“SECANGKIR KOPI & IDE KOMPOSISI”
PERJALANAN MENCARI ILHAM
DALAM BERMAIN MUSIK DAN MENGKOMPOSISI
By: Michael Gunadi Widjaja
Staccato, March 2017
IDE DALAM BERMAIN
MUSIK
Bermain musik itu membutuhkan
ide. Dalam taraf tertentu, Anda tidak bisa lagi hanya memainkan berdasarkan
partitur yang Anda baca. “Pokoknya main
slamet nggak salah dari ujung ke ujung. Kelar deh!” Itu kalau Anda sedang
bermain-main dengan musik. Jika Anda MEMAINKAN musik, Anda butuh ide. Musik
apapun. Bahkan Musik Klasik, yang aturannya harus presisi, baku, kaku, dan sakelijk (kata orang Belanda) - masih
membuka ruang untuk ide performansi.
Anda tetap butuh ide untuk pendekatan
musikal atau musical approach. Anda
butuh ide untuk membuat nuansa, agar musik yang Anda mainkan tidak beku dan
terasa membosankan. Anda butuh ide agar yang mendengar dan mendengarkan musik Anda,
mendapat sesuatu untuk setidaknya dibawa pulang.
Jika Anda main Musik Klasik di
panggung, jelas lebih banyak lagi ide yang harus Anda cari, gali, permenungkan,
dan renungkan. Sampai pakaian dalam pun sebetulnya butuh ide. Bagaimana pakaian
dalam yang membuat Anda nyaman, percaya diri, dan mengangkat pamor penampilan
Anda dalam memainkan Musik Klasik. Pertanyaannya: DARIMANA DATANGNYA IDE untuk
hal sedemikian?
ILMU DAN TEKNIK KOMPOSISI
Meski gampang, mengarang musik
itu ada tekniknya. Bidang khusus yang mempelajari teknik mengarang musik, lazim
dikenal sebagai ILMU KOMPOSISI.
Jadi, dalam ilmu komposisi jelas terdapat TEKNIK komposisi.
Untuk musik tonal, jika Anda
sudah memiliki jam terbang 10.000 jam, maka Anda sudah dikatakan mahir dalam
komposisi musik tonal. Dalam 10.000 jam itu, Anda sudah khatam dan khafal
segala alur kontrapung, kadens, harmoni penyelesaian baik yang tuntas maupun
tersendat, modus-modus, dan segala macamnya.
TETAPI itu hanya untuk TEKNIK nya
saja. Perkara hasil komposisinya disukai orang dan laris atau bangkrut, itu
lain cerita. Pertanyaannya: Apakah Anda punya waktu 10.000 jam itu? Dan apakah
dengan teknik mahir saja sudah cukup?
KEDANGKALAN INDUSTRIALISASI
Dunia seni itu dunia ide-ide.
Musik yang adalah seni itu sendiri tentu harus bergumul, bergulat, bersetubuh
menyatu tanpa syarat, pasrah, menerima total dalam dunia ide-ide. Di zaman
sekarang, seni pertunjukan, dikuasai oleh ide-ide bukan hasil perenungan dan
permenungan. Melainkan ide dari kedangkalan industrialisasi dan hasrat hegemoni
uang.
Anda boleh sakti mandraguna dalam
bermain piano. Tapi jika body Anda kurus kerempeng dan wajah Anda tidak
menjual. Sampai dunia kiamat 7x Anda nggak bakalan bisa jadi artis. Sebaliknya,
mungkin Anda cuma bisa main Für Elise, tapi Anda berani buka dada dan
paha serta wajah Anda bak sungai aliran dollar. Dalam sekejap Anda akan menjadi
MEGASTAR.
WAJAH KOMPOSER KONSERVATIF MASA KINI
Berbeda dengan ranah mengarang
musik atau komposisi. Di tengah arus industri dan hegemoni uang, masih ada saja
orang ketinggalan zaman, yang masih tetap mau mengarang musik dengan ide hasil
perenungan dan permenungan. Mereka itu adalah tokoh-tokoh seperti ENNIO
MORRICONE, TAN DUNN, dan JOHN WILLIAM (bukan John William gitaris ya. Yang
gitaris itu JOHN CHRISTOPHER WILLIAM).
