Monday, 5 September 2016

GITAR KLASIK DAN SOSIAL MEDIA - by: Michael Gunadi Widjaja (Staccato, September 2016)

 “GITAR KLASIK DAN SOSIAL MEDIA”
oleh: Michael Gunadi Widjaja
Staccato, September 2016


GOOD MORNING, SOSMED!
Sejak ditemukan dan aktifnya Internet, banyak sekali perubahan drastis yang dialami oleh umat manusia. Perubahan drastis tersebut berlangsung bukan secara evolusi, melainkan secara evolusi. Jejak yang paling nampak adalah bahwa dunia terasa semakin kecil. Jarak bukan lagi masalah. Gaya hidup manusia pun tentu akan berubah dengan semakin terasa sempitnya semesta kehidupan. Orang tidak lagi berduyun-duyun untuk membeli teh atau kopi sebagai sarapan pagi, melainkan INFORMASI-LAH yang kini menjadi menu utama sarapan pagi. Tentu hal sedemikian membawa pula konsekuensi. Ada baik buruknya. Namun apapun itu, ini adalah realita yang sekarang kita alami dan nampaknya akan terus kita alami, malahan dengan pembaharuan dan perubahan yang semakin gencar dan malah bisa sangat dramatis.

KECANGGIHAN DUNIA MAYA
Produk internet yang paling digjaya, tak dapat dipungkiri adalah adanya SOSIAL MEDIA, atau biasa dikenal sebagai SOSMED. Sosmed ini ada banyak rupa. Yang paling terkenal adalah: FACEBOOK,TWITTER, YOUTUBE, dan INSTAGRAM. Dengan sosmed, orang bisa berbagi informasi apa saja. Mulai dari sesuatu yang umum, sampai dengan ketelanjangan yang benar-benar vulgar dan bugil. Berita juga adakalanya disampaikan dan tersaji lebih cepat dan malahan bisa lebih detail dan akurat dibanding liputan dari kantor berita Professional.


Kecanggihan ini tentu saja bak keping mata uang. Jika kita bijak memakainya, maka keuntungan jelas berpihak pada kita. Namun jika tidak bijak, sosmed siap menelanjangi diri kita. Hal sedemikian, diperparah lagi dengan sifat sosmed yang Maya. Dengan sifat MAYA, banyak orang bertingkah polah dengan memuat tulisan secara seenaknya. Hal ini membawa dampak, bahwa sesuatu yang dimuat dan termaktub dalam sosmed, menjadi sangat sulit ditengarai dan ditetapkan keabsahan dan kebenarannya.

SOSMED DALAM RANAH GITAR KLASIK
Gitar klasik, di era sekarang ini, mau tidak mau, suka ataupun tidak suka, harus berada dalam koridor dan bahkan ranah semacam itu. Sebetulnya, banyak sekali peristiwa yang dialami gitar klasik sehubungan dengan adanya sosmed. Baik mengenakkan maupun menyakitkan. Baik positif maupun merugikan. Zaman sekarang, majalah gitar klasik ternama seperti “CLASSICAL GUITAR MAGAZINE” dan “SOUNDBOARD” juga memiliki sosmed. Jadi dengan demikian, segala unek-unek dari pembacanya tak lagi terbatas pada surat yang dikirimkan kepada redaksi. Namun dapat setiap saat, termasuk caci maki dan sumpah seraph.


Situs video sosmed juga dibanjiri oleh siapa saja yang ingin nampang main gitar klasik. Dari mulai amatiran yang mainnya tidak becus, sampai promosi dan teaser dari artis gitar klasik papan atas dunia. Yang menjadi repot adalah: Bahwa di sosmed, tidak bisa dengan mudah dibedakan antara artis gitar klasik dan pemain amatiran. Seorang MILOS KARADAGLIC dalam sosmed video, akan diperlakukan sama dengan anak SMA dari Tegal Jawa Tengah yang main gitar klasik asal-asalan. Dengan demikian, selera dan apresiasi publik, tidak berdasar pada mutu performansi, melainkan pada menarik tidaknya penampilan video nya. Ini sungguh merupakan hal yang merepotkan dalam membangun daya apresiasi publik terhadap musik gitar klasik.

