Thursday, 5 February 2015

"JAZZ YANG MENDIDIK" by: Michael Gunadi Widjaja (Staccato, February 2015)

"JAZZ YANG MENDIDIK"
by: Michael Gunadi Widjaja
Staccato, February 2015



MUSIK SEBAGAI HIBURAN SEMATA
Ketika mendengar kata “MUSIK,” maka sebagian terbesar orang akan berasosiasi pada bentuk HIBURAN. Sangat jarang bahkan dapat dikatakan sangat langka, orang di tanah air kita, yang langsung berasosiasi dengan ranah pendidikan ketika mendengar kata “Musik”. Tentu sah-sah saja dan fenomena ini nampak betul adanya. Memang dengan acuan kultur dan tradisi yang dianut sebagian terbesar penduduk Indonesia, agak sulit mengkonotasi dan mengasosiasi serta mengkonsiderasi musik dengan ranah pendidikan. Contoh nyata memang sangat tidak mendukung bagi musik untuk diekuivalenkan dengan ranah pendidikan.

Para pemusik Pop misalnya. Gaya hidupnya gemar mencari sensasi yang kadang kebablasan. Nikah cerai bagai hewan ternak. Busana yang aneh dan seolah mengidentikkan diri dengan makhluk dari alam “sana”. Belum lagi ketergantungan pada narkose dan obat-obatan. Malah beberapa pemusik Pop seolah sudah menjadikan narkotika dan obat-obatan sebagai bagian dari musical lifestyle nya


Bagaimana dengan para pemusik Klasik? Hampir sama saja. Pianis top umumnya memiliki tabiat yang sangat tidak terpuji. Sosok Andras Schiff misalnya. Dalam ranah keartisan musisi Klasik dikenal sebagai biang kerok yang suka cari perkara dengan siapa saja. Glenn Gould, sang Maha Pianis, ah… Dia itu eksentrik dan memang gila. Evgeny Kissin, terlalu autis dan asyik dalam tempurung dunianya sendiri. Para legenda Musik Klasik sendiri, banyak yang bertabiat sangat aneh. Beethoven sang pemberang, Mozart yang memiliki kelainan orientasi seksual, Dvorak yang jatuh cinta pada lokomotif kereta api…dan..dan..dan…….dan. Lalu masih adakah tempat bagi pendidikan musik?


PENDIDIKAN MUSIK SEBAGAI PROSES
Nampaknya, pendidikan musik harus dimaknai sebagai sebuah proses. Bukan sebagai sebuah asupan empiris belaka. Musik membahasakan dirinya. Dan bahasa diri itulah yang merupakan stimulasi proses pembelajaran sekaligus pendidikan. Musik harus dimaknai sebagai lebih dari sekedar keteladanan. Silahkan saja guru musik mengajar dengan hanya mengenakan bra dan celana dalam. Yang lebih utama adalah bagaimana tradisi merespon hal tersebut, dan bahasa musik yang bagaimana yang diajarkan si guru. Pola berpikir semacam ini tentu masih sangat jauh untuk dikonsumsi masyarakat kita. Esensi seringkali dikaburkan dengan apa yang digembar gemborkan sebagai sebuah keteladanan, yang sebetulnya adalah mercusuar semu. Suatu saat, jika pola pikir masyarakat sudah pas, maka akan ada tempat yang pas pula bagi kelainan sex nya Mozart. Akan ada ruang yang pas pula bagi penyanyi yang lepas celana dalam di panggung.


PENDIDIKAN MUSIK KUNO = KETERAMPILAN BERMAIN MUSIK?
Bicara soal ranah pendidikan musik di tanah air, tentu dari sudut pandang saya yang bukan seorang music educator, ada satu fakta unik. Pendidikan musik lazimnya diidentikkan dengan belajar keterampilan bermain instrumen. Jika bicara soal ketrampilan main instrumen, maka seolah sudah menjadi kodrat bahwa Musik Klasik lah sang Maharaja Diraja. Banyak parents sok tahu yang seperti kebakaran celana dalam jika tahu anaknya main lagu Pop. Banyak juga yang seperti kebakaran bulu ketek jika tahu anaknya main musik yang sedikit “diluar pakem”. Celakanya, si guru pun seperti kehabisan materi mengajar. Sejak jaman meneer Holland sampai jamu Nyonya Meneer, mati hidup pake Hanon, Czerny, Duvernoy, dan sebangsanya. Jawabannya bahwa buku-buku itu adalah klasik tradisi yang terbukti turun temurun. Bagi saya, guru musik yang seperti itu adalah mereka yang berapologi menutupi ketidakmampuannya untuk mengembangkan diri mencari buku ajar yang lebih pas untuk keadaan siswa di jaman gila seperti sekarang ini.