Tokoh-tokoh seperti mereka, masih
bisa mengangkat pamor seni mengarang musik. Bahwa mengarang musik itu bagian
dari keluhuran jiwa, pikiran bening, hasrat membara, dan birahi yang agung
terkendali. Mengarang musik bukan cuma urusan buka bra dan mengibarkan celana
dalam. Keluhuran jiwa, pikiran bening, hasrat membara, dan birahi yang
terkendali, sudah tentu merupakan perilaku olahan terhadap dunia ide-ide. Mungkin
akan menjadi menarik, jika kita telisik sejenak bagaimana para pengarang musik
atau komposer itu memperoleh ide-idenya.
ASAL MUASAL IDE MENGKOMPOSISI
Mungkin masih banyak yang
mengira, bahwa ide komposisi musik datang bagai buah emas dari langit ke tujuh.
Banyak yang engira bahwa ide komposisi musik adalah sebuah keniscayaan. Ide
komposisi musik adalah hal aneh yang harus ditempuh lewat upaya pencarian ide
bagaikan seorang pertapa. Anggapan seperti itu tidak sepenuhnya salah. Namun
jangan heran jika di depan Anda akan terpapar kenyataan bahwa ide komposisi
musik datang dari sebuah KEBIASAAN. Kebiasaan
yang teratur dan berulang-ulang.
Para pelaku, penikmat, pencinta,
dan pemerhati musik klasik, tentu tidak asing dengan Johann Sebastian Bach. Bagi komposer seperti Bach, mengarang atau
mengkomposisi musik, adalah sebuah kegiatan rutin sebagaimana makan, minum, pergi
ke WC dan tidur. Dunia ide dalam pribadi Bach, bukanlah sebuah momentum
spektakuler. Bagi Bach, mengarang musik adalah hidup itu sendiri.
BACH & BEETHOVEN: STIMULUS SECANGKIR KOPI
Sudah tentu, dunia ide-ide Johann Sebastian Bach memerlukan
stimulus untuk dapat muncul dan digarap. Stimulus nya adalah KOPI. Ya, secangkir
kopi. Bach adalah penikmat dan bahkan pecandu kopi sejati. Kegemarannya
terhadap kopi, dituangkan menjadi sebuah karya yakni KANTATA KOPI.
Sebetulnya, karya tersebut bukanlah bentuk CANTATA (lagu yang menonjolkan keterampilan menyanyi) sebagaimana yang lazim dikenal. Bentuk karya tersebut lebih pas disebut sebagai OPERA KOMIK. Dimana Bach dengan gaya komik, berkisah, dan menyindir tentang perlakuan beberapa kelompok masyarakat terhadap para pencinta kopi.
Selain Bach, Beethoven juga adalah salah seorang komposer akbar yang ide
garapannya di stimulus dengan secangkir kopi. Hanya saja khusus untuk
Beethoven, biji kopinya selalu dan selalu serta selalu dia hitung satu persatu
sampai berjumlah 60 biji. Aneh bukan? Selain tentang stimulus secangkir kopi, kebiasaan
hidup Beethoven lumayan menarik untuk kita simak.
Dari gambar aktifitas kehidupan Beethoven, bisa kita dapati bahwa: Beethoven selalu menyediakan waktu khusus secara rutin untuk membuat komposisi. Waktu khusus ini, seperti yang sudah saya kemukakan di awal tulisan, adalah semacam latihan. Agar jam terbang teknik komposisinya semakin matang. Bisa dibaca juga dalam gambar, bahwa setiap kali nongkrtong di arung (Tavern), Beethoven senantiasa membawa gulungan kertas. Untuk membuat sketsa komposisi, manakala tiba-tiba menangkap ide.
SCHUBERT: RUTIN MENGKOMPOSISI SETIAP HARI
Lain Beethoven, lain pula Franz Schubert. Schubert terkenal
dengan gaya hidupnya yang tertata rapih dan jarang nongkrong di warung. Tidak
seperti Beethoven yang dengan aneh mondar-mandir sembari nongkrong di warung.
Schubert dengan kacamata bulat nya, memiliki kebiasaan rutinitas terpola. Bangun
pagi, mandi, sarapan, dan mengkomposisi. Pola kebiasaan tersebut sudah barang
tentu untuk membiasakan bathin menjadi terasah. Terasah hingga peka menangkap
ide-ide yang berseliweran bagai lalat.
Untuk mengantisipasi ide yang bisa
secara mendadak dan tiba-tiba, berbeda dengan Beethoven yang selalu sedia
gulungan kertas, Schubert memajang gitar kecil di samping ranjangnya. Agar
tatkala muncul ide, Schubert tinggal ber ting
ting ting mengkonsep musik melalui gitar kecil.
