"JAZZ YANG MENDIDIK"
by: Michael Gunadi Widjaja
Staccato, February 2015
MUSIK SEBAGAI HIBURAN SEMATA
Ketika mendengar kata “MUSIK,” maka
sebagian terbesar orang akan berasosiasi pada bentuk HIBURAN. Sangat jarang
bahkan dapat dikatakan sangat langka, orang di tanah air kita, yang langsung
berasosiasi dengan ranah pendidikan ketika mendengar kata “Musik”. Tentu
sah-sah saja dan fenomena ini nampak betul adanya. Memang dengan acuan kultur
dan tradisi yang dianut sebagian terbesar penduduk Indonesia, agak sulit
mengkonotasi dan mengasosiasi serta mengkonsiderasi musik dengan ranah
pendidikan. Contoh nyata memang sangat tidak mendukung bagi musik untuk diekuivalenkan
dengan ranah pendidikan.
Para pemusik Pop misalnya. Gaya hidupnya
gemar mencari sensasi yang kadang kebablasan. Nikah cerai bagai hewan ternak. Busana
yang aneh dan seolah mengidentikkan diri dengan makhluk dari alam “sana”. Belum
lagi ketergantungan pada narkose dan obat-obatan. Malah beberapa pemusik Pop
seolah sudah menjadikan narkotika dan obat-obatan sebagai bagian dari musical lifestyle nya.
Bagaimana dengan
para pemusik Klasik? Hampir sama saja. Pianis top umumnya memiliki tabiat yang
sangat tidak terpuji. Sosok Andras
Schiff misalnya. Dalam ranah keartisan musisi Klasik dikenal sebagai biang
kerok yang suka cari perkara dengan siapa saja. Glenn Gould, sang Maha Pianis, ah… Dia itu eksentrik dan memang
gila. Evgeny Kissin, terlalu autis
dan asyik dalam tempurung dunianya sendiri. Para legenda Musik Klasik sendiri, banyak
yang bertabiat sangat aneh. Beethoven
sang pemberang, Mozart yang memiliki
kelainan orientasi seksual, Dvorak
yang jatuh cinta pada lokomotif kereta api…dan..dan..dan…….dan. Lalu masih
adakah tempat bagi pendidikan musik?
PENDIDIKAN MUSIK SEBAGAI PROSES
Nampaknya, pendidikan musik harus dimaknai
sebagai sebuah proses. Bukan sebagai sebuah asupan empiris belaka. Musik
membahasakan dirinya. Dan bahasa diri itulah yang merupakan stimulasi proses
pembelajaran sekaligus pendidikan. Musik harus dimaknai sebagai lebih dari
sekedar keteladanan. Silahkan saja guru musik mengajar dengan hanya mengenakan
bra dan celana dalam. Yang lebih utama adalah bagaimana tradisi merespon hal
tersebut, dan bahasa musik yang bagaimana yang diajarkan si guru. Pola berpikir
semacam ini tentu masih sangat jauh untuk dikonsumsi masyarakat kita. Esensi
seringkali dikaburkan dengan apa yang digembar gemborkan sebagai sebuah
keteladanan, yang sebetulnya adalah mercusuar semu. Suatu saat, jika pola pikir
masyarakat sudah pas, maka akan ada tempat yang pas pula bagi kelainan sex nya
Mozart. Akan ada ruang yang pas pula bagi penyanyi yang lepas celana dalam di
panggung.
PENDIDIKAN MUSIK KUNO = KETERAMPILAN BERMAIN MUSIK?
Bicara soal ranah pendidikan musik di
tanah air, tentu dari sudut pandang saya yang bukan seorang music educator, ada
satu fakta unik. Pendidikan musik lazimnya diidentikkan dengan belajar keterampilan
bermain instrumen. Jika bicara soal ketrampilan main instrumen, maka seolah
sudah menjadi kodrat bahwa Musik Klasik lah sang Maharaja Diraja. Banyak
parents sok tahu yang seperti kebakaran celana dalam jika tahu anaknya main lagu
Pop. Banyak juga yang seperti kebakaran bulu ketek jika tahu anaknya main musik
yang sedikit “diluar pakem”. Celakanya, si guru pun seperti kehabisan materi
mengajar. Sejak jaman meneer Holland sampai jamu Nyonya Meneer, mati hidup pake
Hanon, Czerny, Duvernoy, dan sebangsanya. Jawabannya bahwa buku-buku itu adalah
klasik tradisi yang terbukti turun temurun. Bagi saya, guru musik yang seperti
itu adalah mereka yang berapologi menutupi ketidakmampuannya untuk
mengembangkan diri mencari buku ajar yang lebih pas untuk keadaan siswa di
jaman gila seperti sekarang ini.
