PATRON
by: Michael Gunadi
(Staccato, June 2020)
ZAMAN KEEMASAN MUSIK KLASIK
Pernah ada suatu masa, dimana Musik Klasik memperoleh kegemilangan dan kecemerlangan, Musik Klasik menjadi sajian yang khusus. Dianggap memiliki kadar seni yang adi dan luhung. Pencapaiannya pun membutuhkan ketekunan, latihan, dan totalitas selama berpuluh-puluh tahun. Tak terkecuali munculnya banyak anak super bakat alias prodigy. Yang memporak-porandakan upaya pencapaian virtuositas Musik Klasik secara bertele-tele dan melelahkan.
The Prodigy, effort, dan kompleksitas materi, itulah yang menjadikan pagelaran Musik Klasik bertiket mahal. Di gelar di ruang yang hampir selalu dilengkapi dengan dekoratif yang juga membuat orang takjub. Yang hadir pun, sebagian terbesarnya adalah mereka yang memiliki cita rasa, posisi sosial, dan tentu saja pundi-pundi, serta dompet yang tebal.
Misalkan orang memiliki harta melimpah, namun ia tak punya pengetahuan dan selera Musik Klasik. Silahkan saja ia datang dan petentang petenteng dalam pagelaran Konser Musik Klasik. Namun, jangan sampai ia pulang sambil nangis bombai karena mendapat cibiran dan dibully. Itulah sedikit gambaran kegemilangan, kejayaan, kesuksesan, dan keadidayaan Musik Klasik pada sebuah masa.
IRONI MUSIK KLASIK
Secara kodrati, Musik Klasik adalah budaya literer. Keberadaannya sangat bergantung pada Maha Karya yang dihasilkan oleh para komposer. Tanpa karya para komposer ini, takkan pernah ada kegemilangan Musik Klasik. Lalu SEBUAH IRONI menyemburat disini. Musik Klasik sudah sampai pada taraf kepongahan aristokrasinya. Sementara hidup para komposer selalu saja miskin. Terpuruk. Penyakitan. Sakit fisik dan sakit jiwa. Merana. Sendirian. Tak mereguk cinta.
Johann Sebastian Bach misalnya. Anaknya banyak, tidak punya harta selain Clavichord dan Harpsichord. Makanannya itu itu aja. Kopinya juga kopi mutu rendah. Tidak pernah piknik. Hidupnya dari belas kasihan Gereja. Beethoven juga sama saja. Sendirian. Hobinya nongkrong di warung murah, minum kopi sambil bawa gulungan kertas tulis musik. Kopinya murahan yang bijinya selalu dia hitung sebelum di roasting dan brewing. Penyakitnya banyak. Tidak ganteng. Pendek. Tambun. Pemarah. Kaku dalam menghadapi perempuan dan kerap kali ditipu penerbit musiknya.
Lisztomania
FANATISME DAN PATRON
Selain Bach dan Beethoven, hampir semua komposer “besar” yang terkenal dan membuat Musik Klasik menjadi adi dan luhung, sisi hidupnya morat dan marit. Miskin dan sakit. Pada Era Romantik, muncul Pianis hebat, FRANZ LISZT. Liszt memperoleh ketenaran TIDAK MELULU dari keahlian bermusiknya. Melainkan dari antusiasme dan bahkan fanatisme para pengagumnya. Terutama para perempuan. Dari gadis, janda, sampai nyonya rumah.
Sikap fanatisme merekalah yang membuat Franz Liszt sangat tenar bak dewa duniawi. Para fansnya tidak ragu untuk memberinya fasilitas dan harta. Sex dan kenikmatan lainnya. Perempuan belia merasa menjadi perempuan sejati saat diberi kesempatan untuk buka baju di hadapan Liszt.
Yang terjadi di masa Franz Liszt sebetulnya adalah kulminasi dari apa yang dikenal sebagai PATRON. Patron ini sudah marak sejak era Beethoven dan bahkan era Baroque. Patron bukan sekedar donatur. Patron adalah orang yang rela memberikan apapun sebagai dukungan pada karir seorang komposer (dan performance). Apapun ya. Apapun lho. Tentu termasuk Sex dan kenikmatan.
Patron ini sangat besar pengaruhnya pada perkembangan Musik Klasik. Tanpa adanya Patron, Musik Klasik akan tumbuh dan berkembang hanya sebatas pertunjukan kesenian dari panggung hampa. Dunia rupanya mencatat seorang Patron yang melegenda. Ia adalah Nadejda Von Meck.
Nadejda Von Meck adalah seorang bangsawan Rusia. Dia ini jelas tajir melintir. Adapun dia bisa main musk atau tidak, tak ada catatan resmi. Yang jelas, selama 13 tahun non stop, Von Meck adalah Patron dari Tchaikovsky. Selama 13 tahun, Tchaikovsky ditanggung seluruh hidupnya. Termasuk ongkos untuk pembelian benda-benda sehari hari.
