Saturday, 5 December 2015

"JAZZ STARTER KIT" - by: Michael Gunadi Widjaja

"JAZZ STARTER KIT"
by: Michael Gunadi Widjaja



BELAJAR JAZZ: HARUS MULAI DARIMANA?
Dari napak tilas Jazz yang panjang, ada seuntai tali ungu yang senantiasa menarik ditarik dan diulur. Bahwa keterlibatan orang kulit putih lah yang menyebabkan Jazz dapat dipelajari dengan metode yang akademik. Pianis, trompetis, saxophonis, dan -is -is Jazz legendaris, tidak pernah menyamakan persepsi secara literer seperti anggota orkestra Musik Klasik. 

Mereka, para jazzer legendaris ini bermain Jazz bagaikan MENGOBROL dengan topik obrolan yang bagai di kedai kopi. Bahasa yang dipergunakan kadang berbeda. “Lho kok bisa ngobrol dengan bahasa berbeda??!!” Bisa, sangat bisa karena ada kesamaan PASSION. Hal sedemikian tadi oleh pemusik Ras Eropa diselidiki, kemudian dipelajari, lantas kemudian diolah dan hasilnya adalah metoda belajar Jazz seperti yang kita kenal sekarang di seantero dunia, tentu termasuk di tanah air kita. 

Jadi dengan demikian, apa bisa dikatakan bahwa jaman sekarang orang bisa belajar Jazz? Jawabannya YA. Persoalannya adalah: Cara belajar macam apa yang tersedia sekarang ini? Itulah yang dimaksud dengan JAZZ STARTER KIT.

Friday, 4 December 2015

"GITAR, DIMANAKAH SENGATMU?" - by: Michael Gunadi Widjaja (Staccato, December 2015)

"GITAR, DIMANAKAH SENGATMU?"
by: Michael Gunadi Widjaja
Staccato, December 2015


“Hei! udah sore nih…jangan gitaran aja dong!!”

Di bagian lain,seorang ketua RT berkeluh kesah:
“Wah, banyak pemuda di kampung kita yang kerjanya cuma gitaran melulu..”

Juga seorang ibu dari seorang anak SMP yang dengan kesalnya setengah berteriak:
”STOP! Udah sih! Berhenti! Hentikan tuh gitaran mu! Jrang jreng jrang jreng tak karuan...”



FENOMENA GITAR VS PIANO
Ilustrasi tersebut setidaknya menyiratkan pada kita bahwa sampai detik ini, bermain gitar masih diidentikkan dengan kegiatan yang kurang bermakna. Kegiatan pengisi waktu yang malah membuang waktu. Juga sebuah aktifitas yang “mengganggu” sampai batas tertentu.

Yang menarik adalah, jika kita cermati, hampir tidak ada, dan mungkin malah tidak akan pernah ada orang, atau orang tua yang berteriak “SUDAH JANGAN BERPIANO TERUS!” Kenapa fenomena ini terjadi? Faktual yang paling mudah ditengarai adalah karena alat musik piano harganya mahal, bahkan sangat mahal. Jadi logikanya, karena piano sudah dibeli dengan sangat mahal, orang tua malah akan sangat gembira, jika sang anak terus menerus keasyikan bermain piano. Berbeda dengan gitar yang dengan satu juta rupiah saja sudah bisa mendapat gitar kualitas bagus. Untuk piano, hehehe… dua puluh juta pun hanya mendapat piano bekas yang disana-sini mulai dihinggapi rayap.


And that’s guitar! Itulah gitar. Senantiasa dipandang sebelah mata, dinilai rendah, dan dimiskinkan. Kadang hanya karena persepsi yang dibangun oleh sebuah identitas dan keidentikan yang semu semata. Sejak awal perkembangannya gitar memang sarat dengan penilaian underestimate. Ada serangkaian kisah menarik tentang gitar. Barangkali saja kisah tersebut sempat menyapa otak dan menebarkan aroma di sanubari kita semua bahwa tidak selamanya yang murah dan merakyat itu tidak punya kelas.