OTAK MUSISI JAZZ:
"JAZZ AMAZING!"
by: Michael Gunadi Widjaja
Staccato, May 2016
FENOMENA EFEK MOZART
Ketika EFEK
MOZART diperkenalkan, dunia tercengang. Saat itu diyakini bahwa memang ada keterkaitan perkembangan otak janin
yang baik ketika diberi asupan musik-musik karya Wolfgang Amadeus Mozart, yang tentu saja
telah diseleksi terlebih dahulu. Belakangan efek Mozart ini mulai menuai kontroversi. Ada yang melakukan
sanggahan, bahkan
ada yang mengkait-kaitkan dengan sekte aliran kepercayaan yang sesat, dan malahan dituduh
sebagai propaganda agama tertentu.
BLACK BOX MECHANISM
EFEK MOZART
memang harus diakui, bekerja dengan sistem BLACK BOX MECHANISM. Black Box
Mechanism ini kerap kita jumpai dalam dunia kedokteran. Misalnya saat kita
mengkonsumsi obat, KITA DAN BAHKAN SI DOKTER SENDIRI PUN TIDAK PERNAH TAHU JALANNYA SI OBAT
SECARA DETAIL.Yang ditengarai dokter adalah RESULT ATAU HASIL AKHIR DAN EFEK
SAMPINGNYA. Tapi
rincian KASAT MATA nya tidak pernah diketahui. Itulah Black Box
Mechanism. Efek Mozart pun demikian. Dunia tidak pernah melihat dengan kasat mata
bagaimana melodi-melodi, harmoni, dan ritme karya Mozart bisa membuat pertumbuhan otak janin secara lebih
prima.
Sampai disini, dunia dan tentu saja
kita, menjadi terselimuti oleh teka-teki. Pertanyaan besar dalam
ranah musik: APAKAH MEMANG BENAR MUSIK
BERPENGARUH TERHADAP PERKEMBANGAN OTAK? Jikapun YA, apakah pengaruhnya BISA
DILIHAT SECARA KASAT MATA? Simak jawabannya dalam artikel kali ini!
Kita akan mulai
penelusuran dan penelisikan kita dengan sajian Musik JAZZ. Sebetulnya, apa sih yang
dinikmati penggemar Jazz? DIALOG!!! Saat pemusik Jazz melakukan improvisasi, mereka ber-DIALOG. Secara musikal, secara teknis, dan tentu saja secara artistik. Lho ... Lha ... kalo memang itu sebuah dialog, ‘kan mestinya di otak si pemusik Jazz sudah ada dong,
apa yang dia mau dialog kan? Meski cuma sepersekian detik, pastilah otak
mempersiapkannya. So,
dengan demikian logikanya apa yang terjadi
di otak para pemain Jazz ketika mereka berimprovisasi?
PENELITIAN PADA OTAK MUSISI JAZZ
Mari kita
terbang ke BALTIMORE, AMERIKA SERIKAT. Kita menuju ke FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS
JOHN HOPKINS. Apa yang dilakukan di sana? Ternyata, para peneliti di Universitas tersebut
TELAH MENEMUKAN fakta nyata, bahwa otak menafsirkan musik dan bahasa tutur DENGAN CARA YANG SAMA. Fakta tersebut
didapatkan dengan melakukan scanning terhadap otak dari para pemusik Jazz yang
sedang melakukan improvisasi.
Pimpinan
penelitian adalah Dokter CHARLES LIMB. Beliau memplubikasikan hasil penelitiannya di
Jurnal kedokteran PLOS ONE.
Sebuah Jurnal yang sangat bergengsi setelah JAMA (Journal of the American Medical Ascociation).
Berikut ini saya sarikan perjalanan penelitian yang saya ringkas dan paparkan dengan terjemahan bebas dari jurnal PLOS ONE. Dipilih 11 pemain Jazz piano yang sangat mumpuni. Semuanya laki-laki dan berusia antara 25 hingga 26 tahun. Tiap-tiap pemusik menghabiskan waktu 10 menit dalam kubah MRI sembari memainkan keyboard. Perlu saya tambahkan. Sesuai dengan yang saya lihat dalam gambar di Jurnalnya, keyboard yang dipakai seluruhnya berbahan plastik tanpa metal agar magnet dalam mesin MRI tak terimbas pengaruh metal. Kemudian kubah MRI dilengkapi cermin, agar si pemusik dapat melihat jari-jemarinya saat menekan tuts keyboard.
Saya kutip saja
pernyataan Dr Charles Limb tentang pembacaan dan penafsiran gambar hasil MRI:
While
improvising - the areas of the musicians' brains linked to syntax and language
processing were activated. These areas are called "the inferior frontal
gyrus" and "the posterior superior temporal gyrus."
