Wednesday 31 January 2018

KRI-TIKUS - by: Michael Gunadi (Staccato, February 2018)

 KRI-TIKUS
by: Michael Gunadi
Staccato, February 2018


KRITIK DI SEMUA SEGI KEHIDUPAN
Mungkin anda pernah mendengar ungkapan semacam: “Pena nya setajam pisau silet” atau Uraian nya pedas bak sambal Jawa“. Ungkapan semacam itu adalah metafora bagi sebuah sosok. Sebuah sosok yang juga adalah sebuah profesi. KRITIKUS alias tukang kritik. Kritikus ini terdapat di hampir semua segi kehidupan. Pemerintah kerap kali dikritik. Rumah Makan kerap kali dihujani kritik. Guru sekolah, bahkan pengurus institusi keagamaan pun tak luput dari kritikan. Sudah barang tentu, musik pun tak dapat menghindar dari jamahan dan bahkan sayatan kritik.

SUKA DIKRITIK?
Di dunia ini, tidak ada orang yang suka kritik. Sama sekali tidak ada. Ada memang orang yang bisa menerima kritik. Namun meskipun menerima, jelas bukan berarti mereka senang. Ada beberapa orang memang yang secara terbuka, mengatakan “SILAHKAN KRITIK SAYA”. Pernyataan itu pun bukan berarti orang tersebut suka dan senang dikritik. Pernyataannya semata menunjukkan bahwa meski tidak senang, orang tersebut sangat paham manfaat kritik.

REAKSI ORANG YANG DIKRITIK
Reaksi orang pun bermacam-macam ketika dikritik. Bagi yang memiliki kekuasaan, ia akan mampu membungkam semua kritik. Pribadi semacam ini kerap disebut sebagai kebal kritik. Ada pula yang balik menyerang si pengkritik. Malahan dengan serangan yang seringkali jauh lebih tajam dibanding kritikannya. Pribadi semacam ini lazim dikenal sebagai pribadi yang “bertelinga tipis“.


KRITIK BAGI MUSISI
Lalu bagaimana rekasi para pemusik sendiri terhadap kritik? Jelas bermacam-macam juga. Bagi pemusik professional, kritik adalah menu santapan harian. Malahan kritik bisa menjadi semacam vitamin bagi gairah bermusiknya. Bagi para amatir, kritikan adalah sesuatu yang mencemaskan. Ia akan merasa rendah diri dalam bermusik. Merasa bahwa ungkapan estetisnya tak layak ditampilkan dihadapan publik. Dan bagi siswa musik, kritikan bisa berarti berhenti belajar musik.

Sebetulnya, apa sih kritik itu? Dan mengapa musik pun harus bersentuhan dengan kritik. Lalu apa manfaat kritik? Bagaimana pula membedakan antara kritik yang baik dan kritik yang merupakan ujaran kebencian? Pertanyaan-pertanyaan semacam itu sangat populer bahkan sejak berabad-abad yang lalu.


MAKNA KRITIK
Dalam KAMUS BESAR BAHASA INDONESIA kritik/kri·tik/ n kecaman atau tanggapan, kadang-kadang disertai uraian dan pertimbangan baik buruk terhadap suatu hasil karya, pendapat, dan sebagainya;

Jelas bahwa dari makna linguistiknya, sebuah kritik:
  1. Bisa berisi kecaman
  2. kritik bisa pula hanya merupakan sebuah lontaran pendapat
  3. Kadang-kadang. Jadi tidak selalu dan tidak ada keharusan sebuah kritik disertai pertimbangan tentang sisi buruk dan bagaimana baiknya
  4. Obyeknya bisa berupa karya, termasuk karya musik, dan bahkan opini itu sendiri dapat dikritik

Secara lebih khusus kita akan menelisik tentang kritik terhadap musik. Kritik terhadap musik ini perlu kita tatap tajami, dikarenakan ada beberapa hal yang perlu diketahui yang nantinya diharapkan akan sedikit banyak mengubah pandangan dan persepsi kita akan kritik terhadap musik. Terlebih dahulu akan kita telisik batasan yang diberikan Institusi pendidikan terkemukan, yakni OXFORD COMPANION OF MUSIC.

“The intellectual activity of formulating judgements on the value and degree of excellence of individual works of music, or whole groups or genres'. In this sense, it is a branch of musical aesthetics. With the concurrent expansion of interest in music and information media over the past century.”


Dari batasan yang dikemukakan OXFORD COMPANION OF MUSIC tersebut, ada beberapa hal yang menarik untuk disimak:
  1. Bahwa musik kritik adalah kegiatan intelektual. Jadi mengkritik musik bukanlah menghujat asal dasar prasangka dan suka tidak suka. Melainkan ada unsur intelektualitas.
  2. Tujuan nya adalah merumuskan penilaian dan derajat kelayakan bagi penampilan individu maupun karya musik. Jadi jelas bahwa kritik musik seharusnya bukan menghakimi individu nya melainkan merumuskan penilaian derajat kelayakan
  3. Obyeknya juga adalah secara kelompok dan dilakukan juga berdasarkan GENRE. Jadi, terdapat kritik atas Musik Klasik, Pop, Jazz, Rock, dst. Termasuk Musik Tradisi dan Dangdut juga tentunya.
  4. Ini yang sangat mengejutkan. Ternyata, kritik musik dianggap sebagai CABANG DARI ESTETIKA MUSIK ITU SENDIRI. Jadi kritik musik bukanlah kegiatan orang iseng yang mencemooh musik dengan seenak puser nya sendiri
  5. Kritik musik, bahkan selama berabad-abad menyertakan pula informasi media. Dengan kata lain, kritik musik merupakan bagian yang tak terpisahkan dari jurnalisme musik 

Hal yang tak kalah menariknya adalah kapan sebetulnya kritik musik mulai muncul dan bagaimana sejarah menanggapi kritik musik ini. Saya kutip saja satu nukilan artikel Richard Taruskin:

According to Richard Taruskin, the active concert life of late 18th-century London meant that "the role and the function of arts criticism as we know it today were the creations of the English public." However, the first magazines specifically devoted to music criticism seem to have developed in Germany, for example Georg Philipp Telemann's Der getreue Music-Meister (1728), which included publications of new compositions, and Der critische Musikus which appeared in Hamburg between 1737 and 1740.

