“GITAR KLASIK DAN SOSIAL MEDIA”
oleh: Michael Gunadi Widjaja
Staccato, September 2016
Staccato, September 2016
GOOD MORNING, SOSMED!
Sejak ditemukan dan aktifnya Internet, banyak sekali perubahan drastis yang
dialami oleh umat manusia. Perubahan drastis tersebut berlangsung bukan secara
evolusi, melainkan secara evolusi. Jejak yang paling nampak adalah bahwa dunia
terasa semakin kecil. Jarak bukan lagi masalah. Gaya hidup manusia pun tentu
akan berubah dengan semakin terasa sempitnya semesta kehidupan. Orang tidak
lagi berduyun-duyun untuk membeli teh atau kopi sebagai sarapan pagi, melainkan
INFORMASI-LAH yang kini menjadi menu utama sarapan pagi. Tentu hal sedemikian
membawa pula konsekuensi. Ada baik buruknya. Namun apapun itu, ini adalah
realita yang sekarang kita alami dan nampaknya akan terus kita alami, malahan
dengan pembaharuan dan perubahan yang semakin gencar dan malah bisa sangat
dramatis.
KECANGGIHAN DUNIA MAYA
Produk internet yang paling digjaya, tak dapat dipungkiri adalah adanya
SOSIAL MEDIA, atau biasa dikenal sebagai SOSMED. Sosmed ini ada banyak rupa. Yang
paling terkenal adalah: FACEBOOK,TWITTER, YOUTUBE, dan INSTAGRAM. Dengan
sosmed, orang bisa berbagi informasi apa saja. Mulai dari sesuatu yang umum, sampai
dengan ketelanjangan yang benar-benar vulgar dan bugil. Berita juga adakalanya
disampaikan dan tersaji lebih cepat dan malahan bisa lebih detail dan akurat
dibanding liputan dari kantor berita Professional.
Kecanggihan ini tentu saja bak keping mata uang. Jika kita bijak
memakainya, maka keuntungan jelas berpihak pada kita. Namun jika tidak bijak, sosmed
siap menelanjangi diri kita. Hal sedemikian, diperparah lagi dengan sifat
sosmed yang Maya. Dengan sifat MAYA, banyak orang bertingkah polah dengan
memuat tulisan secara seenaknya. Hal ini membawa dampak, bahwa sesuatu yang
dimuat dan termaktub dalam sosmed, menjadi sangat sulit ditengarai dan
ditetapkan keabsahan dan kebenarannya.
SOSMED DALAM RANAH GITAR
KLASIK
Gitar klasik, di era sekarang ini, mau tidak mau, suka ataupun tidak suka, harus
berada dalam koridor dan bahkan ranah semacam itu. Sebetulnya, banyak sekali
peristiwa yang dialami gitar klasik sehubungan dengan adanya sosmed. Baik
mengenakkan maupun menyakitkan. Baik positif maupun merugikan. Zaman sekarang, majalah
gitar klasik ternama seperti “CLASSICAL
GUITAR MAGAZINE” dan “SOUNDBOARD”
juga memiliki sosmed. Jadi dengan demikian, segala unek-unek dari pembacanya tak
lagi terbatas pada surat yang dikirimkan kepada redaksi. Namun dapat setiap
saat, termasuk caci maki dan sumpah seraph.
Situs video sosmed juga dibanjiri oleh siapa saja yang ingin nampang main
gitar klasik. Dari mulai amatiran yang mainnya tidak becus, sampai promosi dan
teaser dari artis gitar klasik papan atas dunia. Yang menjadi repot adalah:
Bahwa di sosmed, tidak bisa dengan mudah dibedakan antara artis gitar klasik
dan pemain amatiran. Seorang MILOS
KARADAGLIC dalam sosmed video, akan diperlakukan sama dengan anak SMA dari
Tegal Jawa Tengah yang main gitar klasik asal-asalan. Dengan demikian, selera
dan apresiasi publik, tidak berdasar pada mutu performansi, melainkan pada
menarik tidaknya penampilan video nya. Ini sungguh merupakan hal yang
merepotkan dalam membangun daya apresiasi publik terhadap musik gitar klasik.
