“KALA BUNYI MERAMBAT”
By: Michael Gunadi Widjaja
Audiopro, January 2017
Terlebih dahulu perlu sedikit
dipahami bahwa BUNYI, dalam ranah bacaan audio, memiliki sifat dapat MERAMBAT (PROPAGATE) dan bukan mengalir. Pengertian ini, bukan perkara
semantik belaka. Namun juga angat berpengaruh pada tinjauan bunyi secara fisik.
Jadi jelas, bahwa bunyi adalah perwujudan GELOMBANG
dan melakukan gerakan dengan cara MERAMBAT yang tentu menjadi berbeda dengan
sifat air yang MENGALIR.
Lingkup paparan ini adalah
tentang apa yang terjadi saat bunyi merambat. Hal ini menjadi layak ditengok, sehubungan
dengan interaksi hasil reproduksi bunyi terhadap ruang dimana bunyi itu
dihadirkan. Zaman sekarang ini sudah ada DIGITAL AUDIO WORKSTATION (DAW).
Dalam tiap DAW, bahkan yang
paling sederhana sekalipun, terdapat apa yang dinamakan DIGITAL SIGNAL PROCESSOR (DSP). DSP
ini, dari namanya, jelas sebuah piranti pemroses signal bunyi secara digital. Apa
yang diproses? Interaksi signal bunyi, yang adalah gelombang terhadap ruang. DSP
yang canggih malahan dapat membuat simulasi sebuah ruang, sampai pada keadaan
yang hanya dapat dibayangkan atau Imaginary
Scenary Space.
Menjadi menarik untuk kemudian
mencermati pertanyaan sebagai berikut: “Lhoooo … Kalo sudah ada DSP, ngapain sih
kita pusing dan ribet nengok bunyi merambat? ‘Kan tinggal setel DSP nya kelar
lah!” Persoalannya adalah
begini. Memang sangat betul dan benar jika DSP memiliki kecanggihan tak
terbayangkan. Namun bagaimanapun canggihnya hasil proses DSP, final result atau hasil akhirnya akan
selalu hadir dan sampai ke telinga pendengar, yang mutlak berada dalam sebuah
RUANG. Apapun keadaan ruang tersebut.
Jadi pengetahuan tentang apa yang
terjadi kala atau saat bunyi merambat, dalam esensinya adalah optimalisasi dari
DSP. Ditambah lagi, meskipun DSP itu sangat canggih, dalam batas tertentu, misalnya
untuk memenuhi keinginan pemusik akan nuansa bunyi tertentu, mutlak perlu
dilakukan penyesuaian. Nah penyesuaian semacam ini jelas menuntut adanya
pengetahuan tentang perambatan bunyi.
Sebelum kita menelisik lebih
lanjut, ada baiknya kita ingat sedikit mengenai bunyi sebagai gelombang. Dalam
gambar sangat jelas dapat dilihat, mana yang disebut sebagai panjang gelombang
atau WAVELENGHT.
Dan berikut adalah perbandingan sederhana antara gelombang yang dihasilkan
bunyi berfrekuensi rendah dan tinggi.
Nampak dalam gambar bahwa panjang
gelombang bunyi frekuensi rendah, LEBIH PANJANG dibanding bunyi ber-frekuensi
tinggi.
PERAMBATAN GELOMBANG
Secara Fisika, gelombang merambat dengan 4 cara. Dan dalam tiap-tiap
cara, akan terjadi hal-hal yang signifikan bagi reproduksi audio.
A. REFLECTION
Dipadankan dalam bahasa Indonesia
sebagai PEMANTULAN.
Secara Fisika, dikatakan: Bunyi
akan dipantulkan jika bersentuhan dengan obyek, yang secara fisika, besar
obyeknya SAMA ATAU LEBIH BESAR DARI PANJANG GELOMBANG BUNYI.
Untuk bunyi dengan Frekuensi
rendah, diperlukan obyek yang relatif besar untuk dapat memantulkannya. Sementara
untuk bunyi dengan Frekuensi tinggi, obyek yang sama dan lebih besar dari
panjang gelombangnya, akan memantulkannya.
Bunyi hasil pantulan akan
memiliki KARAKTER yang berbeda dengan bunyi asalnya. Dalam situasi nyata, Frekuensi
dari bunyi asal, TIDAK PERNAH dipantulkan secara sama. Hal ini menimbulkan
gejala, apa yang kita kenal sebagai ECHO, REVERBERATION, dan STANDING
WAVES.
