Sebetulnya, sebelum membaca artikel ini, sangat disarankan agar Anda tidak menjadi sok moralis. Tidak menjadi sosok yang belagu dan gagahan untuk bersikap selalu optimis. Saya pribadi memiliki prinsip, dan tentu ini tidak berarti bahwa anda diharapkan mengikuti prinsip saya, yakni bahwa seseorang dapat menjadi optimis jika dia tahu betul apa yang akan dia hadapi. Optimisme bukanlah kecemasan yang diselubungi sikap seolah tabah. Apalagi mengharap kuasa langit untuk campur tangan. Jangan dikecohkan antara optimisme dengan perjuangan realita. Kuasa langit pun dalam berbagai torehan sejatinya menorehkan pesan bahwa manusia, selagi dia masih menganggap dirinya fana, harus wajib untuk menghadapi realita dan berjuang.
Tulisan ini saya batasi dalam ranah Musik Klasik saja. Kenapa? Ya karena yang Pop, Jazz, Non Klasik sudah ada campur tangan industri. Meskipun bisa juga jatuh bangun, namun industri senantiasa terpaut dan terkait dengan kapital atau modal usaha yang adalah urat nadi semua pergerakan di dunia ini. Industri hampir selalu pasti mempertahankan eksistensinya meski seringkali harus menggerus idealisme dan ide-ide kreatif. Musik Klasik sejatinya tidak sepenuhnya ditopang dan dihidupi dengan cara-cara semacam itu. Sebab sekali saja Musik Klasik ditopang oleh industri, maka ia tidak akan lagi menjadi klasik. Ia akan menjadi entitas ekonomis belaka. Apa dampaknya? Asupan terhadap seni bunyi yang menginspirasi kalbu bening menjadi dipertanyakan.
Kita akan melaukan telisik dengan menjawab pertanyaan seperti: Bagaimana masa depan Musik Klasik? Tentu pertanyaan tersebut akan secara alami terurai menjadi beberapa pernak pernik pertanyaan. Seperti: Apa hambatan dan tantangannya. Bagaimana formulasi menghadapi masa depan. Apakah masih memungkinkan pelaku Musik Klasik menjadi kaya raya tajir melintir (satu utopia bagi kaum materialisme yang otaknya sudah beku oleh dengungan agitasi sumber sumber yang terentah dan terantah).
Sebetulnya begini. Kita ambil contoh di Indonesia saja. Apa sih yang menyebabkan Musik Klasik masih ada di Indonesia? Toh itu bukan budaya asli kita. Toh konser Musik Klasik professional sangat jarang. Radio, televisi yang menyiarkan Musik Klasik juga hahaha lebih sedikit dari tumpahan sirop di jalan raya. Jawabannya: KARENA MASIH BANYAK KURSUSAN DAN GURU LES MUSIK! Dan mereka, ya silahkan saja namanya mau pake kursus Pop lah, Jazz disekolahin lah, Rock ini itu, sampai satu titik pasti mentok dan menghadirkan metode Musik Klasik yang karena kodratnya mau tidak mau, suka atau tidak suka adalah basic stand bagi semua genre musik. Ini yang membuat Musik Klasik masih tetap ada di Indonesia.
Masih banyak guru-guru terutama Piano yang tetap memakai buku BEYER. DUVERNOY, CZERNY, LEMOINE. Saya yakin para siswanya jenuh bosan pengen ngamuk. Tapi mereka tetap les. Kenapa? Gensi!!!Piano itu bergengsi. Alat mahal. Les mahal. Buku mahal. Meskipun siswanya kalo main Beyer duet dengan gurunya seperti monyet kebelet kencing yang pengen cepat-cepat pergi. Gurunya pun dengan arogan bersabda bagai tokoh kartun dewa-dewa. Bahwa ini latihan untuk membuat tangan dan jari bisa gini gitu anu ini itu dan prrrrrttttt... 10 tahun main Für Elise masih salah-salah dan macet-macet. Yaaaaaa klasik butuh waktu dan ketekunan yaaaaaa. Ya pret crot crot. Tidak bisa dipungkiri, itulah yang membuat Musik Klasik masih hadir di tanah air. Persoalannya: sampai kapan?
Karena keadaan sekarang tuh begini: anak tuh sejak SD SMP SMA SMKK jam pelajaran padat. Ditambah lagi dia harus les Bahasa Inggris biar siap menghadapi arus global. Les Matematika biar bisa hitung cuan dengan cepat. Les dancing biar kekinian. Les pilates biar sehat. Les tennis biar bisa prestasi. Les Golf biar gak katrok nemenin relasi papi maminya. Makannya gluten free biar gak jantungan dan semoga panjang umur. Trus..... apakah masih mungkin untuk les musik? Yang masih bertahan les musik itu, either anaknya cinta banget pada musik atau parents nya gengsi banget dan harus isi Instagram dengan yang bergengsi. Lalu keadaan begini masih harus belajar dengan BEYER dkk?? Tolong jawab jujur.
