Monday, 25 January 2016

LOMBA GITAR KLASIK: "FENOMENA BOTOL KOSONG" - by: Michael Gunadi

LOMBA GITAR KLASIK: 
"FENOMENA BOTOL KOSONG"
by: Michael Gunadi Widjaja



Untuk hal seperti main piano, menyanyi, main gitar, menari, dalam Bahasa Indonesia diistilahkan sebagai PERLOMBAAN dan BUKAN PERTANDINGAN. Jadi rupanya, secara semantik hal-hal yang “berbau” seni dimaknai lebih sebagai pergulatan ide kreatif daripada ajang adu otot yang berkeringat. Dalam ranah gitar klasik, dikenal dua macam ajang perlombaan: KOMPETISI dan/atau FESTIVAL. Mohon perhatikan “dan/atau“! Mengapa?

PERBEDAAN FESTIVAL DAN KOMPETISI
Orang sering salah kaprah menganggap bahwa sebuah festival sama dengan sebuah kompetisi. Anggapan tersebut sah saja adanya, meski mengundang cibiran: “Ah, apa pula pedulinya? Toh kan hanya istilah saja!” Sebuah FESTIVAL dalam esensinya adalah perhelatan PESTA. Jadi sebuah festival TIDAK PERNAH HANYA MENYUGUHKAN SATU MATA ACARA SAJA. Dalam ranah gitar klasik, sebuah festival lazim memiliki mata rantai acara: pameran gitar, masterclass, konser artis, workshop teknik pembuatan gitar, jualan buku dan/atau media rekaman, dan PERLOMBAAN. Sementara sebuah KOMPETISI, murni hanya menyuguhkan sesi lomba semata. Jika dalam kompetisi ada mata acara lain, maka itu adalah sebuah festival.

Di dunia ini sebetulnya dikenal berbagai macam festival dan/atau kompetisi gitar klasik. Beberapa diantaranya malah menjadi semacam legenda dan kulminasi prestisius bagi pemain gitar. Sebut saja misalnya PARKENING GUITAR EVENT yang hadiah pertama nya sangat menggiurkan. Juga GUITAR FOUNDATION OF AMERICA yang juaranya selalu disanjung-sanjung sebagai manusia sakti sebagaimana seorang pianis yang memenangkan Chopin Piano Competition. Juga festival gitar dalam seri ALTAMIRA yang wow keren dan mahal karena menampilkan “parade” artis gitar klasik dalam konser dan sesi masterclass nya.

Wednesday, 6 January 2016

JAZZ IS DEAD!!! - by: Michael Gunadi Widjaja (Staccato, January 2016)

"JAZZ IS DEAD!!!"
by: Michael Gunadi Widjaja
Staccato, January 2016



NAMA BAND ASAL AMERIKA
“Jazz is Dead” sebetulnya adalah nama sebuah band di Amerika Serikat. Band ini unik karena mengusung lagu Pop yang “abadi” dan dimainkan dalam cita rasa dan nuansa Jazz. Misi sebenarnya dari band ini adalah sebuah parodi, sebuah sindiran, bahwa Jazz telah “mati,” sehingga harus mengusung lagu-lagu yang aslinya sama sekali tidak Jazz. Menjadi menarik, ketika ternyata Jazz is Dead bukan hanya sebuah nama Band. Namun sebuah fenomena. Fenomena yang menunjukkan pada kita bahwa Musik Jazz benar-benar telah mati atau mati suri, atau sekarat.


KRISIS DI AMERIKA
Berawal pada tahun 2008 di Amerika Serikat. Sebuah pusat pendidikan Musik Jazz, INTERNATIONAL ASSOCIATION OF JAZZ EDUCATOR (IAJE), kala itu mengumumkan bahwa lembaga ini mengalami kebangkrutan. Yang menjadi kambing hitam adalah posisi tawar Dollar Amerika (USD) yang sangat lemah. Langkah itu mempunyai efek domino yang sangat mengejutkan. Serentak Festival Jazz di pantai timur dan pantai barat USA batal terselenggara. Radio-radio dan televisi swasta pun malas menyiarkan Jazz, karena dianggap sudah tidak layak jual. Jurnal-jurnal dan publikasi tentang Jazz juga mendadak berhenti atau terhenti. Benar-benar sebuah keadaan MATI. Fenomena demikian masih berlanjut hingga hari ini.

