“MUHAMMAD
ALI
DALAM KENANGAN JAZZ”
DALAM KENANGAN JAZZ”
oleh:
Michael Gunadi Widjaja
MUHAMMAD ALI IN MEMORIAM
Petinju
legendaris Muhammad Ali, telah meninggal dunia belum lama ini pada usia 74
tahun. Dunia merasa kehilangan salah satu tokoh, yang ikut mengukir perjalanan
sejarah napak tilas peradaban manusia, khususnya di abad ke-20. Muhammad Ali dinobatkan
sebagai salah seorang atlet terbesar di abad ke-20. Ali juga dirayakan sebagai
atlet yang namanya paling berkibar di abad ke-20. Sosok Muhammad Ali bukan
semata seorang petinju. Tak cuma atlet olah raga keras. Dan juga bukan seorang
yang dengan jumawa mengobral rangkaian omong kosong. Muhammad Ali adalah sosok
yang ikonik. Sebuah nama besar dalam pribadi tangguh. Sosok legenda sejati dan
yang terpenting, sepanjang karir dan masa hidupnya, Ali telah banyak memberikan
kontribusi bagi kemanusian dan ikut mencerahkan wajah dunia.
BENANG EMAS MUHAMMAD ALI &
MUSIK JAZZ
Menjadi
menarik,untuk sejenak melakukan renungan dan permenungan. Menarik benang emas
antara sosok Muhammad Ali dan Musik Jazz. Bukan sebagai hal yang mengada-ada. Bukan
mencari sensasi dengan mencocok-cocokkan fakta. Namun mencari esensi sisi
kemanusiaan dan budaya. Bukankah sebuah budaya pada hakekatnya adalah cerminan
napak tilas kemanusiaan yang nyata dan bukan sekedar angan yang ngungun dan
utopis belaka?
FIGUR MINORITAS
Hal
pertama adalah, bahwa Muhammad Ali adalah figur kulit hitam. Tentu saja Ali
adalah golongan minoritas yang rawan diskriminasi di negaranya dan pada zamannya.
Sama persis dengan Jazz. Jazz sejati adalah BLACK
PEOPLE. Sebuah ragam budaya minoritas yang termarjinalkan, ditengah
hiruk/pikuk budaya European yang
melenggang merajalela dan menancapkan hegemoninya.
Ali
adalah sosok pemberontak. Terhadap diskriminasi lingkungan, termasuk dalam hal
melakukan kegiatan peribadatan agamanya. Itulah mengapa kemudian Ali, si Cassius Clay mencari dan mendapatkan
Hidayah untuk kemudian menjadi pemeluk agama Islam. Sebuah religi yang kala itu
sarat stigmatisasi dan rawan gangguan sosial. Ali mengikuti jejak Malcolm X. Yang melakukan pemberontakan
berupa pendobrakan melalui Liga Muslim, yang kala itu sangat menjunjung tinggi
toleransi dan kesataraan di negara semacam Amerika Serikat. Jazz juga memiliki
nasib yang sama dengan Ali. Sebuah budaya marginal. Yang memberontak demi untuk
sebuah kesetaraan sosial dan kultural. Demi kesejajaran martabat. Dan seperti
halnya Muhammad Ali, pemberontakan Jazz terjadi di negara yang paling getol
mendengang dengungkan Demokrasi yang saripatinya adalah “LIBERTE, EGALITE, DAN FRATERNITE.”
INSPIRASIONAL: DARI JALANAN KE
PANGGUNG DUNIA
Karir
bertinju Muhammad Ali tidaklah seperti Mike
Tyson. Ali tidak beranjak dari pertarungan liar jalanan ala Tyson. Muhammad
Ali adalah atlet yang terdidik, berintelegensia cemerlang dan mendapat asupan
akademik olah raga tinju secara baik. Karir cemerlangnya bukan dimulai dari adu
untung simpatik promotor. Melainkan sebagai PERAIH MEDALI EMAS OLIMPIADE BAGI
NEGARA AMERIKA SERIKAT.
Jazz
pun demikian. Sekalipun tumbuh dari sebuah akar budaya marjinal dan
termarjinalkan, Jazz bukanlah sebuah seni jalanan amburadul yang asal-asalan. Pemusik
Jazz generasi pertama boleh saja tidak pernah mencecap ilmu musik secara
akademis. Namun mereka memiliki passion, intelegensia yang meskipun instingtif
namun sangat cemerlang dan juga memiliki konsep. Meski dalam pikiran mereka
konsep ini lebih berupa passion yang dipacu untuk menggapai cita-cita.