ECHO terjadi manakala bunyi hasil pantulan mengalami DELAY
atau waktu tunda. Delay tersebut terjadi sehubungan dengan jarak bidang pantul
terhadap telingan pendengar. Dalam fenomena ECHO, bunyi yang dicecap telinga
pendengar AKAN SELALU berupa pengulangan bunyi asal.
Jika Echo ini tidak
berhenti, meski bunyi asalnya sudah stop, keadaannya dinamakan sebagai REVERBERATION. Fenomena STANDING WAVES hanya terjadi pada frekuensi
tertentu saja. Terjadi saat bunyi merambat diantara DUA DINDING YANG BERDIRI SECARA
PARALEL.
Jika JARAK ANTARA DUA DINDING
PARALEL = ½ KELIPATAN PANJANG GELOMBANG BUNYI ASAL, MAKA BUNYI ASAL + BUNYI
PANTULAN AKAN SALING MENGUATKAN.
Hal ini sangat rentan dihadapi para Sound Engineer, khususnya jika bertalian
dengan bunyi ber-frekuensi rendah. Karena panjang gelombangnya relatif besar, jadi
kemungkinan saling menguatkan itu malahan akan mengakibatkan hal yang
mengganggu.
B. ABSORPTION
Dipadankan ke dalam bahasa
Indonesia sebagai PENYERAPAN. Absorpsi bergantung pula pada panjang gelombang
bunyi.
Material seperti KARPET, LANGIT-LANGIT
YANG TELAH DIDESAIN SECARA AKUSTIK, melakukan penyerapan terhadap bunyi dengan
Frekuenasi tinggi. Sedangkan material seperti TIRAI, FURNITURE menyerap yang
sekaligus juga melemahkan bunyi pada frekuensi rendah.
Pengetahuan akan material yang
dapat menyerap rambatan gelombang bunyi, sangat berguna bagi pengkondisian
ruang tempat reproduksi bunyi dihadirkan. Dalam hal ini material pengabsorpsi
atau absorben, dipakai juga untuk menanggulangi fenomena Reverberation (lihat
di atas).
Kehadiran sejumlah tertentu
manusia yang berbusana, menurut beberapa literatur Sound Engineering, mampu
menyerap bunyi pada rentang Frekuensi MIDDLE DAN HIGH. Itulah mengapa, sound
installment senantiasa harus memperhitungkan densitas atau kepadatan akan
hadirnya manusia yang berbusana.
C. DIFFRACTION
Fenomena ini terjadi manakala
rambatan gelombang bunyi dibengkokkan akibat adanya celah pada hambatan.
Pembengkokan ini akan terjadi
jika celah pada hambatan LEBIH KECIL dari panjang gelombang bunyi. Bunyi
Frekuensi rendah memiliki panjang gelombang relatif besar, sehingga jelas jika
melewati celah hambatan akan dibengkokkan. Sedangkan gelombang bunyi dengan frekuensi
tinggi, akan melaju secara simple.
Persoalannya, seringkali manifestasi
pembengkokan bunyi frekuensi rendah, berlangsung pada arah yang omni directional. Pengetahuan tentang
Diffraction sangat diperlukan pada sound
installment gedung konser berskala besar. Bagaimana desain arsitektural
gedung konser besar, mengingat harus ada balkon, perbedaan ketinggian kelas
tempat duduk hadirin. Jadi mutlak perlu dirancang, dimana celah harus
ditempatkan agar Diffraction rambatan bunyi menghasilkan keuntungan berupa
masih dapat mendengarnya, menonton pada posisi duduk yang kurang strategis.
D. REFRACTION
Fenomena ini pada prinsipnya
adalah pembengkokan gelombang rambatan bunyi, akibat perbedaan kepadatan atau densitas
dalam lingkungan ruang. Refraction adalah fenomena yang harus dihadapi manakala
dilakukan reproduksi bunyi pada situasi OUTDOOR.
Dalam ilustrasi elas nampak
bagaimana pengaruh suhu udara, yang adalah faktor densitas lingkungan ruang, terhadap
cepat rambat bunyi. Seyogyanya situasi outdoor memperhitungkan letak panggung
terhadap densitas udara dan angin. Atupun jika keadaan memaksa, seorang sound
engineer dituntut mampu melakukan adjustment
pada beberapa parameter yang krusial.
Sy izin ngambil gambar ografikr gif dr efek suara. THANK YOU
ReplyDeleteSy izin ngambil gambar ografikr gif dr efek suara. THANK YOU
ReplyDelete