"JAZZ ITU BIRU"
by: Michael Gunadi Widjaja
Staccato, April 2016
MAKNA WARNA BIRU
Warna BIRU, dalam psikologi
warna, dimaknai sebagai ungkapan:
kedalaman dan kesetimbangan. Warna biru juga dipertautkan
dengan hal rasa percaya, kesetiaan, kebijaksanaan, pengabdian tanpa pamrih, iman, kebenaran, dan nuansa Surgawi. Terlepas dari nilai
subyektifitas yang tentu sangat kental mewarnainya, ada satu hal yang tak
dapat dipungkiri: sejuk! Jika Anda manusia normal dan masih dalam kondisi sehat rohani, Anda pasti akan merasakan
dan berujar,
bahwa biru
adalah sejuk
dan menenangkan.
Jadi jika ada
ungkapan semacam: biru nya rinduku.
Hmm ... mungkin maksudnya adalah kerinduan tulus, namun tidak mengumbar napsu secara liar.
Kemudian bagaimana jika ada sebuah lembaga atau badan
atau sebuah usaha yang melabelkan biru?
Tentu.
Dan ini sangat jelas. Harapannya adalah agar badan usaha tersebut
sedikit banyak akan “berpola tingkah” seperti makna filosofis biru.
THE BLUE NOTE
Dalam ranah Musik Jazz, biru bukan hanya sebuah label. Biru bukan hanya warna yang jika dipandang memberi kesejukan. Dalam Jazz, biru adalah sebuah
fenomena. Bahkan tak berlebihan, jika dikatakan bahwa JAZZ ITU
BIRU. Kisahnya diawali pada 30 September 1981. Danny Bensusan mendirikan kafe, resto, dan club di 131 West 3rd
Street di kawasan Greenwich Village, kota New York. Nama kafe, club,
serta restorannya adalah BLUE NOTE.
HERBIE HANCOCK "CANTALOUPE ISLAND" at BLUE NOTE
MAKNA KEHADIRAN BLUE NOTE
Menjadi menarik
untuk memaknai kehadiran Blue Note dalam blantika Musik Jazz semesta. Apa sebetulnya
makna yang tersirat di baliknya.Yang pertama adalah, bahwa Blue Note hadir tatkala Musik Jazz telah mati. Esensi Jazz sebagai musik
yang membawakan protes sosial bagi kaum marjinal, praktis telah sirna dan
mati. Sebagai akibat dari politisasi kebudayaan yang dilancarkan segolongan
kaum elite Amerika yang sangat mapan dan sangat alergi terhadap protes sosial (lihat “POLITIJES,”
Staccato edisi Februari 2016).
Kehadiran Blue
Note adalah sebuah revitalisasi. Upaya “menghidupkan kembali” sendi-sendi esensial
Musik Jazz. Tentu saja hal
yang esensial seperti protes sosial dan rasial tidak dimungkinkan untuk hadir
kembali. Namun suasana dan lingkungan yang “asli” Jazz tetap bisa dihadirkan. Di Blue Note, orang dapat
menikmati Musik
Jazz. Dengan lingkungan yang sungguh Jazz, dimana orang dapat bebas berceloteh, memberikan applause, dan bahkan ikut
bergoyang. Adakalanya celotehannya menyerempet ke hal-hal yang berbau “natural sex,” tentu dalam ukuran
kewajaran budaya Amerika. Jazz adalah musik komunal. Kehadirannya
senada dan seirama dengan musik tradisional pada umumnya. Yakni memerlukan interaksi penikmatnya. Blue Note
mengakomodir kebutuhan tersebut.
ANGIN SEGAR BAGI MUSISI JAZZ
Blue Note Jazz
Club and Cafe adalah sebuah ordinansi
kebudayaan Amerika. Sama seperti Coca Cola, Kentucky ayam goreng, dan hamburger McDonald, serta Dunkin
si Donat. Sebagaimana ordinansi budaya Amerika lainnya, franchise terhadap Blue Note tersebar dan
merambah berbagai negara. Termasuk di Asia. Ordinansi seperti ini sangat efektif untuk menimbulkan imbas terhadap
dominasi budaya Amerika terutama di negara-negara berkembang, yang tentu
mengandung beberapa resiko dan konsekuensi.
Dari segi
musikalitas, kehadiran Blue Note nampaknya membawa juga beberapa keuntungan dan angin
segar bagi para pemusik Jazz, juga bagi para Jazzer pemula. Jika Anda seorang pemain Musik Klasik tingkat mahir (advanced), dan Anda ingin “hijrah” ke
Jazz, Anda
akan mengalami hal-hal seperti ini. Secara teknis, jelas Anda dapat memainkan
musiknya. Improvisasi, apabila ditulis, hmmm tentu akan merupakan sepotong roti kecil bagi anda untuk
mencernanya. Namun jika berurusan dengan FEEL dan/atau Groove? Hmmm .... ini dia persoalannya.
FEEL DAN GROOVE: ESENSI MUSIK
JAZZ
Sebetulnya
persoalan feel and groove adalah sebuah esensi
musikalitas. Dan hal semacam itu tidak saja terjadi dalam ranah Musik Jazz. Musik Klasik pun mengalami
sebuah cultural gap. Itulah sebabnya, orang harus
bersusah payah sekolah di konservatori
ataupun sekolah tinggi di Jerman. Bukan untuk pencapaian teknik, melainkan untuk mencecap
esensi budaya Musik Klasik yang tidak bisa tidak adalah budaya, peradaban, dan gaya hidup, serta filosofi
masyarakat Eropa, terutama Jerman dan Austria. Dalam ranah Jazz, situasinya bukanlah
sebuah konservatori. Namun, mutlak diperlukan adanya “atmosfir” lingkungan yang sungguh-sungguh Jazz. Itu bisa
diperoleh dengan terus-menerus mendengarkan dan menyaksikan rekaman audio dan video Jazz. Dan yang lebih utama, bergaul dengan
kalangan Jazz dalam lingkungangannya. Blue Note menyiapkan hal tersebut.