Dalam
Era Modern, saat segalanya menjadi lebih kompleks, jejak langkah karir Muhammad
Ali nampak semakin menginspirasi Jazz Modern. Jazz Modern tak sekedar
mengandalkan intuisi dan bakat semata. Melainkan mengikutsertakan pula alur dan
konsep komposisi yang tertata, runut dan memiliki nilai scholar yang sangat baik.
OLAHRAGA TINJU: SENI &
ENTERTAINMENT
Gaya
bertinju Muhammad Ali juga bukan semata berlaga dalam olah raga keras. Ali
berhasil menjadi manusia pertama yang menjadikan tinju BUKAN SEMATA SEBAGAI
SPORT, MELAINKAN SEBAGAI SEBUAH SENI SEKALIGUS
ENTERTAINMENT.
Maka tak heran jika Muhammad Ali mendapat julukan sebagai SENIMAN RING TINJU. Di
tangan Ali, tinju tidaklah seperti gaya Mike Tyson yang slugger main seruduk, hantam
dan lawan terkapar.
Bagi
Muhammad Ali, tinju adalah sebuah seni pertunjukan. Penampilan Muhammad Ali
senantiasa didahului oleh jumpa pers. Dalam jumpa pers tersebut, Ali dengan
lantang dan gaya bicara yang ceplas ceplos bahkan kadang arogan, melakukan
perang urat syaraf terhadap lawannya. Hal yang tidak pernah, mungkin karena
tidak mampu dilakukan petinju manapun. Selesai perang urat syaraf, Ali biasa
melanjutkan dengan sesi foto. Di situlah ia berpose dengan kepalan tinjunya
bagai seorang Ballerina. Seringkali dimeriahkan dengan banyak perempuan super
cantik berpakaian minim.
Saat
berada di ring pun, Ali tidak memasang gaya seram bak seorang pembunuh. Melainkan
gaya seniman sejati yang tahu benar cara menaklukkan lawan. Cus D Amato, pelatihnya, memperkenalkannya
gaya “Hit
and Run”. Ali melancarkan jab-jab
ringan sembari berlari lari kecil mengitari ring tinju selama pertandingan
berlangsung. Tentu ini membutuhkan napas dan stamina yang teramat sangat luar
biasa.
DIALOG: ESENSI MUSIK JAZZ
Jazz
sejati juga bukan sebuah pertunjukan seperti Musik Klasik. Yang pemusiknya
hadir di panggung, beri hormat pada penonton yang duduk dengan diam dan tertib,
kemudian tanpa ba bi bu langsung
main. Jazz sejati adalah sebuah seni agitatif. Jazz sejati dalam pagelarannya
membutuhkan antusiasme dan respon publik. Celotehan kecil, teriakan kagum
sampai pekikan orgasme seringkali dan acapkali mewarnai pertunjukan Jazz
sejati. Esensi Jazz pun, tak semata dinilai dari performansi yang tanpa salah. Melainkan
lebih kepada dialog antar para pemainnya. Dialog yang bisa menjadi sangat
melebar dengan improvisasi, namun koridor tematiknya senantiasa terjaga.
SISI LAIN SENI TINJU: BUKAN
SEKEDAR ADU OTOT
Sepanjang
hidupnya, Muhammad Ali kerap menjadi duta bangsa dan bahkan duta dunia untuk
misi perdamaian. Cukup mengherankan, bagaimana bintang olah raga berantem dapat
menjadi duta damai. Tapi itulah Muhammad Ali. Dengan kepandaiannya, daya pikat
karismanya, serta mutu omongan yang cerdas dan politis, Ali berhasil mengunggah
sisi lain dari olah raga Tinju. Bukan semata-mata olah raga adu otot, melainkan
olah raga lelaki sejati yang berseni dan bisa menjadi komoditas lobi politis.
Jazz
pun demikian. Diskriminasi rasial Amerika, secara politis runtuh ketika orang
kulit putih bersama-sama dengan kulit hitam memainkan Musik Jazz. Seorang Bill Clinton mempergunakan permainan
Jazz Saxophone nya untuk keperluan lobi politis. Presiden Obama pun kerapkali
mendatangkan musisi Jazz untuk melakukan pengkondisian di Gedung Putih dalam
pertemuan politisnya.