Pendidikan musik bukan cuma terampil main instrumen seperti ronggeng monyet dan beruang sirkus. Pendidikan musik hanya bisa berhasil apabila siswanya merasa senang dan merasa butuh musik. Bagaimana bisa senang dan merasa butuh jika tiap kali les si siswa merasa bagai latihan menahan siksaan. Bagaimana si siswa bisa ada passion and need for music jika dia tidak paham latihan Hanon. Dia tidak paham gravity exercise tuan Duvernoy. Dia merasa dihadapkan pada tuan asing saat membuka Carl Czerny. Ada baiknya jika pendidikan musik seiring jalan dengan kultur yang acapkali merambah si siswa. Juga dengan gaya hidup dan lingkungan keluarganya. Sangat aneh jika siswa yang parentsnya punya koleksi lagu dangdut lima lemari dipaksa main Duvernoy hingga tamat satu buku. Dengan demikian, pendidikan musik sebetulnya membutuhkan alternative, membutuhkan PILIHAN dari hanya sekedar Musik Klasik baku yang sudah keenakan menjadi Maharaja Diraja ratusan tahun. Apakah musik Jazz dapat menjawab tantangan ini?

MAKNA PENDIDIKAN MUSIK
Pertama-tama, mungkin adalah agak bijaksana untuk memaknai terlebih dahulu, bahwa yang dimaksud dengan pendidikan, bukan hanya pendidikan bagi manusia usia anak. Remaja perlu pendidikan. Orang dewasa pun sangat perlu pendidikan. Kenyataannya banyak kita jumpai orang dewasa yang tidak tahu diri, tidak tahu malu, dan sangat kurang ajar. Pemaknaan semacam ini layak dijadikan pijakan untuk mencoba menelisik Jazz yang mendidik.

FENOMENA CHILD PRODIGY
Jika kita bicara dalam ranah Musik Popular dan/atau Musik Klasik, dengan sangat gampang kita akan menemukan banyak sekali “anak-anak ajaib”. Usia 5 sampai 8 tahun sudah bisa main Rhapsody. Sudah sangat bagus main Fantasia. Atau juga anak lima tahun yang memiliki kualitas vocal jernih bening seperti embun pagi plus bisa bergaya narsis amit-amit seperti artis papan atas dunia. 

Bagaimana dalam ranah Musik Jazz? Fenomena child prodigy ternyata sangat jarang bahkan langka terjadi. Bahkan di distrik Harlem New York dan New Orleans sendiri, fenomena das Wunderkind untuk Jazz masih tergolong langka. Banyak anak kecil yang bisa menyanyikan lagu Jazz dengan karakter yang individual Jazz lengkap dengan striking nya. Namun lazimnya si anak tersebut sangat sulit untuk dapat melakukan solo improvisasi, yang padahal adalah jiwa dari Jazz. Dari paparan fakta ini, kita bisa sedikit menali simpul, bahwa Jazz yang mendidik bukan pada porsinya untuk dihadirkan dalam ranah pendidikan musik bagi usia anak. Namun Jazz yang mendidik tetap adalah asupan materi pendidikan musik yang sangat layak untuk digapai. Lalu kira-kira apa kontribusi Jazz bagi ranah pendidikan musik?


JAZZ LEGACY
Sebetulnya, satu hal hakiki saat orang bermain Jazz adalah kemampuan untuk BEKERJASAMA DAN BERSIKAP KOOPERATIF SAMBIL MEMELIHARA DAN MENGOLAH JATI DIRI. Peristiwa ini sekaligus merupakan keistimewaan musik Jazz dibanding genre musik yang lain. Dalam ensembles dan orkestra Klasik, orang dapat bekerjasama dan kooperatif satu sama lain. Namun apakah dalam saat yang bersamaan dia mendapat kesempatan untuk memelihara dan mengolah jatidirinya? Jawabannya adalah TIDAK. Warisan inilah yang menjadikan Jazz adalah sebuah genre musik yang sangat mendidik. Seni bermain Jazz merupakan bekal bagi seni hidup itu sendiri. Dalam kehidupan nyata, kita selalu dituntut untuk bisa beradaptasi dengan lingkungan, baik lingkungan tempat tinggal maupun lingkungan pekerjaan. Jika kita tidak mau menjadi kaum tergusur. Namun resikonya, kita bisa kehilangan jati diri kita. Kita bisa menjadi manusia yang bukan diri kita lagi, karena terlanjur larut dan lebur dalam lingkungan. Nah, Jazz melatih dan memberi asupan pada karsa kita, bagaimana untuk dapat beradaptasi dengan lingkungan tanpa harus tercerabut dari jati diri kita dan bahkan dasar budaya kita. That’s Jazz.



