Wednesday 1 November 2017

4 MITOS KELIRU TENTANG BACH - by: Michael Gunadi (Staccato, November 2017)

“4 MITOS KELIRU TENTANG BACH”
by: Michael Gunadi Widjaja
Staccato, November 2017


Johann Sebastian Bach, adalah salah satu komposer yang karya dan sosoknya tetap popular hingga hari ini. Tentunya, selain Beethoven dan Mozart. Popularitas Bach seolah abadi. Hal ini dikarenakan beberapa hal. Sebagian adalah fakta sejarah dan sebagian lagi adalah mitos. Sebelum kita menguak lebih dalam tentang Bach, ada baiknya kita mengerlingkan mata, untuk sejenak menatap fakta tentang mengapa Bach itu penting dan layak diperbincangkan.

FUGA: KARYA MONUMENTAL BACH
Semasa hidupnya, Bach adalah komposer yang mengarang banyak sekali lagu dan musik. Karya monumentalnya terletak pada kepiawaiannya mengolah nada dalam bentuk FUGA. Di zaman Baroque, periode semasa Bach hidup dan berkarya, FUGA merupakan kulminasi tertinggi bagi seni olah bunyi.


Dalam Fuga atau Fugue, seorang komposer dituntut sangat ketat pada aturan dan norma namun juga harus memiliki kreativitas luar biasa agar Fuga yang dikarangnya tidak menjadi membosankan dan kedodoran. Bach sangat piawai dalam hal ini. Bach juga adalah seorang jenius dalam teknis komposisi yang disebut counterpoint atau kontrapunkt. Dimana sebuah jalur bunyi akan dibarengi jalur bunyi lain dalam arah berlawanan (counter/kontra).


PIANIS DUNIA YANG MEMAINKAN KARYA BACH
Kepiawaian Bach dalam membuat Fuga dan mengeksplorasi teknik kontrapunkt membuat karya-karyanya menjadi sangat monumental. Semua pianis top dunia pasti pernah menggelar karya Bach. Kecuali Lang Lang yang hampir tak pernah memainkan Bach. Audisi untuk seksi gesek terutama cello pada orkestra terkemuka dunia, selalu memakai karya Bach sebagai standarisasi dan standardisasi. Anda juga jangan pernah mengaku sebagai gitaris klasik jika belum bisa memainkan satu Lautensuite karya Bach secara utuh, baik dan benar.

Pengaruh karya Bach, sejalan dengan peradaban dan perkembangan budaya, melahirkan banyak spesialisasi Bach. Orang mengenal Glenn Gould yang digadang gadang sebagai Bach abad ke-20 karena teknik dan penafsirannya yang sempurna terhadap karya Bach. Dunia mengenal Andras Schiff yang dengan tradisi Akademi Hungaria melantunkan Bach dengan teknik tersendiri. Ada pula Maestro Daniel Barenboim yang membawakan karya Bach dengan cara yang revolusioner. Dunia juga dibuat terperangah oleh teknik dan gaya permaiman Martha Argerich saat membawakan Bach. Selain para pianis hebat tersebut, lahir pula musikolog-musikolog yang pakar dalam menafsir karya Bach. Juga kritikus-kritikus dengan pena setajam pisau silet.

Dengan kata lain, Bach menjadi popular, abadi dan klasik karena kepiawaian komposisinya dan juga keterlibatan pribadi-pribadi yang jenius dan berbakat. Tentu saja kita tidak dapat melupakan jasa Felix Mendelssohn Bartholdy. Tanpa upayanya mengumpulkan score komposisi Bach, dunia takkan pernah mengenal kejeniusan dan kecemerlangan Johann Sebastian Bach.

Glenn Gould

SISI RELIGIUS BACH
Orang lazim mengenal Bach sebagai komposer dan pemusik yang religius. Memang, semasa hidupnya, Bach mengabdikan diri dan disokong penuh oleh Gereja Protestan. Berbeda dengan komposer-komposer sesudahnya yang hidup dari penjualan karya, ngamen di kedai minum dan disokong para bangsawan kaya. Meski sangat religius bukan berarti kehidupan Bach berjalan mulus. Bach pernah terlibat duel maut. Pernah mendekam di penjara meski tidak lama. Kehidupan ekonominya sangat sederhana jika tak layak disebut miskin.Kejeniusan karya dan kepribadian yang kompleks menjadikan Bach legenda musik yang dibicarakan turun temurun tanpa kenal akhir. Dan pembicaraan semacam inilah yang melahirkan mitos. Sayangnya, beberapa dari mitos tersebut sangat keliru. Meski juga tidak seratus persen salah.


