Thursday, 7 April 2016

JAZZ ITU BIRU - by: Michael Gunadi Widjaja (Staccato, April 2016)

"JAZZ ITU BIRU"
by: Michael Gunadi Widjaja
Staccato, April 2016


MAKNA WARNA BIRU
Warna BIRU, dalam psikologi warna, dimaknai sebagai ungkapan: kedalaman dan kesetimbangan. Warna biru juga dipertautkan dengan hal rasa percaya, kesetiaan, kebijaksanaan, pengabdian tanpa pamrih, iman, kebenaran, dan nuansa Surgawi. Terlepas dari nilai subyektifitas yang tentu sangat kental mewarnainya, ada satu hal yang tak dapat dipungkiri: sejuk! Jika Anda manusia normal dan masih dalam kondisi sehat rohani, Anda pasti akan merasakan dan berujar, bahwa biru adalah sejuk dan menenangkan.

Jadi jika ada ungkapan semacam: biru nya rinduku. Hmm ... mungkin maksudnya adalah kerinduan tulus, namun tidak mengumbar napsu secara liar. Kemudian bagaimana jika ada sebuah lembaga atau badan atau sebuah usaha yang melabelkan biru? Tentu. Dan ini sangat jelas. Harapannya adalah agar badan usaha tersebut sedikit banyak akan “berpola tingkah” seperti makna filosofis biru.

Denny Bensusan

THE BLUE NOTE
Dalam ranah Musik Jazz, biru bukan hanya sebuah label. Biru bukan hanya warna yang jika dipandang memberi kesejukan. Dalam Jazz, biru adalah sebuah fenomena. Bahkan tak berlebihan, jika dikatakan bahwa JAZZ ITU BIRU. Kisahnya diawali pada 30 September 1981. Danny Bensusan mendirikan kafe, resto, dan club di 131 West 3rd Street di kawasan Greenwich Village, kota New York. Nama kafe, club, serta restorannya adalah BLUE NOTE.

 
HERBIE HANCOCK "CANTALOUPE ISLAND" at BLUE NOTE 


Yang mendasari seorang Bensusan mendirikan Blue Note atau Bluenote Jazz Club and Cafe, adalah sebuah pemikiran yang bunyinya begini: "That if he brought big acts into a comfortable environment with great food, he could pack the house night after night." Saat grand opening, tampil Nat Adderly Quintet. Kemudian para megastar Jazz silih berganti mengisi panggung Blue Note, diantaranya: Dizzy Gillespie, Sarah Vaughan, Lionel Hampton, Oscar Peterson and The Modern Jazz Quartet. Salah satu pertunjukan paling fenomenal adalah ketika penyanyi tuna netra, Ray Charles dikontrak untuk show selama seminggu berturut-turut.


MAKNA KEHADIRAN BLUE NOTE
Menjadi menarik untuk memaknai kehadiran Blue Note dalam blantika Musik Jazz semesta. Apa sebetulnya makna yang tersirat di baliknya.Yang pertama adalah, bahwa Blue Note hadir tatkala Musik Jazz telah mati. Esensi Jazz sebagai musik yang membawakan protes sosial bagi kaum marjinal, praktis telah sirna dan mati. Sebagai akibat dari politisasi kebudayaan yang dilancarkan segolongan kaum elite Amerika yang sangat mapan dan sangat alergi terhadap protes sosial (lihat “POLITIJES,” Staccato edisi Februari 2016).

Kehadiran Blue Note adalah sebuah revitalisasi. Upaya “menghidupkan kembali” sendi-sendi esensial Musik Jazz. Tentu saja hal yang esensial seperti protes sosial dan rasial tidak dimungkinkan untuk hadir kembali. Namun suasana dan lingkungan yang “asli” Jazz tetap bisa dihadirkan. Di Blue Note, orang dapat menikmati Musik Jazz. Dengan lingkungan yang sungguh Jazz, dimana orang dapat bebas berceloteh, memberikan applause, dan bahkan ikut bergoyang. Adakalanya celotehannya menyerempet ke hal-hal yang berbau “natural sex, tentu dalam ukuran kewajaran budaya Amerika. Jazz adalah musik komunal. Kehadirannya senada dan seirama dengan musik tradisional pada umumnya. Yakni memerlukan interaksi penikmatnya. Blue Note mengakomodir kebutuhan tersebut.