FILM “THE GREATEST”
Ranah
seni sebetulnya juga telah melakukan eksplorasi dan eksploitasi terhadap
kegemilangan sosok dan karir Muhammad Ali. Tahun 1977, dibuat film berjudul “THE
GREATEST”. Disutradari oleh Tom
Gries dan Monte Hellman. Film
tersebut adalah sebuah biografi. Menceritakan karir Ali sejak merebut medali
emas Olimpiade di tahun 1960 sampai ketika ia merebut gelar juara dunia kelas
berat tahun 1974 dari tangan George Foreman.
Dalam sebuah pertarungan yang akan dikenang sepanjang masa oleh dunia tinju, dan
dikenal sebagai “RUMBLE IN THE JUNGLE,” KARENA BERLANGSUNG DI KINSHASHA, AFRIKA.
Ali membintangi dirinya sendiri dalam film tersebut. Salah satu hal yang sangat
mengesankan di film tersebut adalah adanya lagu “THE GREATEST LOVE OF ALL”
yang kemudian menjadi lagu Pop termanis dan terinspiratif sepanjang masa.
The
Greatest Love of All, lagunya dikarang oleh Michael Masser. Liriknya yang sangat menggugah dan inspiratif, ditulis
oleh Linda Creed. Lagu ini
dipopulerkan oleh George Benson di
tahun 1977, dalam sebuah single piringan hitam yang diproduksi ARISTA RECORD. Lagu
ini segera melejit menempati papan atas dalam chart lagu populer dan bertahan
cukup lama.
George
Benson sendiri dikenal sebagai sosok legenda Jazz. Benson adalah seorang
gitaris, penyanyi, pengarang lagu, dan juga pembawa gaya bermain Jazz yang
sampai sekarang masih ditiru banyak pemusik. Yakni “Scat and Pluck”. Benson
berimprovisasi lewat mulut sekaligus mengalun nada yang sama dengan gitarnya. Gaya
petikan gitar Benson sebetulnya adalah adaptasi dari gaya bermain gitar Django Reinhardt.
Gaya
Scat and Pluck ini diikuti oleh Toots
Thielemans, namun bukan dengan scat melainkan whistling atau bersiul. Di
Indonesia, pemusik Mus Mujiono
melakukan teknik George Benson. Mendengar George Benson membawakan lagu The
Greatest Love of All, sama saja dengan mendengar seorang legenda yang berkisah
tentang sosok legenda yang lain, yakni Ali sang legenda tinju.
Pada tahun 1985, Whitney Houston membawakan The Greates Love of All dengan cover baru yang sungguh amat cantik, manis, menawan, passionate, inspiratif, dan indah secara total. Saat dibawakan Whitney Houston, judul lagu mengalami perubahan menjadi Greatest Love of All. Kata sandang THE dihilangkan, yang berarti bahwa lagu tersebut tidak lagi ditujukan sebagai predikat Muhammad Ali, melainkan lebih bersifat universal.
PERJUANGAN MELAWAN PENYAKIT
PARKINSON
Di
akhir hidupnya, Muhammad Ali menderita penyakit Parkinson selama hampir dua
puluh tahun menjelang kematiannya. Namun perjuangannya mengatasi penyakit
tersebut menginspirasi banyak orang. Jazz pun, dimasa sekarang sedang mengalami
sakit parkinson. Jazz kebingungan. Filosofi pemberontakannya nampak sudah usang
oleh derap dan degup kemajuan zaman. Dialog improvisasinya kalah lantang
dibanding gaya hidup modern yang hedonis. Penggemar Jazz semakin surut. Generasi
sekarang seperti sudah tercerabut dari akar budaya Jazz yang sejati. Namun, marilah
kita ingat kata promotor dunia, DON KING
yang juga turut membesarkan nama Muhammad Ali.
Muhammad
Ali telah meninggal dunia. Namun spiritnya akan tetap menginspirasi umat
manusia sampai kapan pun. Begitu pula dengan JAZZ. JAZZ boleh saja sepi dan
mati. Namun dunia takkan pernah lupa, bahwa ada satu budaya yang marjinal,
namun dapat turut mengukir jalannya sejarah.
No comments:
Post a Comment
Note: only a member of this blog may post a comment.