MOZART: FANTASI DALAM MENGKOMPOSISI
Dunia ide, kebiasaan, dan karya
memang membutuhkan stimulus. Bagi Bach dan Beethoven, stimulusnya adalah
SECANGKIR KOPI. Schubert menstimulasi diri dengan keteraturan. Lalu bagaimana
dengan si WOLFGANG AMADEUS MOZART? Beberapa karya besar Mozart untuk clarinet
konserto dan opera, juga muncul dengan stimulasi kopi dan cerutu kwalitas terbaik.
Namun Ini yang agak mengerikan: ide
komposisi Mozart muncul dari kebiasaannya BERFANTASI DALAM SEX. Mozart gemar
sekali menuliskan kata dan kalimat yang sangat cabul dan dikirimkan ke beberapa
perempuan yang disukainya. Stimulus dan kebiasaannya juga sangat dipengaruhi
suara perempuan yang melengking seperti kucing. Mozart juga memiliki kegemaran
untuk meremas dada dan pantat perempuan.
Oleh sebab itu saya agak bingung
jika di zaman sekarang ada beberapa sekolah musik yang mengadakan festival,
Mozart untuk ANAK ANAK. Musik Mozart memang luar biasa, namun personalitas yang
menjadi jiwa musiknya, sama sekali bukan untuk konsumsi anak-anak.
KEBIASAAN UNIK DALAM MENCARI ILHAM
Selain Mozart, banyak komposer
besar yang memiliki kebiasaan aneh. Ada yang menjadikan kebiasaannya itu
sebagai stimulus ide, ada pula yang hanya merupakan sebuah kelainan psikosis. Antonin Dvorak misalnya. Sangat
terobsesi dengan bentuk dan bunyi lokomotif kereta.
Kemudian ada Edvard Grieg yang harus selalu mengelus elus boneka kayu kecil
berbentuk kodok. Ada pula George
Gershwin. Kebiasaan dan stimulusnya adalah merayu dan mendapatkan
perempuan. Salah satu ucapan Gershwin kemudian menjadi semacam CREDO bagi para
komposer yang bergaya hidup hedonis. “KALAU
BISA DAPAT BANYAK PEREMPUAN, KENAPA SAYA HARUS SETIA HANYA PADA SATU PEREMPUAN?”
Gubraaaaaaaaakkkk … Waaaahhh …. Bisa
kelar hidup loe ciiiing …..
FILOSOFI KOMPOSISI DI INDONESIA
Sampai disini, kita berbicara
tentang ide dan kebiasaan dari beberapa komposer akbar dan terkemuka untuk
musik SENI. Akan sangat lain ceritanya jika kita berbicara ide dan kebiasaan
dalam ranah mengarang Musik Pop misalnya. Mungkin terbersit dalam benak
pembaca, lha yang Indonesia, ada nggak ya
komposernya?
Saya dapat nukilkan sedikit
tentang komposer akbar kontemporer yang pernah kita miliki. Mas Slamet Abdul Sjukur (Alm.) Bagi Beliau,
membuat musik itu seperti masak nasi dan nggoreng
telur. Mengarang musik itu seperti menulis kesan dan pesan. Mengarang musik
itu sebagaimana kita menulis buku harian. AKAN TETAPI Mas Slamet tetap
menjalani kebiasaan sebagaimana Beethoven dan Schubert. Yakni, sebuah waktu
yang teratur dan tertentu untuk mengasah bathin dan teknik komposisi.
Demikian juga dengan Mas Sapto Rahardjo. Senantiasa ada waktu
khusus yang tetap dan teratur. Untuk dia bereksplorasi melalui komputer nya, sambil
sesekali menerawang jauh ke depan dan mengepulkan asap rokok kretek yang nyaris
tanpa henti.
PENUTUP
Sebagai penutup, saya ingin
memberi stressing point tentang apa
gunanya tahu hal-hal begini. Bahwa mengarang musik atau komposisi, bukanlah
sebuah keajaiban dan keniscayaan. Komposisi mutlak perlu dilatih. Tanpa latihan,
kita hanya akan jadi komposer tukang jiplak.
Bahwa komposisi perlu ide. Dan
ide bisa datang dari kebiasaan. Dan bahwa kebiasaan perlu stimulus. Masalahnya,
komposer itu manusia yang kadang bisa sangat unpredictable. Habituality
nya bisa sangat aneh. Makanya jadilah selektif dalam memilih musik, terutama
untuk anak-anak. Dan pahamilah bahwa musik, meski salah nggak bikin orang mati, bukan lah dagangan ecek-ecek yang bisa
seenaknya dipandang dengan satu mata.
No comments:
Post a Comment
Note: only a member of this blog may post a comment.