KEPIAWAN BACH MEMAINKAN ALAT MUSIK
Bach hidup ratusan tahun yang lalu. Di zaman yang pada periodisasi musik dikenal sebagai zaman Baroque. Sudah tentu, di zaman sekarang tak ada satu pun manusia yang pernah melihat atau mendengar Bach main musik. Tak ada sama sekali dokumentasi rekaman audio. Beberapa catatan menyebutkan bahwa Bach sangat piawai memainkan organ dan harpsichord.

Pertanyaannya, seberapa ahli? Seberapa hebatkah permainan Bach? Data empirik yang terjadi semua berupa catatan dan kesaksian secara tertukis. Tak ada satupun yang bersifat auditif. Kenyataan tersebut dapat dilogikan bahwa predikat RAJA ORGAN yang disandang Bach, bagi generasi sesudahnya, didasarkan pada kejeniusan karya komposisinya. Gampangnya begini: waaaah tuh Bach komposisinya jenius banget yaaa. Bisa buat jenius gitu pastilah dia juga mainnya hebat…. Benarkah demikian? Kita tidak tahu.


Hanya saja ada analogi begini: György Ligeti adalah seorang komposer hebat abad ke-20. Karya Etude nya begitu rumit dan sukar dimainkan. Apakah Ligeti sendiri mampu memainkan karyanya sendiri secara sempurna? Jawabannya sangat tidak. Hanya seorang Pierre Laurent Aimard lah yang bisa memainkan etude Ligeti secara pas dan nyaris sempurna.

Analogi ini seharusnya membuat kita bertanya lebih lanjut: Jika pun Bach hebat, apakah kehebatan permainannya hebat sesuai dengan ketrampilan para pianis dan organis zaman kita sekarang? Kita tidak tahu. Tetapi asumsi semacam itu menjadikan orang berusaha untuk menghadirkan musik Bach sepersis mungkin dengan zamannya. SAAT INILAH MUNCUL MITOS YANG KELIRU. Mitos keliru ini berkembang sejalan dengan upaya para pemusik untuk mencari nuansa original karya Bach.

Seorang Pierre Laurent Aimard sampai harus menggandeng Stefan Knupfer seorang teknisi piano hebat dari perusahaan piano Steinway and Sons hanya untuk mendapat imitasi bunyi piano yang berada diantara harpsichord dan organ. Semasa hidup dan karirnya, selain berpredikat Raja Organ Bach juga disebut sebut sangat hebat memainkan harpsichord. Jadi, sangatlah wajar jika mitos yang keliru itu berkembang dalam ranah musik piano yang adalah generasi canggih dari harpsichord.


Mitos #1: “MAIN KARYA BACH TIDAK PATUT PAKAI PEDAL”
Kontroversi ini sudah berlangsung puluhan tahun dan menjadi diskusi yang tak kunjung selesai. Asal mulanya adalah saat Maestro Daniel Barenboim secara macho dan perkasa memainkan karya Bach dengan menggunakan pedal. Pro dan kontra pun mengalir deras sejak itu. Lalu bagaimana? Mana yang betul? Pakai pedal atau tanpa pedal? Persoalannya bukan sesederhana hitam putih belaka.

Di dunia sekarang ini ada dua golongan pianis Bach: yang tanpa pedal, saat saya kuliah dulu kami menyebutnya “THE WET ONES”. Dan yang tanpa pedal atau “THE DRY ONES”. Yang tanpa pedal tentu berprinsip agar musik Bach terdengar sebagaiman saat dimainkan dengan harpsichord di zaman Bach. Harpsichord memiliki sustain yang sangat minim jadi nadanya tidak bisa berkumandang panjang.


Ada hal yang menarik. Masterpieces karya Bach tertuang dalam buku yang berjudul WELL-TEMPERED KLAVIER. Ada 2 jilid. Perhatikan, bahwa Bach menyebut kata KLAVIER yang artinya papan nada. Dan tidak menyebut piano tidak pula menyebut organ. Well-tempered Klavier jika dipadankan dalam bahasa Indonesia kira kira berbunyi: Musik untuk instrumen berpapan nada dengan sistem laras well-tempered (lawannya adalah ill-tempered atau laras tak standar seperti pada Gamelan Jawa). Lalu dengan tidak menyebut kata PIANO itu artinya apa? Bahwa bagi Bach, estetika nya MELAMPAUI atau beyond the instrument. Jadi bagi Bach, bukan pada organologi instrumen nya nilai estetik karyanya.

Chopin bilang begini: “The soul of the Piano is THE PEDAL.” Dan memang, dengan pedal, seorang pianis yang terlatih dengan baik, mampu membuat tiap jalur bunyi dalam Fuga, benar benar sebagai entitas yang mandiri. Karena masing masing jalur, melalui pedal, dapat dieksplor sustainnya untuk mengimitasi vocal vocal dalam motet. Hal yang tidak mungkin dapat dilakukan harpsichord.