Masa depan musik, khususnya Musik Klasik banyak ditentukan oleh guru-guru musik. Yang terus mau dan sudi mengupdate dan enrich serta explore kemampuan dan pengetahuan musikalnya. Di bagian lain dunia, ada AI music. Ada sajian tik tok, YouTube, spotify dan apalagi lah. Ini semua pasti membuat siswa berpikir. Kapan gue main lagu -agu gitu. Ini tang ting tung gak jelas mau sampe kapan sih. Dalam keadaan begini, apa yang bisa kita katakan tentang masa depan musik khususnya klasik. Lhoooo kalo bukan dari Beyer dan kawan kawan nanti jarinya gak kuat. Gak luwes dan lentur. Omong kosong. Guru males itu. Sudah terlanjur tinggal duduk nyabutin bulu ketek terima cuan les. Di belahan dunia sana orang sudah gak lagi pakai Beyer dan teman-temannya. Hasilnya juga siswanya Distinction. Juara kompetipret ini itu.
Juga tentang Scale. Tangga nada. Haduuuuh. Berapa banyak murid yang stress bahkan trauma latihan tangga nada. Mengingat ingat pemaikaian jari. Harus cepat. Harus rata. Ini itu. Haiyaaaa. Apa gunanya main tangga nada sih?! Di Jerman sudah tidak ada tuh tangga nada diajarkan. Di Gitar klasik, itu tangga nada nya Andres Segovia juga sudah jadi metodologi museum. Karena, tuntutan jaman sekarang sudah tidak begitu. Beberapa kaum konservatif mengatakan bahwa tangga nada penting untuk MENGENAL GEOGRAFI INSTRUMEN. Hahahaha. Saya tertawa terhabak-habak. Geografi instrumen tidak cukup dengan tangga nada. Dan geografi instrumen itu sangat Technical Demanding. Cocoknya untuk anak atau person yang memang niatnya menjadi musisi professional dengan masuk Konservatori. Lhooooo ujian sertifikasi internasional ada tangga nada atau scale tuh. Gini: Dalam sertifikasi internasional itu memang ada technical demanding. Ya apa lagi isinya kalo bukan scale atau tangga nada dan arpeggio. Tetapi, ini sama sekali tidak menunjukkan faedah signifikan pelajaran tangga nada dan latihannya bagi ketrampilan bermusik dan apresiasi seseorang yang sedang belajar musik. Dan jangan lupa, ujian sertifikasi internasional jaman now, baik itu ABRSM maupun RSL ROCKSCHOOL selalu ada dua opsi. Yang melulu performance dan yang performance plus technic. Dan ini bobotnya sama. Kok bisa? Karena pada akhirnya yang menentukan adalah main musiknya bukan akrobat beruang sirkus pamer kecepatan tangga nada.
Bicara tentang masa depan musik khususnya Musik Klasik, sejak satu dua dekade lalu orang sudah menyadari. Bahwa masa depan Musik Klasik turut pula ditentukan oleh audience nya. Semakin wide spread audience nya maka masa depan akan diprediksi cerah. Tidak bisa lagi mengandalkan para opa oma dan oom tante dengan penghasilan mapan untuk beli tiket konser yang mahalnya setengah mati. Musik Klasik harus melebur. Sapreading. Ke generasi yang lebih muda meski mereka secara ekonomi tentu belum mapan. Hal seperti ini sudah dilakukan beberapa megastar klas dunia. Vanessa Mae dengan Biolin yang membalut Musik Klasik diberi irama jedag jedug. Dandanan puser kelihatan.
Begitu juga Ensemble gesek “The Bond”. 4 perempuan main Vivaldi dengan iringan gaya Rock cadas. Tentu dengan lenggak lenggok puser dan ketiak.
Sebetulnya ini upaya untuk membuat Musik Klasik spreading jangkauannya dan jauh dari kesan elitis, aristokrat dan just for The Have. Sayangnya, upaya mem”pop” kan Musik Klasik ini akhirnya terjebak oleh filosofi Musik Pop itu sendiri. Yang sekilat populer namun sekilat itu pula mati nyaris tak berbekas.
Di dekade 2022 sampai sekarang ada Hauser. Pemain Cello dari Croatia. Ya sama prinsipnya seperti Vanessa Mae dan The Bond. Hauser masih malang melintang setidaknya sampai saat saya buat artikel ini.
Ada pula Andre Rieu. Dirigen, Biolinis dengan tampilan Orkestra yang super spektakuler. Andre Rieu ini bagus sebagai AD VITAM Musik Klasik, meski dengan sajian spektakuler semacam itu jelas karcisnya akan teramat sangat mahal. Tidak berhenti sampai di situ. Megastar seperti Pavarotti, Placido Domingo selalu mengadakan Konser dengan dua versi. Main di Concert Hall yang dia pakai Tuxedo dan main di alun alun atau taman kota yang dia pake T-Shirt. Mutu sajiannya sama. Hanya saja yang di alun alun maksudnya agar lebih menjangkau khalayak dengan umur dan taraf ekonomi yang lebih bervariasi.