Interestingly, "the angular gyrus" and "the
supra marginal gyrus" - areas of the brain involved in semantic processing
- became deactivated during the improvisation sessions.
Brain interprets music as syntax rather than semantic.
Saya akan
terjemahkan kutipan tersebut, dalam batasan menjembatani antara pengertian
kedokteran dan musikal, sebagai berikut: ketika sedang berimprovisasi, area otak dari para pemusik yang terhubung dengan
syntax dan pemrosesan bahasa nampak teraktivasi. Area-area tersebut diistilahkan sebagai gyrus
bagian depan bawah dan gyrus bagian ujung tepi atas. Hal yang menarik adalah, sementara kedua
gyrus teraktivasi,bagian angular gyrus dan supra marginal gyrus, yang lazim
dilibatkan dalam proses semantik, malahan non aktif selama improvisasi berlangsung. Jadi rupanya, otak menafsir
musik lebih sebagai sintaksis daripada semantik (pengkalimatan verbal).
Lebih lanjut, Dr. Charles Limb mengemukakan:
This suggests that the regions of the brain responsible
for processing syntax are not just limited to spoken language. Instead, Dr.
Limb argues, the brain uses its syntactic regions to process communication in
general - whether that communication is through spoken language or music.
Disinyalir bahwa
area otak yang bertanggung jawab atas proses syntax, tak terbatas hanya kepada
bahasa tutur. Namun Dr.
Limb berargumen, otak menggunakan area syntax nya untuk memproses komunikasi secara
umum, yakni
komunikasi verbal maupun musik.
"We've shown in this study that there is a
fundamental difference between how meaning is processed by the brain for music
and language," says Dr. Limb, who is a keen musician himself.
"Specifically, it's syntactic and not semantic processing that is key to
this type of musical communication. Meanwhile, conventional notions of
semantics may not apply to musical processing by the brain."
Kami telah
menunjukkan dalam studi ini bahwa terdapat perbedaan yang mendasar antara
bagaimana sebuah “makna” diproses oleh otak maupun bahasa. Demikian ujar Dr. Limb yang juga adalah
seorang pemusik.
RESPON OTAK YANG SANGAT CEPAT
DALAM BERIMPROVISASI
Dari riset ini ada hal yang
sangat menarik, bahwa memang bisa jadi perkembangan otak, terutama dalam fase
janin, yang dikatalis
oleh musik. Namun yang jelas, bahwa otak memperlakukan musik secara khusus. Musik tidak ditengarai
oleh otak sebagai teka-teki makna. Melainkan adalah sebuah alur komunikasi. Yang meskipun
tidak ditafsir verbal, tetap merupakan sebuah “BAHASA”.
Penelitian yang
dilakukan Dr Charles Limb,
setidaknya memberi sebuah fakta nyata bahwa ada aktifitas
otak yang nyata bekerja ketika pemusik Jazz berimprovisasi. Namun yang perlu
ditekankan adalah, bahwa meski otak menunjukkan aktifitas resapan syntax, TIDAK BERARTI
bahwa ketika berimprovisasi seorang pemusik Jazz memikirkan satu demi satu nada
dan bunyi yabg akan dia mainkan.
Professor Ethan Hein, seorang music
paedagog dari New York mengatakan, bahwa rangsang dan reaksi otak tidak cukup cepat untuk melakukan trigger saat
seorang musisi jazz berimprovisasi. Musisi Jazz sepanjang
karirnya mempelajari berbagai macam scale, akor, progresi akor, harmoni, dan bentuk musik. Materi tersebut
mengendap dalam otak dan saat bagian otak beraktivitas, dengan menafsir rangsang
musikal sebagai syntax, endapan materi ini diluncurkan bagai torpedo kapal selam.
Pendapat
Professor Ethan Hein ini, diperkuat oleh beberapa praktisi Jazz. Saat pertama kali saya
belajar Jazz improvisasi pada Almarhum Jack Lesmana, beliau berkata begini: “Michael...
ehm, nada-nada
dalam sebuah komposisi musik bisa lahir dalam hitungan menit, jam, hari, bulan, dan bahkan tahunan ya
Michael. Tapi kalau kita bicara improvisasi, nada-nada saat kita berimprovisasi, lahir hanya dalam
hitungan sepersekian detik saja...”