GITAR KLASIK VS PIANO
KLASIK: KALAH POPULER
Tidak dapat dipungkiri, bahwa gitar klasik di era sekarang sudah dapat
dikatakan MATI. Dan bukan hanya di tanah air melainkan di seluruh belahan
dunia. Saya ambil contoh sederhana saja. Mari kita amati sekolah-sekolah dan
kursus musik di tanah air. Siswa piano nya 108, siswa gitar klasiknya 4. Siswa
piano nya 350, siswa gitar klasiknya 7. Itu angka rata-rata yang saya amati, dan
jika pembaca punya waktu luang silahkan melakukan penelusuran untuk
membuktikan. Konser unjuk bakat juga hampir semua didominasi oleh siswa piano
dan biola. Sementara gitar klasik, dengan bodi nya yang kecil dan bunyi yang
lirih seperti pengemis miskin yang menjulurkan lidah menanti uluran remahan
roti rejeki. Hal miskin dan memprihatinkan tersebut, mestinya dapat direduksi
dengan adanya sosmed. Sebut saja misalnya FACEBOOK.
KOMUNITAS GITAR KLASIK
Di tanah air, pernah ada Group Facebook tentang gitar klasik. Hal yang
sangat baik tentunya. Dengan adanya group facebook, maka akan terbentuk sebuah
komunitas pecinta gitar klasik. Komunitas inilah sebetulnya yang diharapkan
dapat menggairahkan bahkan menghidupkan kembali aura gitar klasik yang sudah
terlanjur MATI SURI atau bahkan MATI. Dalam group tersebut juga dimuat pelajaran-pelajaran
teknik dan pengalaman bermain gitar klasik. Oleh mereka yang betul-betul mampu
berkapabilitas dan punya kompetensi untuk memberikan pelajaran dan pengalaman. Sayangnya,
mental kita belum siap untuk itu. Banyak respon ditulis dengan maksud lucu
namun terasa menjijikkan, memuakkan dan seperti kecebong yang keluar dari
selokan. Hanya karena bersifat MAYA, yang artinya tak mudah ditengarai
fisiknya, orang menjadi seenaknya untuk komentar di Facebook.
MASALAH HAK CIPTA
Kita semua sama-sama tahu, bahwa musik gitar klasik, untuk kehidupannya
banyak ditopang oleh ketersediaan partitura atau score. Di facebook, score
tersebut dibagi-bagikan secara gratis. Masalahnya adalah, pembagian gratisan
seperti itu, SAMA SEKALI TAK MENGINDAHKAN NASIB ROYALTI UNTUK KOMPOSERNYA. Untuk
musik yang pengarangnya sudah meninggal ratusan tahun dan telah menjadi public
domain, itu tidak masalah. Namun untuk musik yang pengarangnya masih segar dan
hidup, gratisan semacam itu jelas sebuah PENCURIAN ROYALTY. Maling dalam bentuk
rekayasa sosmed. Masalah royalty atas hak cipta, menjadi ranjau bagi sosmed. Youtube
misalnya. Sebetulnya situs video tersebut merupakan peluang bagi para pecinta
gitar klasik untuk unjuk diri.
MAHALNYA MENGGELAR KONSER
Matinya gitar klasik, salah satunya disebabkan oleh mahalnya biaya
menggelar konser. Sewa gedung pertunjukan kian hari harganya kian meroket. Belum
lagi ijin pertunjukan yang harus diurus di kepolisian, yang menyita waktu, tenaga,
dan tentu saja biaya. Tampil di Youtube sebetulnya dapat menjadi alternatif
performance. Anda cuma pake celana pendek, kaos buntung, atau daster dengan
keadaan belum mandi, Anda main musik gitar klasik, direkam dengan handphone, unggah
ke youtube. Kelar, ringkas, sederhana, dan malah hampir tanpa ongkos. Dan tentu
teman-teman Anda yang senasib akan dengan gembira men-share video Anda. Sehingga
tanpa sadar, Anda sudah mendapatkan penonton dan penikmat. Tak ubahnya dengan Anda
melakukan konser di gedung pertunjukan.
