Monday 5 September 2016

GITAR KLASIK: "LUWES NAN TAJIR" - by: Michael Gunadi Widjaja

GITAR KLASIK:
“LUWES NAN TAJIR”
by: Michael Gunadi Widjaja


KEINDAHAN GITAR SPANYOL
Sepertinya sudah membudaya, bahwa kecantikan dan keindahan perempuan diidentikkan dengan hal-hal yang bersifat alamiah. Kita tentu masih belum lupa, bahwa pernah ada ungkapan seperi ini: “Wah, wajahmu seelok bulan.” Tentu untuk zaman sebelum Indonesia merdeka, istilah rayuan semacam itu sangat laris manis dan membuat perempuan tersipu-sipu, seperti kucing terpleset kulit pisang.

Zaman terus berjalan. Manusia mampu menginjakkan kakinya di bulan. Dan ternyata wajah bulan TIDAK MULUS dan malahan penuh dengan bopeng-bopeng. Jadi jika zaman sekarang anda masih merayu perempuan dengan mengatakan bahwa wajahnya seindah bulan, siap-siap saja untuk ditampar sambil disiram kopi panas. Hmm…

Selain bulan, keindahan perempuan juga sering diidentikkan dengan GITAR SPANYOL. Kita tentu masih ingat dan masih terngiang akan adanya ungkapan seperti ini: “WAAAAAAAH BODY NYA AMBOI CING… GITAR SPANYOL!” atau “WUUUUIHHHHH PINGGANG DAN PINGGULNYA GITAR SPANYOL BINGITZ DEH!” Terus terang, jujur saja saya agak bingung dengan ungkapan seperti itu.

ANALOGI GITAR DAN PEREMPUAN
Kebingungan saya yang pertama adalah: Kenapa sih harus menyebut Gitar Spanyol? Kok tidak gitar saja ya? Ya karena gitar tuh kan aslinya Spanyol. Iya, he eh... betul. Sejarah mencatat bahwa gitar yang memainkan peran dalam napak tilas perkembangannya, tidak harus buatan Spanyol. Andres Segovia, sang Maestro, empu dari segala empu gitar, memakai HERMANN HAUSER yang adalah bikinan Jerman. John Christopher William, sang pujangga gitar, memakai gitar bikinan Greg Smallman yang adalah Australia. Zaman modern sekarang ini, bahkan teknologi pembuatan gitar klasik berdawai nylon, lebih banyak dieksplorasi oleh negara-negara di luar Spanyol, seperti Korea, Jepang, Jerman, Perancis, Australia, dan bahkan Thailand serta Filipina.

Kebingungan saya yang kedua adalah: Mengapa body perempuan dipersandingkan dengan gitar, ya? Gitar itu okelah pinggul dan pinggangnya memang melekuk. Akan tetapi dada gitar tuh rata. Bayangin coba, kalau perempuan yang indah itu seperti gitu? Wah pasti dadanya rata… hahaha...

Kebingungan saya yang ketiga adalah: Kenapa kok yang jadi sasaran kaum perempuan? Lalu bagaimana pandangan perempuan sendiri terhadap gitar yang dipersamakan dengan kemolekan tubuhnya? Saya tidak akan memikirkan dan tidak ambil pusing akan hal semacam itu.

NAPAK TILAS GITARIS PEREMPUAN
Yang jelas, fakta perjalanan sejarah musik menorehkan, bahwa dalam perkembangannya, banyak sekali perempuan yang memainkan gitar Spanyol atau gitar klasik (meski tak semua aliran gitar di Spanyol adalah klasik, karena ada juga musik Flamenco).

Saya sebut beberapa nama saja. Dorothy Fortea Mengarang beberapa lagu solo gitar yang masih dimainkan hingga detik ini. Permainan Dorothy Fortea sendiri sangat terarah secara teknis. Namun musikalitas dan passion nya patut diacungin jempol. Ada lagi Louisa Walker, yang terkenal dengan karya solo gitar berjudul “KLEINE ROMANZA.”

Di jaman modern kita mengenal Sharon Isbin, gitaris perempuan yang berani melakukan revolusi pendobrakan cara bermain Suita Lute karya J.S. Bach. Kemudian ada Berta Rojas yang manis manja. Ada juga Maria Esther Gomez dengan repertoar sangat kaya dan teknik yang cepat namun akurat.