Jadi dengan
demikian, sebetulnya perlu ada semacam adjustment. Penyesuaian. Adjustment dalam ranah otak Jazz. Agar senantiasa bisa dengan cepat terjadi take and
trigger. Antara bagian otak yang mencecap dan menafsir nada musikal sebagai
syntax, dengan bagian otak yang akan merespon dengan meluncurkan endapan materi
musikal. Secara tradisional,
upaya take and trigger dilakukan dengan LATIHAN DAN SEBANYAK MUNGKIN MENDENGARKAN MUSIK JAZZ. Musik JAZZ saja dan bukan yang lain. Ingat bahwa otak mencecap
nada musikal sebagai syntax,
tidak seperti mencecap kalimat verbal. Jika musik yang
didengarkan jenisnya berbeda-beda maka dapat dipastikan, cecapan syntax akan tidak
sepenuhnya Jazz.
BLUES, IMPROVISATION & SWING
Upaya
sinkronisasi kerja otak dalam bermain Jazz, semestinya bukanlah
sebuah latihan dan mendengar dengan tanpa kerangka. Ada baiknya kita tilik
sejenak dua quotes dari seorang Wynton
Marsalis. Beliau adalah seorang trompetis Jazz yang menjadi legenda. Bahkan beliau adalah satu
dari sedikit orang, yang dapat memainkan Musik Klasik dan Jazz dengan
kualitas yang sama bagusnya.
“The main three components are the BLUES, IMPROVISATION - which is
some kind of element that people are trying to make it up - and SWING, which means even
though they're making up music, they're trying to make it up together. It feels
great, like you're having a great conversation with somebody.”
Bahwa terdapat
tiga komponen utama dalam Jazz, yakni:
- BLUES sebagai akar budayanya.
- IMPROVISASI, yakni komponen yang diupayakan pemusik untuk dikreasikan.
- SWING yang merupakan “rasa” dari Jazz.
Ketiganya harus
terpadu dan mengalir layaknya sebuah percakapan.
Dari sini jelas bahwa improvisasi
bukanlah kerja otak yang diperas untuk memunculkan nada secara spontan. Namun, improvisasi
adalah kerja otak dalam sebuah ranah keteraturan. Ada koridor nya. Ada batasannya. Meski batasan itu
bukan berupa dogmatis yang kaku dan mengikat ketat.
Improvisasi
adalah kerja otak yang dibangun dan terbangun sebagaimana layaknya dalam
bangunan percakapan. Batasannya adalah Blues sebagai akar budayanya. Akan sangat aneh
jika nada yang keluar saat improvisasi Jazz adalah nada Himne Hindu misalnya. Boleh saja
berkreasi dengan apapun. Nada Himne Hindhu misalnya, boleh saja dipakai untuk berimprovisasi, namun idiom dan
gramatiknya harus selalu bergelayut pada Blues.
Komponen ketiga
dalam quotes Wynton Marsalis adalah SWING. Yakni istilah
untuk menyebut “RASA” dalam Jazz. Kajian ini menjadi menarik, karena dalam penelitian
MRI otak Jazz oleh Dr Charles Limb, disimpulkan bahwa otak merespon alunan nada-nada
imrovisasi sebagai SYNTAX dan bukan sebagai semantik sebagaimana dalam
kalimat orang bertutur. Lalu apakah ketika otak mencecap nada-nada improvisasi sebagai syntax, dengan sendirinya
rasa swing itu juga tercecap? Jika TIDAK maka berarti harus ada stimulan lainnya yang membuat bagian
otak juga sekaligus mencecap RASA JAZZ dan bukan saja memproses alunan gelombang
nadanya.
IMPROVISASI DALAM JAZZ BUKAN INSTINGTIF
ATAU KEBETULAN!
Penelitian
tentang kerja otak saat orang berimprovisasi dalam Jazz, menorehkan sebuah fakta
ilmu pengetahuan. Bahwa musik, khususnya Jazz bukanlah perkara instingtif atau perasaan MANA SUKA
belaka. Ada kegiatan dalam otak yang mengatur, berproses secara terus –
menerus. Namun sepertinya, selain secara ilmu pengetahuan didapat fakta, ada hal yang lebih
esensial ketika orang berimprovisasi dalam Musik Jazz.
ESENSI JAZZ: BODY, MIND &
SOUL
Berikut satu lagi
quotes dari Wynton Marsalis:
“Through improvisation, Jazz teaches you about
yourself.
And through swing, it teaches you that other people are individuals too.
It teaches you how to coordinate with them.”
And through swing, it teaches you that other people are individuals too.
It teaches you how to coordinate with them.”
Lebih utama dari
paparan faktual science adalah:
melalui improvisasi, Jazz mengajarkan jati diri pada dan bagi kita.
Dan RASA Swing nya adalah bangunan dialog
yang mengajarkan pada kita sikap toleransi yang dialogis.
melalui improvisasi, Jazz mengajarkan jati diri pada dan bagi kita.
Dan RASA Swing nya adalah bangunan dialog
yang mengajarkan pada kita sikap toleransi yang dialogis.
No comments:
Post a Comment
Note: only a member of this blog may post a comment.