ANGIN SEGAR BAGI MUSISI JAZZ
Blue Note Jazz Club and Cafe adalah sebuah ordinansi kebudayaan Amerika. Sama seperti Coca Cola, Kentucky ayam goreng, dan hamburger McDonald, serta Dunkin si Donat. Sebagaimana ordinansi budaya Amerika lainnya, franchise terhadap Blue Note tersebar dan merambah berbagai negara. Termasuk di Asia. Ordinansi seperti ini sangat efektif untuk menimbulkan imbas terhadap dominasi budaya Amerika terutama di negara-negara berkembang, yang tentu mengandung beberapa resiko dan konsekuensi.

Dari segi musikalitas, kehadiran Blue Note nampaknya membawa juga beberapa keuntungan dan angin segar bagi para pemusik Jazz, juga bagi para Jazzer pemula. Jika Anda seorang pemain Musik Klasik tingkat mahir (advanced), dan Anda ingin “hijrah” ke Jazz, Anda akan mengalami hal-hal seperti ini. Secara teknis, jelas Anda dapat memainkan musiknya. Improvisasi, apabila ditulis, hmmm tentu akan merupakan sepotong roti kecil bagi anda untuk mencernanya. Namun  jika berurusan dengan FEEL dan/atau Groove? Hmmm .... ini dia persoalannya.

FEEL DAN GROOVE: ESENSI MUSIK JAZZ
Sebetulnya persoalan feel and groove adalah sebuah esensi musikalitas. Dan hal semacam itu tidak saja terjadi dalam ranah Musik Jazz. Musik Klasik pun mengalami sebuah cultural gap. Itulah sebabnya, orang harus bersusah payah sekolah di konservatori ataupun sekolah tinggi di Jerman. Bukan untuk pencapaian teknik, melainkan untuk mencecap esensi budaya Musik Klasik yang tidak bisa tidak adalah budaya, peradaban, dan gaya hidup, serta filosofi masyarakat Eropa, terutama Jerman dan Austria. Dalam ranah Jazz, situasinya bukanlah sebuah konservatori. Namun, mutlak diperlukan adanya “atmosfir” lingkungan yang sungguh-sungguh Jazz. Itu bisa diperoleh dengan terus-menerus mendengarkan dan menyaksikan rekaman audio dan video Jazz. Dan yang lebih utama, bergaul dengan kalangan Jazz dalam lingkungangannya. Blue Note menyiapkan hal tersebut.

LATAR BELAKANG PEMILIHAN NAMA BLUE NOT
Yang paling menarik barangkali adalah kenapa harus diberi nama BLUE NOTE. Kenapa tidak red note agar terlihat sangar, gahar, dan lantang? Mengapa pula bukan dan tidak dipilih yellow note? Agar kesannya seperti bersinar terang atau mungkin juga white note untuk melambangkan kemurnian cita-cita? Jawabannya: BAHWA JAZZ ITU BIRU.

ASAL MUASAL NAMA BLUE NOTE


Not yang berwarna, disebut sebagai BLUE NOTE. Atau semasa saya kuliah dulu, kami sering menyebutnya sebagai WORRIED NOTE atau Not Resah atau Not Gelisah. Sebetulnya ini adalah intinya inti dari rasa Jazz. Tanpa Blue Note, secanggih apapun feel and groovenya, musik yang dihadirkan kurang afdol disebut sebagai Jazz. Blue Note adalah not yang dinyanyikan atau dibunyikan dengan TIDAK SESUAI LARASNYA. Biasanya selalu KURANG DARI ½ laras. Sebetulnya not macam begini sudah marak dalam kesenian musik yang lebih primitif. Suku-suku di Afrika sudah menyanyikan blue note. Di Asia, termasuk Banyuwangi Jawa Timur, not “ cengkok” seperti blue note juga sudah sangat akrab.