ANA VIDOVIC

Kita mengenal juga Maria Linemann yang dalam saat-saat akhir digerogoti kanker, masih membuat lusinan karya gitar solo yang romantis dan manis seperti permen. Di Russia kita kenal Ana Vidovic, di Jerman ada Heike Matthiesen dan Professor Sonya Prunbauer.

Di Asia, kita kenal gerombolan 4 perempuan perkasa, diantaranya adalah Li Jie dan Su Meng. Kemudian ada   yang sudah tidak bergitar lagi karena stroke. Bagaimana dengan perempuan gitaris Indonesia? Gak tau ah gelap…

KECIL-KECIL CABE RAWIT
Terlepas dari konotasi dan denotasi gitar terhadap tubuh perempuan, tidak dapat dipungkiri bahwa gitar klasik layak disebut si luwes yang tajir. Menarik untuk mengedepankan kembali ucapan Maestro (Bukan Maestrobasi ya?) Andres Segovia tentang gitar klasik (selanjutnya saya tulis sebagai GITAR): “SEMUA INSTRUMEN ORKESTRA TERDAPAT DALAM GITAR. NAMUN DALAM BAGIAN YANG KECIL.” Bisa diumpamakan dengan kita melihat teropong dengan cara terbalik. George Benson, seorang gitaris Jazz legendaris, mengatakan demikian: “Gitar dapat berbunyi seperti horn atau bahkan synthesizer… Namun hebatnya, ia tak pernah kehilangan identitasnya, ia tetap lah gitar.”

Pernah ada ungkapan tentang seorang legenda gitar bernama Francisco Tarrega. Konon kabarnya di tangan Tarrega, gitar dapat tertawa dan menangis. Tarrega pun membuat sebuah musik solo gitar yang hebat dan masih populer hingga sekarang. Judulnya adalah “GRAN JOTA.” Isinya adalah unjuk kemampuan gitar dalam eksplorasi efek bunyi. Ada efek tangisan, bunyi klarinet, drum, bassoon, lonceng-lonceng, dan bahkan imitasi dari seorang diktator Spanyol saat berpidato. Di zaman sekarang eksplorasi kemampuan gitar dalam efek bunyi, dilanjutkan dalam karya Nikita Koshkin. Yakni rangkaian lagu tentang perang-perangan oleh tentara mainan. Koshkin bahkan mengeksplor gitar untuk dapat meniru bunyi tentara mainan dari bahan kaleng saat berbenturan.


KAYA AKAN WARNA BUNYI
Kemampuan gitar dalam menirukan bunyi-bunyi di luar dirinya sebetulnya adalah karena gitar (klasik dawai nylon) adalah alat musik yang tajir atau kaya dalam TONE COLOR atau warna bunyi. Sebagai ilustrasi, kita dapat berlogika demikian. Dawai gitar berbentuk garis lurus apabila sudah direntangkan. Secara matematis, garis lurus adalah kumpulan titik-titik yang tak terhingga banyaknya.

Jadi dengan demikian, ada lokus sebanyak titik-titik tersebut dalam sebuah dawai gitar. Yang mana lokus tersebut adalah bidang eksekusi petikan. Tiap bidang petikan memiliki warna bunyi yang sebetulnya tidak pernah sama. Jelas bahwa dengan demikian, gitar klasik memiliki banyak dan bahkan tak terhingga dalam hal tone color atau warna bunyi.

WARNA BUNYI PADA PIANO DAN BIOLA
Bandingkan misalnya dengan PIANO. Meski piano adalah raja dari emua instrumen musik, dalam kenyataannya tidaklah memiliki warna bunyi se-tajir gitar klasik. Bunyi piano dihasilkan oleh mekanisme palu atau hammer yang memukul dawai. Titik atau lokus eksekusinya hanya tertentu. Dan tidak seperti gitar, jari jemari pianis tidak pernah bersentuhan langsung dengan dawai nya. Tone Color dalam piano dihasilkan dengan memanipulasi kecepatan hammer dalam memukul dawai.

Daniel Barenboim mengatakan bahwa tone color pada piano sebetulnya adalah ILUSI PSIKOAKUSTIK SEMATA. Varian warna bunyi sesungguhnya tak pernah ada. Semakin hebat seorang pianis, ia akan semakin hebat menyajikan ilusi warna bunyi bagi para penikmatnya.