Apa balasan bagi Von Meck? TAK ADA. Dan bahkan bukan Cuma Tchaikovsky yang disantuni. Debussy juga disantuninya. Hal ini dilakukannya semata karena Von Meck mengapresiasi dan terobsesi dengan karya komposisi Tchaikovsky dan Debussy. Dan bagi Von Meck, akan menjadi “kecelakaan” sejarah, jika jenius seperti dua komposer tersebut hidup dalam ironi kemelaratan. Jadi apakah Von Meck itu orang baik? Tidak penting. Yang jelas, Von Meck adalah salah satu pelaku yang menjadikan Musik Klasik bertahan hingga detik ini.
Yang terjadi pada Beethoven, agak sedikit berbeda. Beethoven mendapat Patron yang adalah muridnya, yakni Archduke Rudolph. Archduke ini sebuah istilah “baru” dalam dinasti di era Beethoven. Kedudukan sosialnya adalah para Pangeran Kerajaan.
Pangeran Rudolph ini lemah secara fisik. Banyak menderita sakit dan penyakit. Ia menjadi manusia hanya tatkala belajar dan berlatih piano. Beethoven dengan sangat baik mengajari dan membimbingnya. Hubungan guru murid ini kemudian berkembang sampai pada tatanan pemenuhan kebutuhan hidup.
PATRON DI ABAD KE-21
Di zaman modern, Patron ini tetap ada, misalnya saja pada orkestra. Anggota orkestra memiliki patron. Yakni organisasi, ataupun kota/Pemerintah. Ini terjadi di Amerika, Eropa dan beberapa negara lain. Bahkan pemain orkestra itu mendapat jaminan kesehatan, asuransi dan dana pensiun. Tahun 2004 keadaan ini masih bisa bertahan.
Mulai 2005 keadaan ekonomi global mulai tidak menentu. Prioritas ekonomi tidak lagi pada kesenian dan kebudayaan. Patron-patron mulai mengkalkulasi ulang sumbangannya untuk orkestra. Kota mulai berat menghadapi situasi ekonomi global. Orkestra mulai kembang kempis. Hingga akhirnya sekitar 10 tahun lalu, banyak orkestra yang bangkrut dan bubar. Musik Klasik tetap ada. Hanya saja sudah sangat sepi dan sebagai komoditas turisme belaka. Dengan kelimpungan dan berkelojotan, Musik Klasik harus mencari Patron – Patron baru. Perusahaan besar sesekali mencairkan dana untuk konser amal. Namun itu sangat temporer dan terhitung jarang.
KOMPOSER VS PERFORMER
Bagaimana dengan Patron untuk komposer? Sejak era industrialisasi musik, sejak berdirinya perusahaan Deutsche Gramophon, komposer kalah pamor dibanding performer. Dirigen Herbert Von Karajan bisa menjadi multi milyuner samapai memiliki kapal, mobil, dan jet pribadi super mewah.
Tidak hanya Karajan. Soprano Dame Kiri Te Kinawa juga menikmati kemewahan hidup seorang Diva. Tak terkecuali Julian Bream, yang jadi kaya raya punya rumah mewah seperti bangsawan Inggris, Cuma dari hasil publikasi dan pementasan serta rekaman main gitar. Artis-artis tersebut, tentu bisa hidup sangat mewah tanpa ada Patron. Dan mereka mengalahkan popularitas dan status sosial dari para komposer. Jaman tapi rupanya sudah berganti. Tak ada lagi kejayaan gemerlap semacam itu. Penghasilan para performer Musik Klasik sudah jauh menurun. Seorang Daniel Barenboim saat Musik Klasik masih berjaya, dibayar 700 juta lebih hanya untuk 1 jam Resital Piano. Sekarang bahkan 150 juta pun tak ada sponsor yang mau. Nasib komposer jauh lebih mengenaskan lagi.
Daniel Barenboim
Zaman sekarang ini, komposer mengemis dan memelas. Bahkan komposer yang mendapat predikat Magna Summa Cum Laude dari jurusan komposisi musik pun meratap. Mengemis, mengiba. Di group Facebook, banyak komposer yang mengharap donasi dari siapapun. Agar karyanya bisa dimainkan. Baik oleh solo artis maupun oleh orkestra, yang karena sudah banyak bubar, terpaksa harus reunited.
Patron seperti Nadejda Von Meck sudah tak ada lagi. Orang tajir jaman sekarang penuh pamrih. Apakah ini sebuah dekadensi? Sampai kapan hal ini akan berlangsung? Tak ada yang tahu. Namun, agaknya memang Musik Klasik sudah kalah telak melawan zaman. Sesuai dengan siklus alamiah. Tantangannya tentu adalah bagaimana Musik Klasik tetap dapat eksis. Sehingga suatu saat nanti, manakala roda berputar, Musik Klasik dapat bangkit berjaya lagi. Bagaimana dengan patron? Ahhhhhh mereka lebih tertarik menjadi oligarki politik.
No comments:
Post a Comment
Note: only a member of this blog may post a comment.