Jadi, mitos bahwa main Bach harus tanpa pedal, jelas lebay dan keliru. Meskipun tidak salah. MISSED BUT NOT FAULT. Yang penting, penggunaan pedal pada karya Bach jangan sampai blurry atau mengaburkan tiap jalur bunyi. Seperti kata Barenboim, “It’s about PROPORTION!” Kalau Anda main Jazz, pedal yang berlebihan adakalanya malah akan membuat cluster harmony yang sungguh indah. Namun jika Anda main Bach dan pedalnya kebanyakan…… siap siap saja dilempar gelas air mineral.


Mitos #2: Main Bach harus rata tenang tanpa dinamika
Mitos ini muncul dari kaum yang memuja Prinsip bahwa karya Bach harus dimainkan sesuai aslinya dan seperti pada jamannya. Meski jelas mereka ini sungguh tak tahu seperti apa Bach memainkan karyanya. Dengan demikian, acuan kaum ini adalah Harpsichord, keyboard satu satunya terpopuler di era Bach.

Yang menjadi keliru adalah satu fakta: Harpsichord memang tidak seluwes piano dalam eksplorasi dinamika. Namun, jangan lupa, harpsichord memiliki setelan dua mode. Mode forte atau keras dan mode piano atau lembut. Yang tidak bisa dilakukan harpsichord adalah crescendo dan decrescendo. Jadi: sangat keliru jika ada mitos yang mengatakan main Bach harus rata tenang.

Main Bach, sebagaimana karya Baroque yang lain, Vivaldi misalnya, tetap mutlak perlu dinamika.  saja wujud dinamika nya adalah TERRACED DYNAMIC dan bukan Gradual Dynamic. Artinya, hanya ada keras atau lembut dan sangat salah jika anda main Bach dengan dinamika perlahan mengeras atau melembut. Itu musik romantik Beethoven dan Chopin. And ist not Bach.


Mitos #3: Main Bach Temponya harus ajeg
Ya. Betul. Sebagaimana karya zaman Baroque lainnya, kebanyakan karya Bach harus dimainkan dengan strictly tempo atau tempo yang ajeg. TETAPI ADA PENGECUALIAN: TIDAK BERLAKU BAGI TOCCATA nya BACH. 

Saya beri dua contoh:
TOCCATA Bach sebetulnya adalah improvisasi yang ditulis. Dari dua contoh tersebut nampak jelas bahwa gesture bagian awal yang saya beri coretan, Selalu berbentuk INSTABLE MUSICAL GESTURE. Jika bagian ini dimainkan dengan tempo yang ajeg, akan terdengar seperti mesin dan sangat kaku. Makanya pada Toccata Bach senantiasa penting untuk menggunakan TEMPO RUBATO. Rubato didefinisikan sebagai TO CONTROL TEMPO FLEXIBILITY. Pianis Andrew Aaron pernah menerbitkan seri tutorial untuk masalah ini.


Mitos #4: Bach benci Piano
Di Brazil dan negara tetangga kita, bahkan termasuk juga di negara kita. Banyak guru piano yang memprovokasi siswanya. Dengan belagu dan tolol, mereka bilang begini: kamu itu kalo main Bach, bayangin kamu main di harpsichord. Jangan bayangin main piano. Bach itu benci piano! Benarkah?

Ada buku judulnya JOHANN SEBASTIAN BACH: THE LEARNED MUSICIAN karya Christoph Wolff. Dihalaman 413, dimuat kesaksian Friedrich Agricola tentang peristiwa di tahun 1736 yang kemudian ditafsir beberapa kalangan guru piano bahwa Bach benci piano.

Peristiwanya begini:
Setelah Bartolomeo Christofori merancang piano, ada seorang tukang mebel namanya Gotfried Silbermann. Dia ikutan bikin piano. Nah, piano nya ini dia tunjukkan pada Bach untuk dicoba. BACH KAGUM. Waaaaaah alat ini bisa lucu yaaaa bagus. Lho? Ihhhhh bisa keras bisa lembut juga bisa perlahan mengeras melembut. Cuma ini nih bagian tuts kanan agak keras jadi agak susah dipencet. Itu yang terjadi. Jadi sebelah mananya Bach itu benci piano?

Sebagai akhirul kata: Anda boleh main Bach dengan gaya apa saja. Meledak-ledak, Jazz, Pop, Dangdut beres, Dangdut cabul, Reggae, Ska. Yang penting: IDIOM, GRAMATIKA DAN RETORIKA BACH TETAP DIPERTAHANKAN!



No comments:

Post a Comment

Note: only a member of this blog may post a comment.