MASALAH HAK TAMPIL
Belakangan pemuatan video di Youtube terkena peraturan HAK CIPTA DAN HAL
TAMPIL. Dalam hukum Indonesia, HAK TAMPIL ini dipadankan sebagai HAK TERKAIT. Urusan
hukumnya, ditangani oleh lembaga kolektif yang didalamnya – ada KCI atau badan Karya Cipta Indonesia. Jadi, jika Anda membuat
video untuk diunggah di youtube, pihak youtube akan memeriksa dahulu. Kalau
jenis unggahannya nampak seperti sebuah rekaman pertunjukan dengan bayar tiket,
sudah pasti video Anda akan di-BANNED. Kecuali jika Anda memainkan musik yang
sudah berumur ratusan tahun.
PRO DAN KONTRA SOSIAL MEDIA
Semakin ketatnya hak cipta dan hak terkait, di satu sisi merupakan perlindungan
pada nasib para komposer. Di sisi lain ini adalah hambatan bagi sosmed. Di sisi
seberangnya, hal ini berpengaruh terhadap keberadaan musik gitar klasik itu
sendiri. Sebetulnya tidak terbatas pada gitar klasik saja, melainkan juga pada
MUSIK KLASIK secara umum. Saya akan memberi ilustrasi begini:
Kita ini kan kalau nggak ada
youtube, sebetulnya nggak akan pernah
tahu secara pasti, bagaimana sebuah WTK BACH harus dimainkan. Andras Schiff, Daniel Barenboim lah yang memberi contoh lewat Youtube, gimana tuh memainkan WTK nya Bach secara baik
dan benar. Sayangnya, video Andras Schiff dan Barenboim, diunggah bukan oleh
yang bersangkutan. Melainkan oleh orang yang kebetulan hadir di acara tersebut
dan sempat merekam. Dengan adanya HAK TERKAIT, yakni berupa Hak publikasi
performance, hal semacam itu SEKARANG TIDAK DAPAT LAGI DILAKUKAN. Karena
penggunggahnya akan kena perkara. Pemerintah dapat melacak alamat IP dari si
pengunggah. Lha trus kalo begini, ke
depannya kita mau tahu main musik yang baik dan benar darimana? Selalu saja
bak mata uang. Satu sisi melindungi karya, sisi lain menutup akses untuk
mendapatkan pengetahuan.
Sosmed sebetulnya membuat semuanya menjadi lebih mudah. Hanya nampaknya, asa
bersenang senang dan gratisan sepertinya sudah berakhir. Nasib musik gitar
klasik akan tetap berada dalam kesejatian dan kecintaan para pelakunya. Sosmed
tetap dapat berperan dan tetap akan dipakai. Namun tentu dengan kehati hatian
disertai dengan sikap nan arif dan bijaksana. Sosmed tetap dapat dipakai untuk
men-share kegiatan. Termasuk yang memuakkan dan menjijikkan seperti misalnya
posting begini: “Pagi-pagi senam jari
latihan Bach...” Sambil mengunggah video seiprit dengan pakai celana
pendek. Ya sah-sah saja. Itulah realita.
Namun ke depan, sebetulnya perlu
digagas kembali. Untuk tetap ditumbuh suburkan group-group komunitas pencinta
gitar klasik. Namun kali ini tentu dengan aturan yang ketat. Bahwa tidak boleh
ada gratisan yang melanggar hak orang lain. Narsis
pun pake sopan santun. Dan juga termasuk, kalo tolol juga pake kira-kira.
No comments:
Post a Comment
Note: only a member of this blog may post a comment.