GITAR KLASIK VS PIANO KLASIK: KALAH POPULER
Tidak dapat dipungkiri, bahwa gitar klasik di era sekarang sudah dapat dikatakan MATI. Dan bukan hanya di tanah air melainkan di seluruh belahan dunia. Saya ambil contoh sederhana saja. Mari kita amati sekolah-sekolah dan kursus musik di tanah air. Siswa piano nya 108, siswa gitar klasiknya 4. Siswa piano nya 350, siswa gitar klasiknya 7. Itu angka rata-rata yang saya amati, dan jika pembaca punya waktu luang silahkan melakukan penelusuran untuk membuktikan. Konser unjuk bakat juga hampir semua didominasi oleh siswa piano dan biola. Sementara gitar klasik, dengan bodi nya yang kecil dan bunyi yang lirih seperti pengemis miskin yang menjulurkan lidah menanti uluran remahan roti rejeki. Hal miskin dan memprihatinkan tersebut, mestinya dapat direduksi dengan adanya sosmed. Sebut saja misalnya FACEBOOK.


KOMUNITAS GITAR KLASIK
Di tanah air, pernah ada Group Facebook tentang gitar klasik. Hal yang sangat baik tentunya. Dengan adanya group facebook, maka akan terbentuk sebuah komunitas pecinta gitar klasik. Komunitas inilah sebetulnya yang diharapkan dapat menggairahkan bahkan menghidupkan kembali aura gitar klasik yang sudah terlanjur MATI SURI atau bahkan MATI. Dalam group tersebut juga dimuat pelajaran-pelajaran teknik dan pengalaman bermain gitar klasik. Oleh mereka yang betul-betul mampu berkapabilitas dan punya kompetensi untuk memberikan pelajaran dan pengalaman. Sayangnya, mental kita belum siap untuk itu. Banyak respon ditulis dengan maksud lucu namun terasa menjijikkan, memuakkan dan seperti kecebong yang keluar dari selokan. Hanya karena bersifat MAYA, yang artinya tak mudah ditengarai fisiknya, orang menjadi seenaknya untuk komentar di Facebook.


MASALAH HAK CIPTA
Kita semua sama-sama tahu, bahwa musik gitar klasik, untuk kehidupannya banyak ditopang oleh ketersediaan partitura atau score. Di facebook, score tersebut dibagi-bagikan secara gratis. Masalahnya adalah, pembagian gratisan seperti itu, SAMA SEKALI TAK MENGINDAHKAN NASIB ROYALTI UNTUK KOMPOSERNYA. Untuk musik yang pengarangnya sudah meninggal ratusan tahun dan telah menjadi public domain, itu tidak masalah. Namun untuk musik yang pengarangnya masih segar dan hidup, gratisan semacam itu jelas sebuah PENCURIAN ROYALTY. Maling dalam bentuk rekayasa sosmed. Masalah royalty atas hak cipta, menjadi ranjau bagi sosmed. Youtube misalnya. Sebetulnya situs video tersebut merupakan peluang bagi para pecinta gitar klasik untuk unjuk diri.

MAHALNYA MENGGELAR KONSER
Matinya gitar klasik, salah satunya disebabkan oleh mahalnya biaya menggelar konser. Sewa gedung pertunjukan kian hari harganya kian meroket. Belum lagi ijin pertunjukan yang harus diurus di kepolisian, yang menyita waktu, tenaga, dan tentu saja biaya. Tampil di Youtube sebetulnya dapat menjadi alternatif performance. Anda cuma pake celana pendek, kaos buntung, atau daster dengan keadaan belum mandi, Anda main musik gitar klasik, direkam dengan handphone, unggah ke youtube. Kelar, ringkas, sederhana, dan malah hampir tanpa ongkos. Dan tentu teman-teman Anda yang senasib akan dengan gembira men-share video Anda. Sehingga tanpa sadar, Anda sudah mendapatkan penonton dan penikmat. Tak ubahnya dengan Anda melakukan konser di gedung pertunjukan.


