Kita sama-sama tahu bahwa jika musik dianggap sebagai produk budaya dan bentuk simbolik, maka musik tersebut merupakan bagian dari kehidupan bermasyarakat. “Sebagai bunyi yang terorganisir, ia mengekspresikan aspek-aspek pengalaman individu dalam masyarakat.” Sebagai satu bentuk sajian pengalaman bersama atau komunal, musik memobilisasi dan menyatukan kelompok, berkontribusi pada gerakan mereka, khususnya saat musik dipakai untuk mengiringi perayaan dan ritual. Hal ini meletupkan gairah pada kekerasan dan pertarungan kehidupan itu sendiri, begitu juga dengan semangat dan emosi yang meluap-luap.
Singkatnya, hal ini mengungkapkan proses sosial dan politik yang, seperti pengamatan Jean Jacques Rousseau, seorang Filsuf Perancis, “mampu bertindak secara fisik pada tubuh.” Namun ciri-ciri ini juga terkadang menghadirkan satu teka-teki dalam ranah musik itu sendiri, yang seolah-olah tidak mau dan tidak mampu mengatakan apa pun. Hal ini tentu bertautan dengan Simbolisme dalam musik itu sendiri.
Meskipun semua aktivitas sosial dan budaya terdiri dari makna-makna yang menjadikan bahasa sebagai kode dan norma, yang dianggap sejak eranya Humboldt, kemudian Sapir dan Whorf sebagai penyebab utama terbentuknya masyarakat; musik, meskipun secara nyata bersifat sosial dan ekspresif, tampaknya tidak memiliki makna yang nyata akan kapasitas semantik untuk memenuhi dimensi aktif dan informasional dari sebuah pernyataan. Inilah paradoks dalam ekspresi musik: tanpa mengacu pada gambaran dunia yang terlihat, musik tetap mengungkapkan sesuatu tentang dunia, dan bebas dari ikatan referensial apa pun, bahasanya bergantung pada sesuatu selain dirinya sendiri, meski musik senantiasa mampu membahasakan dirinya sendiri.