Friday 30 April 2021

Salah Main - by: Michael Gunadi | Staccato, May 2021

“SALAH MAIN”
By: Michael Gunadi
Staccato, May 2021


SALAH MAIN sebetulnya istilah yang penulis familiarkan sebagai padanan istilah PERFORMANCE MISTAKE. Tentu artikel ini TIDAK mengulas salah main dari sisi pendidikan musik, namun lebih kepada paparan yang umum saja serta ringan seringan kepulan asap kopi di sore hari yang tidak jelas. Salah main ini sebetulnya, disadari atau tidak, sudah menjadi bagian yang tak terpisahkan bagi apresiasi musik. Khususnydi bumi persada tercinta ini. B

 

anyak orang yang sok paham musik, mengamati kemudian dengan seenaknya saja nyerocos komentar: Ahhhh jelek. Salah-salah mainnya. Ada yang lebih tega lagi, nonton pertunjukan musik sambil ngitungin berapa kali kesalahan yang dibuat oleh penampilnya. Sebetulnya, sikap dan tindakan ini sah dan baik baik saja. Anda perform di hadapan khalayak, ya Anda harus siap ditelanjangi dan dibugilin dengan segala macam caci maki umpatan serapah. termasuk yang paling mengada-ada dan dibuat-buat.


Jujur saja, main tanpa salah menjadi dambaan siapapun. Dari mulai pemusik professional sampai dengan siswa musik, baik yang rajin maupun kumat kumatan. Sebetulnya, akar persoalannya adalah: Orang merasa gagal jika salah main. Orang merasa ia akan dicemooh karena kurang professional. Siswa akan merasa dihakimi sebagai malas, ceroboh dan tidak bakat. 



Gawatnya lagi, beberapa siswa jika main salah, akan “ditagih” parentsnya. Kamu itu sudah mami les kan ke guru The Best yang 1 menit 3 juta, masih saja salah main. Itu kan lagu gampang. Om Kusno sopir saja bisa (padahal belum tentu si sopirnya beneran bisa). Lagian mami kan jadi malu ma teman teman mami... trus juga ini gimana??? Mami gak bisa masukin instagram tuh permainan kamu jelek begitu. Lalu bagaimana sebetulnya duduk persoalan salah main ini. Apakah betul salah main menjadi ukuran tingkat kepiawaian seseorang dalam bidang musik?

 

Pada tahun 2014, perusahaan LEGO, membuat robot pemain gitar. Robot itu bisa memainkan score gitar klasik yang maha sulit. Dengan sangat presisi. Tanpa salah secuilpun. Tingkat presisinya adalah sepersekian detik dari parameter nilai Quantize nya. Persis. Artikulasi, dinamika, phrasering, musicality, persis seperti konsep. Hasilnya??? Publik sangat tidak puas. Meskipun presisi, TANPA MELIHAT, orang merasa bahwa ini BUKAN MUSIK. Tanpa lihat lho ya. Orang merasa yaaaaaa. Ini kan lagu anu yaaaa.... tapi kok ah.... ini apa ya... kayak ada yang kurang. Dalam istilah penghayatan semesta biasa disebut: TAKSU nya tidak memancar. Inner Beauty nya tumpul. 

 

Sejak jaman George Gershwin, sudah ada piranti yang disebut PIANO ROLL. Piano Roll itu sebetulnya  robot, meski tentu untuk ukuran jaman sekarang ya teramat sangat sederhana. Tapi prinsip Piano Roll masih tetap dipakai pada software DAW canggih seperti CUBASE dan Produk produk Abbleton. Orang juga komplain akan hasil performansi musik dengan piano roll. Kaku. Meskipun tanpa salah. Kemudian ada lagi penemuan Disklavier. Prinsipnya seperti piano roll hanya menggunakan komputasi. Orang juga tetap merasa kurang nikmat. Lebih canggih lagi, ada autoplay yang dikontrol iPad. Ini juga dikomplain. Kurang nyesss. Kurang Josss. Meski presisi banget.



Dari dua fenomena tersebut, kesimpulannya adalah: Musik tidak bisa super presisi. Musik bukan reaktor nuklir. Justru yang tidak presisi itulah yang membuat musik kaya nuansa dan nikmat. Dari dua butir kesimpulan tersebut, dapat kita katakan bahwa: SALAH MAIN DALAM MUSIK, BUKAN SESUATU YANG HARUS DIHINDARI. SALAH MAIN DALAM MUSIK ADALAH SEBUAH KENISCAYAAN. 

 

Tujuan orang berlatih musik bukan untuk main tanpa salah. Melainkan adalah mengasah teknik dan musikalitas, agar musiknya bisa “bermakna” dan “memberi sesuatu” pada pendengarnya. Trus ada yang koplak, songong dan kurang ajar, bilang begini: Asyiiiiik (sambil mencemooh) ....kalo gitu main salah gakpapa dong..... hahaha..... dan musik, salah juga gak bikin mati..... trus lagian musik gue gratisan juga, gaksah rewel loe loe pada ya....... Ya silahkan saja yang bilang begitu ya. Tiap insan penduduk bumi bebas melontarkan pendapatnya. Hanya saja, bagi kita yang otaknya masih dikaruniai kewarasan, mari kita telaah sedikit tentang salah main ini.