"GORENGAN GITAR" - by: Michael Gunadi Widjaja (Staccato, January 2016)

"GORENGAN GITAR"
by: Michael Gunadi Widjaja
Staccato, January 2016



GITAR KLASIK: MURAH, TAPI TIDAK MURAHAN
Gitar klasik sering dianggap sebagai alat musik yang murah meriah. Tentu saja anggapan ini sangat benar, jika gitar klasik diperbandingkan dengan piano. Untuk piano upright dengan kelas “lumayan” orang harus mengeluarkan uang lebih dari 20 juta rupiah. Sedangkan untuk gitar klasik, hmmm… cukup dengan merogoh dompet 1 juta rupiah saja kita sudah dapat membawa pulang gitar klasik dengan mutu baik.

Meskipun demikian, sebetulnya persoalannya tidaklah sesederhana itu. Pada tingkat siswa, bisa jadi kebutuhan kita terakomodir dengan gitar seharga 1 sampai dengan 2 juta rupiah. Namun bagaimana jika kita telah belajar gitar klasik lebih dari dua tahun? Apakah kita masih bertahan dengan gitar pertama kita? Ada beberapa hal yang sudah saatnya dicermati di seputar instrumen gitar klasik. Tujuannya agar para siswa, para siswa lanjutan dan mahir serta para guru dan peminat gitar, paham secara obyektif. Bahwa sampai sejauh mana “nilai” material sebuah gitar klasik.



Friday, 1 January 2016

"AKANKAH ASA ITU PUPUS?" - by: Michael Gunadi Widjaja

"AKANKAH ASA ITU PUPUS?"
by: Michael Gunadi Widjaja


Asa acapkali digantung setinggi bintang.
Dicari dengan angan yang ngungun.
Manusia nampaknya memerlukan sebuah harapan dan sikap berpengharapan.

Anak, sering kali diperlakukan sebagai insan yang menjadi tumpuan asa.
Pada anaklah asa diberi warna sebagai sikap taqwa, hormat
(dalam berbagai rupa dan tuntutan)
kepada orang tua dan pihak yang dalam pandangan si orang tua layak dihormati.

Menjunjung tinggi semangat ini itu
dan menjadi manusia yang berbudaya dan bersikap halus 
(entah sehalus apa?)

MUSIK BERBALUT TEKNOLOGI
Manusia telah mengenal teknologi. Dengan teknologi itulah dirinya mengetahui dan ada kalanya menjadi tahu. Bahwa asa yang digantungkan pada anak, bisa digapai, salah satunya adalah dengan PENDIDIKAN MUSIK. Tentu musik yang melalui slogan berbalut teknologi, dikatakan BAIK. Dalam kenyataannya, teknologi menyodorkan iklan dan slogan ataupun apapun namanya, tak lepas dan tak lekang dari kedigdayaan sebuah bangsa yang mendominasinya. Jadi jelas, bahwa sejauh yang biasa ditengarai dari produk teknologi, terutama digital, musik yang baik adalah yang sekultur dengan penguasanya.

Tentu hasil akhir cerapannya bukanlah Musik Tradisional lokal. Karena si dominator dan/atau penguasa teknologi kurang “kapitalis,” jika mengedepankan hal semacam itu. Juga bukan Musik Dang Dut, karena si orang tua khawatir anaknya akan bernasib seperti para babu dan tukang-tukang. Musik Pop? Tidak juga. Karena supir pribadinya fasih melantunkan musik yang Pop dan memang sedang Pop(ular). Pilihan kemudian dijatuhkan pada MUSIK KLASIK. Nampak ada sebuah fase penting. Bahwa Musik Klasik di tanah air, dalam hubungannya dengan asa pada anak, dipilih dan terpilih bukan karena para orang tua yakin akan “kebaikan” si Musik Klasik.