Untuk vokal atau instrumen musik yang Meinstemmer seperti gitar, biola, alat tiup sangatlah mudah memproduksi blue note. Bagaimana dengan piano yang tidak meinstemmer? Pemain Jazz piano melakukannya dengan apa yang dalam Musik Klasik dikenal sebagai acciaccatura dan appoggiatura. Decorative note, nada yang mendekorasi. Dari ilustrasi tentang blue note dalam musik teori, menjadi jelas bahwa sebetulnya pemilihan label BLUE pada Blue Note Jazz Club and Cafe merujuk pada sesuatu yang sangat esential.


VISI MISI BLUE NOTE

Jazz is undoubtedly America's music, and while Blue Note strives to preserve the history of Jazz, the club is a place where progression and innovation - the foundations of Jazz - are encouraged and practiced on a nightly basis.

In addition to the main acts that feature the likes of Chick Corea, McCoy Tyner, Joe Lovano, John Scofield, and Chris Botti, Blue Note has introduced the Monday Night Series and the bi-weekly Late Night Groove Series to showcase New York's up-and-coming Jazz, Soul, Hip-Hop, R&B, and Funk artists.

Blue Note has been instrumental in encouraging the development of Greenwich Village's local musicians by giving them a chance to perform in one of the world's finest venues. Currently, there are two Blue Notes located in Japan and one in Milan, Italy.(sumber: website resmi Blue Note Jazz Club.)

Terbersit sebuah maksud luhur dari didirikannya Blue Note. Yakni agar Jazz tak musnah punah total dan, ini yang penting: memberi kesempatan pada musisi lokal kota New York untuk dapat berbagi dengan para megastar Jazz di sebuah panggung yang representatif. Sebuah upaya untuk melestarikan potensi kesenian bermuatan lokal. langkah semacam ini sepertinya sudah harus mulai digagas terutama oleh para pengusaha papan atas di tanah air kita. Bahwa setiap warga negara berhak mengekspresikan diri melalui kesenian. Dan kesenian harus diwadahi dengan sepatutnya. Tidak cukup misalnya dengan penyediaan gedung pertunjukan dalam sebuah Taman Budaya yang sarat dengan birokratisasi.

BLUE NOTE: A STORY OF MODERN JAZZ

Over the years, Blue Note has been an economic engine for Greenwich Village, bringing in Jazz fans from all over the world. The club receives rave reviews on a weekly basis in New York's daily newspapers such as The New York Times and in international travel guides and magazines. What makes Blue Note so special is that on a given night, anything can happen. It is not uncommon to see the likes of Stevie Wonder, Tony Bennett, Liza Minelli, and Quincy Jones get called up on stage from the audience to sit in. Blue Note gives artists the musical freedom they deserve, and Jazz fans get a chance to see the most unlikely combination of stars night after night on the Blue Note stage. After 30 years of success, Blue Note continues to carry the torch for jazz into the 21st century in the cultural heart of New York, Greenwich Village.

Hal penting lainnya adalah bahwa Blue Note menjadi sebuah mesin ekonomi bagi daerahnya. Dengan kata lain, Blue Note adalah sebuah pengembangan potensi kesenian menjadi sebuah komoditi tanpa harus latah terjerumus pada industrialisasi. Tujuan akhirnya, dikatakan sebagaimana dalam kutipan tersebut, adalah mempersembahkan Jazz di abad ke-21. Meski telah mati esensinya, Jazz dalam sisi lifestyle dan budaya harus tetap lestari. Langkah sedemikian sepertinya sudah harus mulai dikonsepkan oleh para perancang pembangunan budaya di tanah air.

No comments:

Post a Comment

Note: only a member of this blog may post a comment.