil bunyinya tipis dan tidak hangat dibanding Rosewood. Ada lagi yang menggagas bahwa tidak usah pake Rosewood, nanti tone colornya disetel dari efek elektronik, alias gitar akustik elektrik. 

Mungkin Tone Color nya memang mampu diadaptasi. Tapi bagaimana dengan intimacy? Apakah non Rosewood mampu menyampaikan gelombang se warm and deep ke badan gitarisnya? Dan yang penting, meski sama sama Rosewood dalam satu pohon, tidak ada dua gitar klasik yang sama. Uniknya gelombang getaran yang sampai pada badan gitaris akan berbeda beda meski kayu Rosewood nya satu pohon. Fenomena ini sepertinya takkan tergantikan oleh bahan apapun.



NASIB PRODUSEN GITAR KLASIK
Yang menjadi pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana nasib para produsen dan/atau pengrajin gitar klasik? Apakah akan menggulung tikar? Tentu saja tidak. Usaha pembuatan gitar bermutu dan berkelas tetap akan ada. Para pengrajin pun takkan absen dalam upaya berkutat dengan seni pembuatan gitar. Alasannya tentu saja adalah NAFKAH. Disamping tentu saja passion dan kecintaannya pada seni pembuatan gitar klasik. Pasti akan terus diupayakan material pengganti. 

Hanya sajua persoalannya apakah bahan pengganti tersebut bisa menyamai kehangatan dan deep passion dari kayu rosewood. Hal lain adalah, sulitnya eksplorasi kayu Rosewood. Secara psikologis akan berdampak pada lesunya minat khalayak awam untu belajar dan menekuni gitar klasik. Untuk apa susah susah belajar, material yang bagusnya saja sudah sangat sulit ditemukan. 

Semua pakar, pemain, komposer, dan pemerhati gitar klasik, seakan menghadapi tantangan yang tidak main-main. Saatnya mereka berjuang. Agar nasib gitar klasik tak seperti LUTE. Atau jangan-jangan suatu hari nanti, pada score Francisco Tarrega akan terdapat tulisan keterangan ALLA GUITARRE karena bunyi gitar sejati sudah menjadi keniscayaan.


No comments:

Post a Comment

Note: only a member of this blog may post a comment.