LATAR BELAKANG PEMILIHAN NAMA
BLUE NOT
Yang paling
menarik barangkali adalah kenapa harus diberi nama BLUE NOTE. Kenapa tidak red note agar terlihat sangar, gahar, dan lantang? Mengapa pula bukan dan
tidak dipilih yellow note? Agar kesannya seperti bersinar terang atau mungkin juga white note untuk melambangkan
kemurnian cita-cita? Jawabannya: BAHWA JAZZ ITU BIRU.
ASAL MUASAL NAMA BLUE NOTE
Not yang
berwarna, disebut sebagai BLUE NOTE. Atau semasa saya
kuliah dulu, kami sering menyebutnya sebagai WORRIED
NOTE atau Not Resah atau Not Gelisah. Sebetulnya ini adalah intinya inti dari rasa Jazz. Tanpa Blue Note, secanggih apapun
feel and groovenya, musik yang dihadirkan kurang afdol disebut sebagai Jazz. Blue Note adalah
not yang dinyanyikan atau dibunyikan dengan TIDAK SESUAI LARASNYA. Biasanya selalu
KURANG DARI ½ laras. Sebetulnya not macam begini sudah marak dalam kesenian musik yang lebih primitif. Suku-suku di
Afrika sudah menyanyikan blue note. Di Asia, termasuk Banyuwangi Jawa Timur, not “ cengkok”
seperti blue note juga sudah sangat akrab.
Untuk vokal atau
instrumen musik yang Meinstemmer seperti gitar, biola, alat tiup
sangatlah mudah memproduksi blue note. Bagaimana dengan piano yang tidak meinstemmer?
Pemain Jazz piano melakukannya dengan apa yang dalam Musik Klasik dikenal sebagai acciaccatura dan appoggiatura. Decorative note, nada yang
mendekorasi. Dari ilustrasi tentang blue note dalam musik teori, menjadi jelas
bahwa sebetulnya pemilihan label BLUE pada Blue Note Jazz Club and Cafe merujuk
pada sesuatu yang sangat esential.
VISI MISI BLUE NOTE
“Jazz is
undoubtedly America's music, and while Blue Note strives to preserve the
history of Jazz, the club is a place
where progression and innovation - the foundations of Jazz - are encouraged and practiced on a nightly basis.
In addition to the main acts that feature the likes of
Chick Corea, McCoy Tyner, Joe Lovano, John Scofield, and Chris Botti, Blue Note
has introduced the Monday Night Series and the bi-weekly Late Night Groove
Series to showcase New York's up-and-coming Jazz, Soul, Hip-Hop, R&B, and Funk artists.
Blue Note has been instrumental in encouraging the
development of Greenwich Village's local musicians by giving them a chance to
perform in one of the world's finest venues. Currently, there are two Blue
Notes located in Japan and one in Milan, Italy.” (sumber: website resmi Blue Note Jazz Club.)
Terbersit sebuah
maksud luhur dari didirikannya Blue Note. Yakni agar Jazz
tak musnah punah total dan, ini yang penting: memberi
kesempatan pada musisi lokal kota New York untuk dapat berbagi dengan para
megastar Jazz di sebuah panggung yang representatif. Sebuah upaya
untuk melestarikan potensi kesenian
bermuatan lokal. langkah semacam ini sepertinya sudah harus mulai digagas terutama oleh
para pengusaha papan atas di tanah air kita. Bahwa setiap warga negara berhak
mengekspresikan diri melalui kesenian. Dan kesenian harus diwadahi dengan sepatutnya. Tidak cukup
misalnya dengan penyediaan gedung pertunjukan dalam sebuah Taman Budaya yang
sarat dengan birokratisasi.
BLUE NOTE: A STORY OF MODERN JAZZ
Over the years, Blue Note has been an economic engine for
Greenwich Village, bringing in Jazz fans from all over
the world. The club receives rave reviews on a weekly basis in New York's daily
newspapers such as The New York Times and in international travel guides and
magazines. What makes Blue Note so special is that on a given night, anything
can happen. It is not uncommon to see the likes of Stevie Wonder, Tony Bennett,
Liza Minelli, and Quincy Jones get called up on stage from the audience to sit
in. Blue Note gives artists the musical freedom they deserve, and Jazz fans get a chance to see the most unlikely combination of stars
night after night on the Blue Note stage. After
30 years of success, Blue Note continues to carry the torch for jazz into the
21st century in the cultural heart of New York, Greenwich Village.
Hal penting
lainnya adalah bahwa Blue Note menjadi sebuah mesin ekonomi bagi daerahnya. Dengan kata lain, Blue Note adalah sebuah
pengembangan potensi kesenian menjadi sebuah komoditi tanpa harus latah terjerumus pada industrialisasi. Tujuan akhirnya, dikatakan
sebagaimana dalam kutipan tersebut, adalah mempersembahkan
Jazz di abad ke-21. Meski telah mati esensinya, Jazz dalam sisi lifestyle dan budaya harus tetap lestari. Langkah
sedemikian sepertinya sudah harus mulai dikonsepkan oleh para perancang
pembangunan budaya di tanah air.
No comments:
Post a Comment
Note: only a member of this blog may post a comment.