MASALAH HAK TAMPIL
Belakangan pemuatan video di Youtube terkena peraturan HAK CIPTA DAN HAL TAMPIL. Dalam hukum Indonesia, HAK TAMPIL ini dipadankan sebagai HAK TERKAIT. Urusan hukumnya, ditangani oleh lembaga kolektif yang didalamnya – ada KCI atau badan Karya Cipta Indonesia. Jadi, jika Anda membuat video untuk diunggah di youtube, pihak youtube akan memeriksa dahulu. Kalau jenis unggahannya nampak seperti sebuah rekaman pertunjukan dengan bayar tiket, sudah pasti video Anda akan di-BANNED. Kecuali jika Anda memainkan musik yang sudah berumur ratusan tahun.

PRO DAN KONTRA SOSIAL MEDIA
Semakin ketatnya hak cipta dan hak terkait, di satu sisi merupakan perlindungan pada nasib para komposer. Di sisi lain ini adalah hambatan bagi sosmed. Di sisi seberangnya, hal ini berpengaruh terhadap keberadaan musik gitar klasik itu sendiri. Sebetulnya tidak terbatas pada gitar klasik saja, melainkan juga pada MUSIK KLASIK secara umum. Saya akan memberi ilustrasi begini:

Kita ini kan kalau nggak ada youtube, sebetulnya nggak akan pernah tahu secara pasti, bagaimana sebuah WTK BACH harus dimainkan. Andras Schiff, Daniel Barenboim lah yang memberi contoh lewat Youtube, gimana tuh memainkan WTK nya Bach secara baik dan benar. Sayangnya, video Andras Schiff dan Barenboim, diunggah bukan oleh yang bersangkutan. Melainkan oleh orang yang kebetulan hadir di acara tersebut dan sempat merekam. Dengan adanya HAK TERKAIT, yakni berupa Hak publikasi performance, hal semacam itu SEKARANG TIDAK DAPAT LAGI DILAKUKAN. Karena penggunggahnya akan kena perkara. Pemerintah dapat melacak alamat IP dari si pengunggah. Lha trus kalo begini, ke depannya kita mau tahu main musik yang baik dan benar darimana? Selalu saja bak mata uang. Satu sisi melindungi karya, sisi lain menutup akses untuk mendapatkan pengetahuan.

Sosmed sebetulnya membuat semuanya menjadi lebih mudah. Hanya nampaknya, asa bersenang senang dan gratisan sepertinya sudah berakhir. Nasib musik gitar klasik akan tetap berada dalam kesejatian dan kecintaan para pelakunya. Sosmed tetap dapat berperan dan tetap akan dipakai. Namun tentu dengan kehati hatian disertai dengan sikap nan arif dan bijaksana. Sosmed tetap dapat dipakai untuk men-share kegiatan. Termasuk yang memuakkan dan menjijikkan seperti misalnya posting begini: “Pagi-pagi senam jari latihan Bach...” Sambil mengunggah video seiprit dengan pakai celana pendek. Ya sah-sah saja. Itulah realita.


Namun ke depan, sebetulnya perlu digagas kembali. Untuk tetap ditumbuh suburkan group-group komunitas pencinta gitar klasik. Namun kali ini tentu dengan aturan yang ketat. Bahwa tidak boleh ada gratisan yang melanggar hak orang lain. Narsis pun pake sopan santun. Dan juga termasuk, kalo tolol juga pake kira-kira.

No comments:

Post a Comment

Note: only a member of this blog may post a comment.