In France in the 1750s, the Querelle des Bouffons (the dispute between supporters of French and Italian opera styles as represented by Jean-Philippe Rameau and Jean-Baptiste Lully respectively) generated essays from Jean-Jacques Rousseau and others, including Denis Diderot's Rameau's Nephew (1761). The English composer Charles Avison (1709–1770) published the first work on musical criticism in the English language - an Essay on Musical Expression published in 1752. In it, Avison claims that since the time of Palestrina and Raphael, music had improved in status whilst pictorial art had declined.


Yang esensial dari nukilan artikel tersebut adalah beberapa catatan fakta sejarah tentang kritik musik. Fakta- fakta tersebut nampaknya dapat mendukung keterangan bahwa kritik musik memang adalah bagian dari estetika musik dan jurnalisme musik.
  1. Bahwa kritik terhadap musik berawal pada akhir abad ke-18 tatkala publik Inggris mulai melontarkan pandangan tentang seni pertunjukan.
  2. Publikasi kritik musik dalam bentuk cetak berupa majalah,pertama kali muncul di German dan yang menjadi sasaran kritiknya adalah musik karya Georg Philip Telemann
  3. Di Perancis pernah terjadi PERANG KRITIK MUSIK. Penyebabnya adalah penafsiran terhadap gaya Opera Itali. Antara pendukung Jean Pierre Rameau dan Jean Baptiste Lully. Kemelut ini sampai harus melibatkan ahli politik dan tata negara Jean Jacques Rousseau
  4. Charles Avison menerbitkan buku essai tentang kritik musik untuk pertama kalinya

MENANGGAPI KRITIK DALAM MUSIK KLASIK
Yang tak kalah menariknya adalah bagaimana para pemusik legenda dunia terutama Musik Klasik, menanggapi kritik terhadap penampilan dan musiknya. Daniel Barenboim misalnya. Pernah dikritik habis-habisan gara-gara main Bach menggunakan pedal. Dengan sangat santun dan cerdas, Barenboim menanggapi kritikan tersebut dengan menulis artikel yang bahkan menjadikan si pengkritik sebagai orang yang sama sekali tidak paham Bach.

“BOLERO” karya Maurice Ravel pernah dikritik dan dikatakan sebagai musik komedi topeng monyet. Ravel acuh saja dan malahan menanggapi kritikan tersebut dengan membuat karya yang lebih ekstrem.

“RITE OF SPRING” karya Stravinsky sempat menjadi bulan bulanan kritik di koran. Bahkan pertunjukannya pun berakhir dengan baku hantam antar penonton. Menanggapi kritik yang kontroversial, Stravinsky asyik saja menghisap cerutu dan melanjutkan kisah asmaranya dengan Coco Chanel sang desainer baju.

Lain halnya dengan Jean Sibelius. Komposer Finlandia ini memiliki sikap yang agresif terhadap kritikus. Quote reaksinya terhadap kritik sempat diabadikan karena unik, tajam, dan bahkan kasar. Seolah olah Jean Sibelius melakukan “perlawanan” kritik dengan kritik pula.

Berbeda dengan Jean Sibelius, Zubin Mehta, sang Dirigen legendaris, memilih sikap untuk “lebih ramah“ terhadap kritikan. Baginya, malahan harus ada jalinan mesra antara direksi musik dan kritikus. Quote Zubin Mehta ini pun kerap dibicarakan orang.


KRI-TIKUS
Kritik musik bisa lahir dari seorang kritikus sejati. Namun dapat pula terlontar dari orang iseng yang belagu dan sok pintar. Kritikus musik, dalam kenyataannya dapat menjadi kritikus sejati atau dapat juga menjadi Kri-Tikus. Sebagaimana halnya dengan KURATOR seni, kritikus musik memang seolah menentukan hidup dan matinya karir seorang komposer dan penampil.

Tidak dapat dipungkiri bahwa obyektifitas kritikannya dapat ternoda oleh kepentingan-kepentingan pribadi maupun titipan-titipan. Namun di zaman sekarang, kekuasaan kritikus musik sudah tertandingi oleh opini dalam media sosial. Facebook, Twitter dan Group Whatsapp. Opini dalam medsos memang seringkali dan bahkan hampir selalu kontroversial. Terkadang dasar kebenaran keilmuannya sangat dipertanyakan. Meski demikian, kehadiran medsos adalah tandingan sekaligus alat kontrol bagi para kritikus yang terkadang bertindak bagai dewa ataupun sang pencabut nyawa.



Kritikus terkadang memang bisa saja menjadi Kri-Tikus. Attitude dan sikap moral sangat berpengaruh terhadap tabiat seorang kritikus. Dan sebagaimana halnya dengan wartawan perang yang sangat dibenci karena bawel dan rewel, kritikus bisa sangat dimusuhi karena dianggap sebagai biang kerok yang menghalangi karir musik seseorang. Namun, dalam esensinya, jangan pernah dilupakan, bahwa bagi pemusik, kritikus adalah DEVIL’S ADVOCATE. Ia membantu kita dengan cara mengganggu kita terus-menerus.


No comments:

Post a Comment

Note: only a member of this blog may post a comment.