Saya yakin bahwa pembaca telah sangat mengenal bunyi BIOLIN. Biolin lazim dan bahkan sudah wajib hadir dalam sebuah orkestra Musik Klasik. Namun demikian, ada kalanya biolin juga dipakai untuk keperluan membawakan genre musik selain klasik. Di tanah air kita mengenal seorang Idris Sardi yang berbiolin untuk lagu-lagu Pop dan Perjuangan.

Dalam skala dunia, kita mengenal Helmut Zacharias yang adalah raja untuk biolin Pop. Stephane Grappelli, Jean Luc Ponty, dan Noel Pointer yang berbiolin untuk Jazz. Jika kita mau jujur, biolin memang bisa untuk Pop dan Jazz. Namun karakter dan timbre nya masih tetap kental dan bahkan tak dapat dipisahkan dari aroma Musik Klasik.


INSTRUMEN LINTAS GENRE
Berbeda dengan Gitar Klasik. Ia dapat lebur murni dalam genre apapun. Dalam perkembangan musik, kita bisa dengan mudah mendapati gitar klasik yang lebur menyatu dalam berbagai genre musik. Earl Klugh melakukannya untuk Jazz. Milos Karadaglic melakukannya untuk Pop The Beatles dalam album yang laris manis seperti buah mangga. Badi Assad melakukannya untuk musik tradisional Brazil dengan sentuhan yang sangat eksploratif samapai menggunakan kipas angin mini untuk memetik dawai. Dewa Rock Yngwie Malmsteen memakai gitar klasik dalam salah satu show Rock Baroque.

Di tanah air kita ada Jubing Kristianto yang bahkan memakai gitar untuk mengiringi acara senam pagi. Di sudut-sudut jalan, di gang-gang kumuh, bahkan para pengamen pengganggu, memakai gitar klasik untuk mengekspresikan musiknya. Banyaknya contoh-contoh yang dikemukan, menjadikan gitar klasik layak disebut sebagai “The Most Versatile Music Instrument” atau instrumen musik yang paling LUWES.

SIZE: “IT DOESN’T MATTER!”
Menyandang predikat “Si luwes nan tajir,” sebetulnya juga mensisakan persoalan yang tidak main-main bagi Gitar Klasik. Problem utama nya adalah meski luwes dan tajir, ukuran body gitar klasik tergolong sangat kecil. Misalnya jika kita bandingkan dengan sebuah Piano. Oleh seorang Andras Schiff, pianis hebat, piano dijuluki sebagai BIG ELEPHANT, gajah besar.

Ukuran body Gitar Klasik akan menjadi problem besar manakala dihadirkan dalam sebuah gedung konser berskala besar. Pertunjukan gitar akan nampak seperti ini: seorang gitaris, sendirian, memangku gitar yang cuma segitu, duduk selama satu jam dalam area panggung berukuran 10m x 7m. Hmm... Hal semacam ini mestinya untuk zaman sekarang, memerlukan sebuah ornamen dan asesoris tambahan. Misalnya penggunaan layar LCD ataupun juga ada motion dan daya tarik tertentu.


Seperti yang dilakukan STING. Ia memainkan gitar klasik, lagu klasik sambil bertelanjang dada, dan ditemani seorang penari Ballet yang mutar-muter sampai ke sisi-sisi panggung. Hal yang serupa juga dilakukan gitaris hebat Thibault Cauvin. Hal semacam ini adalah agar semata penonton tidak tersaji pada sebuah ruang kosong antah berantah di panggung. Kecuali jika si gitaris mampu melakukan akrobat teknik permainan luar biasa, seperti Yamashita, sang dewa gitar klasik dari Jepang.

Selain ukuran body, power bunyi gitar klasik pun kerap menjadi masalah manakala digelar dalam sebuah concert hall. Memang zaman sekarang sudah tersedia microphone dan sound system canggih yang mampu mengadaptasi semua frekuensi dan krekuensi harmonik dari sebuah alat musik akustik. Namun untuk gitar klasik, persoalannya tidak semudah itu. Kekayaan tone color gitar klasik seringkali tidak terekspose engan baik oleh kecanggihan sound system.

Gitar klasik memang adalah si luwes nan tajir. Namun seperti para perempuan luwes nan tajir di kehidupan nyata, ia tak akan pernah lepas dari berbagai masalah. Dan bukankah hidup itu sendiri dalam hakekatnya adalah perjuangan menghadapi masalah? Ting!


No comments:

Post a Comment

Note: only a member of this blog may post a comment.