KEBEBASAN BEREKSPRESI DALAM MUSIK JAZZ
Bicara Jazz, kebanyakan orang, termasuk yang sok tahu dan ngaku-ngaku pemusik Jazz, selalu bicara soal kebebasan ekspresi. Istilah kebebasan ekspresi bagi saya seperti tumpukan pakaian dalam bau yang sudah tiga minggu tak dicuci. Basi dan bau serta menjijikkan. Kenyataannya banyak orang yang berlindung dengan istilah kebebasan ekspresi untuk menutupi secara licik dan curang akan ketidak mampuannya dalam memainkan instrumen. Dalam Jazz, kebebasan ekspresi dimaknai sebagai bebas bertanggung jawab. Dan ada satu hal unik sehubungan dengan bebas-bebas ini. Saat bermain solo improvisasi, seorang pemusik Jazz tidak dalam keadaan semata asyik dengan dirinya sendiri. Pemusik Jazz yang sedang ber solo improvisasi bukan sedang bermasturbasi, melainkan dia dituntut untuk berbagi ORGASME dengan pemusik lainnya. Solo impronya HARUS menjadi stimulant bagi pemusik lain saat itu sekaligus memiliki andil bagi keseluruhan komposisi. Dalam cerminan sosialnya, fenomena ini secara tidak langsung memberi pesan moral pada para pemainnya agar senantiasa memberi andil dan inspirasi bagi sesama warga masyarakat dan juga lingkungan. Sebuah aura pendidikan yang teorinya kencang namun melempem pada prakteknya. Jazz dengan asupan estetisnya siap menjawab tantangan semacam itu.

ESENSI TRADISI MUSIK JAZZ
Jazz yang mendidik dalam esensinya sebetulnya bicara tentang sebuah genre musik yang akarnya adalah ketertindasan. Jazz adalah musik orang-orang jujur dan lugu. Yang ditekan oleh dominasi beralaskan keserakahan atas nama modal. Persoalannya adalah, sampai sejauh mana tradisi kejujuran dan keluguan Jazz bisa terus dipelihara. Jika seorang guru memberi materi Jazz, sebetulnya ada beban moral yang harus dipikul. Bahwa siswanya sebetulnya sedang diperkenalkan kepada kejujuran dalam bentuknya yang paling hakiki. Tabu dan sontoloyo jika dalam mengajarkan Jazz ada siswa yang mencontek solo improvisasi orang lain kemudian mengaku-ngaku itu adalah ide orisinilnya. Ada lagi persoalan seputar Jazz literer. Dimana score solo improvisasinya sudah ditulis lengkap. Secara bijak seorang guru yang mengajarkan Jazz semestinya memberi batasan tegas, bahwa Jazz literer memang Jazz namun dibuat dengan susunan komposisi khusus, dengan konsekuensi bahwa roh Jazz nya akan sedikit banyak menjadi terkikis.

Agaknya sedikit menarik untuk mengutip pernyataan David Liebman, seorang pemusik Jazz dan penulis aspek pendidikan Musik Jazz:

Playing jazz combines several qualities: instinct, honesty, confidence, experience, trust, imagination and a positive attitude. No matter what walk of life one enters in the future these are qualities that will serve any human being well. The saying that “the pen is mightier than the sword” is applicable to how I feel about teaching. To my mind, though this may appear to be an extreme and categorical judgment, unless an individual is an innovator who changes the history of an art form, one’s influence as a teacher, be it formal or not is more powerful than the playing of the music itself. It is important and noble work.

Kata akhirnya adalah: 
Jika ingin merasa hidup ini lebih bermakna,
tak ada salahnya jika kita memberi sapaan lebih mesra pada JAZZ.

No comments:

Post a Comment

Note: only a member of this blog may post a comment.