 


Dalam Stage Performance Management, dikenal 2 macam Performance Mistake:

1. Stupidity Performance Mistake

2. Accidently Performance Mistake

 

Stupidity Performance Mistake. Jenis ini adalah salah main yang diakibatkan oleh kecerobohan, kurang latihan, demam panggung berlebihan. Kalau di jaman sekarang ya demam kamera berlebihan (karena sekarang semua no stage tapi online). Ilustrasi contohnya misalnya: Siswa piano salah menempatkan posisi jarinya. Mestinya pada center ini dia letakkan over diskan. Atau bisa juga main frase cepat mati-mati dan tidak mulus. Apakah ini ditolerir? Tergantung sih. Si siswa ini grade berapa jenjangnya. Dan main dalam acara apa.

 

Accidently Performance Mistake. Jenis ini misalnya pemain gitar, ada suara smudges saat pindah jari. Atau ada beberapa not yang gak bunyi pada arpeggio rumit misalnya. Atau bisa juga... ini yang paling parah..... dia lupa musiknya. Lho??!!! Ya. Lupa. Makanya, lupa score itu dimasukkan dalam Accident. Kecelakaan. Karena bisa terjadi pada siapapun termasuk pianis klas dunia. Pada jenis ini, sejauh musiknya masih bisa dinikmati dan “memberi sesuatu” pada para pendengarnya, tetap dapat dikatakan ITS A GREAT PERFORMANCE (meskipun ada salah main). 

 

Ada hal yang krusial sehubungan dengan salah main ini. Beberapa kalangan menganggap bahwa dengan latihan yang sistematus, tepat dan terencana, salah main ini bisa dihindari. Dalam batas tertentu, pernyataan tersebut benar. Namun hanya dalam batas tertentu saja. Karena, sebetulnya ada hal berikut yang membedakan TUJUAN atau goal atau achievement antara latihan dan tampil. Perbedaan ini sebetulnya terletak pada MOOD. Yakni Mood untuk latihan dan Mood untuk tampil. Mood ini sangat berbeda, dan karenanya, Mood ini juga membedakan tujuan dalam berlatih dan tampil.



Practice Mood. Ketika berlatih, siapapun itu, entah yang professional, siswa atau yang sekedar hobby, ada mindset yang harus disetting. Settingan ini dalam wujud Mood nya. Mood latihan adalah PERFEKSI. Meraih kesempurnaan. Itulah makanya, pada saat berlatih, disarankan anda memakai tempo yang selambat mungkin. Misal 60 Bpm (beat per minute). Karena moodnya adalah meraih kesempurnaan. Maka harus tempo lambat, agar DETAIL nya bisa anda dapat. Dan, saat berlatih, jika ada kesalahan, anda harus wajib ulang bagian itu berkali kali. Kalau kata muridnya bu Jelia : I repeat it a Hundred thousand Times.

 

Performance Mood. Sangat berbeda dengan latihan. Saat tampil, mindset anda harus mengkondisikan Mood untuk menghadirkan semua nuansa musik pada audiens. Kalo meleset, anda harus mengkompensasikan. Kalo salah tergelincir, anda juga harus mengkompensasi. Misal dengan perbaikan alunan kalimat berikutnya. Dalam performance mood, jamak salah main. Barenboim pernah meleset. Kissin pernah terpeleset. Friedrich Gulda, Argerich, John William Guitar, Julian Bream, Roman Viasovskiy, Brandon Acker, Raphaella Smitts, semua pernah salah main. Dirigen Noorman Widjaja perneh kepleset clue. Bedanya, karena mereka adalah artis legenda, mereka bisa mengkompensasi salah main sehingga publik tetap mendapat pesan musiknya secara utuh.



Salah main ini, menjadi aktual jika kita letakkan dalam konteks ujian sertifikasi Internasional untuk musik di masa pandemi COVID-19 ini. Semua dilakukan online. Dengan video exam. RSL Award atau Rockschool adalah lembaga yang paling siap dan hebat menyelenggarakan ujian online. Kemudian ada yang songong bilang begini: Waaaaah enak ya jaman sekarang.... ujiannya boleh direkam pake video... jadi gak ngadepin pengujinya, gak gemeter, bisa diulang-ulang......... Sebetulnya tidak ya. Video exam itu main 5 lagu dan tanpa edit. Nah, sekali saja ada salah main, harus ulang semua. 10 kali ulang siswanya stress gurunya kencing, parentsnya depressi gemeter.Lalu, bagaimana jika setelah 15 kali take tetap ada salah main?

 

Begini. Memang, dengan online, yang adalah recorded, tuntutannya jauh lebih berat dibanding ujian face to face. Karena jelas, bagaimanapun, recorded lebih terkondisi daripada ujian face to face. Namun jangan salah, para penguji itu sudah dibekali pengetahuan musikal yang sangat luas. Dan mereka adalah penguji. Asesor. Menilai kelayakan assessment. BUKAN HAKIM PENGHITUNG JUMLAH SALAH MAIN. Jadi misal setelah 15 kali atau 20 kali video take masih tetap ada salah main, asal tidak fatal, tidak berhenti, musiknya masih “dapat” ya submit saja. Berdoa.



Sebagai akhir artikel, akan dicantumkan quotes tentang salah main. Harapannya tentu ini akan menginspirasi. Miles Davis: Dont Fear Mistakes. There are none. Ya iyalah. Miles Davis itu Jazzer. Dalam musik Jazz gakda yang namanya salah. Karena musik Jazz itu dibangun dari “kesalahan” dan “kekeliruan” teori musik yang klasik (ada tanda petiknya lho ya)

 

"I don’t want to give any advice to a 19-year-old, because I want a 19-year-old to make mistakes and learn from them. Make mistakes, make mistakes, make mistakes. 

Just make sure they’re your mistakes." – Fiona Apple

 

"It’s better to fail in originality than succeed in imitation." – Michael Jackson

 

No comments:

Post a Comment

Note: only a member of this blog may post a comment.