Lalu pertanyaan berikutnya. Apakah semua upaya tersebut berhasil? Jawabannya TIDAK SEPENUHNYA.Covid 19 jujur saja membuat masa depan Musik Klasik suram. Begitu banyak Orkestra yang tutup gulung tikar dan tak mampu bangkit sampai hari ini. Pensiun pemain Orkes di Amerika dipangkas. Banyak ex anggota orkestra dari Amerika yang kemudian berkiprah di Asia termasuk di Indonesia. Banyak yang bermukim di Bali. Main di Nite Club, yang tentu tidak Musik Klasik, mengajar sebisa bisanya, sambil berdagang juga sebisa-bisanya.
Keadaan tersebut diperparah dengan maraknya Platform Digital. Satu sisi platform semacam ini memanjakan publik. Namun membuat produksi Musik Klasik menjadi seperti kehilangan arah. Karena begitu banyak pendatang dari amatiran, semi pro sampai pensiunan pro yang berdesak desakan berlaga di platform digital. Perusahaan rekaman seperti Sony Music yang terkenal dengan SONY CLASSICAL nyaris tiap produksi. Deutsche Gramophon yang legendaris nyaris tak mengeluarkan rilisan baru. Yaaaa ada debutan baru main piano, biolin direkam tapi itu pasarannya pun sepi. Ada digital version dari DG Classical. Namun lagi lagi, masa depan ditentukan oleh kesetiaan publik untuk mau membayar streaming. Dan ini bukan hal mudah. Karena persaingan bak rimba belantara yang padat, ganas, kejam dan siap saling sikut.
Orkestra Legendaris seperti Berliner Philharmoniker mencoba bertahan dengan membuat kanal berbayar. Isinya adalah rekaman penampilan dari waktu ke waktu. Ya itung itung mengajak publik untuk bernostalgia. Apakah marak? Nasibnya sama seperti dunia film Hollywood. Kehabisan napas dan terengah-engah. Hanya menyajikan seri dari sequel-sequel usang. Sementara karya para komponis baru yang muda muda masih perlu mengendap sampai beberapa dekade sebelum bisa bersaing dalam ketenaran bersama karya Philip Glass, Malcolm Arnold, Collin Mc Phee yang terus dihidup-hidupkan.
Jika Anda cermati, di Indonesia sebetulnya tumbuh beberapa Orkestra yang bagus-bagus. Mereka tentu disponsori. Persoalannya, ke depan kita masih akan menghadapi uncertainty fluctuation yang entah sampai kapan. Seberapa kuat para sponsor mendanai orkes-orkes semacam itu. Meskipun anggotanya adalah Fresh Graduate musician yang bukan money oriented.
Dari hiruk pikuk tulisan ini, kesimpulannya adalah: Masa depan Musik Klasik terlihat cerah, meskipun mengalami tantangan. Musik Klasik terus beradaptasi dengan teknologi dan gaya hidup modern, dengan musisi klasik yang memanfaatkan platform digital untuk menjangkau audiens yang lebih luas. Orkestra tetap memiliki peran penting, dan edukasi musik serta konser publik menjadi kunci untuk menjaga warisan Musik Klasik tetap hidup. Berikut beberapa poin penting mengenai masa depan Musik Klasik:
- Adaptasi dengan Teknologi: Musisi klasik semakin memanfaatkan platform digital seperti YouTube dan TikTok untuk memperkenalkan Musik Klasik kepada generasi muda.
- Integrasi dengan Genre Lain: Komposer kontemporer memadukan unsur klasik dengan genre musik lain, menciptakan karya fusi yang menarik.
- Pendidikan Musik: Pendidikan musik yang baik, baik di sekolah maupun melalui konser publik, sangat penting untuk melestarikan Musik Klasik.
- Orkestra Tetap Relevan: Orkestra tetap menjadi bagian penting dari Musik Klasik, dan upaya untuk menghidupkan kembali orkestra dalam budaya modern terus dilakukan.
- Manfaat Kognitif: Musik Klasik terbukti memiliki manfaat kognitif, seperti meningkatkan konsentrasi dan mengurangi stres, yang membuatnya relevan dalam kehidupan sehari-hari.
- Aksesibilitas: Teknologi memungkinkan akses lebih mudah ke musik klasik melalui konser online, rekaman, dan informasi terkait.
- Tantangan: Musik Klasik menghadapi tantangan dalam hal biaya produksi yang tinggi dan persepsi bahwa genre ini sulit untuk dipelajari.
- Potensi Pertumbuhan: Meskipun ada tantangan, potensi pertumbuhan Musik Klasik tetap besar, terutama dengan adaptasi terhadap tren modern dan upaya untuk menjangkau audiens yang lebih luas.
Secara keseluruhan, Musik Klasik memiliki masa depan yang menjanjikan jika terus beradaptasi dengan perkembangan zaman dan memanfaatkan potensi teknologi untuk menjangkau audiens yang lebih luas, sambil tetap menjaga nilai-nilai artistik dan edukatif yang dimilikinya.





No comments:
Post a Comment
Note: only a member of this blog may post a comment.