Pendidikan musik bukan cuma terampil main
instrumen seperti ronggeng monyet dan beruang sirkus. Pendidikan musik hanya
bisa berhasil apabila siswanya merasa senang dan merasa butuh musik. Bagaimana
bisa senang dan merasa butuh jika tiap kali les si siswa merasa bagai latihan
menahan siksaan. Bagaimana si siswa bisa ada passion and need for music jika
dia tidak paham latihan Hanon. Dia
tidak paham gravity exercise tuan Duvernoy. Dia merasa dihadapkan pada
tuan asing saat membuka Carl Czerny.
Ada baiknya jika pendidikan musik seiring jalan dengan kultur yang acapkali
merambah si siswa. Juga dengan gaya hidup dan lingkungan keluarganya. Sangat
aneh jika siswa yang parentsnya punya koleksi lagu dangdut lima lemari dipaksa
main Duvernoy hingga tamat satu buku. Dengan demikian, pendidikan musik sebetulnya
membutuhkan alternative, membutuhkan PILIHAN dari hanya sekedar Musik Klasik baku
yang sudah keenakan menjadi Maharaja Diraja ratusan tahun. Apakah musik Jazz
dapat menjawab tantangan ini?
MAKNA PENDIDIKAN MUSIK
Pertama-tama, mungkin adalah agak
bijaksana untuk memaknai terlebih dahulu, bahwa yang dimaksud dengan
pendidikan, bukan hanya pendidikan bagi manusia usia anak. Remaja perlu
pendidikan. Orang dewasa pun sangat perlu pendidikan. Kenyataannya banyak kita
jumpai orang dewasa yang tidak tahu diri, tidak tahu malu, dan sangat kurang
ajar. Pemaknaan semacam ini layak dijadikan pijakan untuk mencoba menelisik Jazz
yang mendidik.
FENOMENA CHILD PRODIGY
Jika kita bicara dalam ranah Musik Popular
dan/atau Musik Klasik, dengan sangat gampang kita akan menemukan banyak sekali
“anak-anak ajaib”. Usia 5 sampai 8 tahun sudah bisa main Rhapsody. Sudah sangat
bagus main Fantasia. Atau juga anak lima tahun yang memiliki kualitas vocal
jernih bening seperti embun pagi plus bisa bergaya narsis amit-amit seperti
artis papan atas dunia.
Bagaimana dalam ranah Musik Jazz? Fenomena child prodigy ternyata sangat jarang bahkan langka terjadi. Bahkan di distrik Harlem New York dan New Orleans sendiri, fenomena das Wunderkind untuk Jazz masih tergolong langka. Banyak anak kecil yang bisa menyanyikan lagu Jazz dengan karakter yang individual Jazz lengkap dengan striking nya. Namun lazimnya si anak tersebut sangat sulit untuk dapat melakukan solo improvisasi, yang padahal adalah jiwa dari Jazz. Dari paparan fakta ini, kita bisa sedikit menali simpul, bahwa Jazz yang mendidik bukan pada porsinya untuk dihadirkan dalam ranah pendidikan musik bagi usia anak. Namun Jazz yang mendidik tetap adalah asupan materi pendidikan musik yang sangat layak untuk digapai. Lalu kira-kira apa kontribusi Jazz bagi ranah pendidikan musik?
Bagaimana dalam ranah Musik Jazz? Fenomena child prodigy ternyata sangat jarang bahkan langka terjadi. Bahkan di distrik Harlem New York dan New Orleans sendiri, fenomena das Wunderkind untuk Jazz masih tergolong langka. Banyak anak kecil yang bisa menyanyikan lagu Jazz dengan karakter yang individual Jazz lengkap dengan striking nya. Namun lazimnya si anak tersebut sangat sulit untuk dapat melakukan solo improvisasi, yang padahal adalah jiwa dari Jazz. Dari paparan fakta ini, kita bisa sedikit menali simpul, bahwa Jazz yang mendidik bukan pada porsinya untuk dihadirkan dalam ranah pendidikan musik bagi usia anak. Namun Jazz yang mendidik tetap adalah asupan materi pendidikan musik yang sangat layak untuk digapai. Lalu kira-kira apa kontribusi Jazz bagi ranah pendidikan musik?
JAZZ LEGACY
Sebetulnya, satu hal hakiki saat orang
bermain Jazz adalah kemampuan untuk BEKERJASAMA
DAN BERSIKAP KOOPERATIF SAMBIL MEMELIHARA DAN MENGOLAH JATI DIRI.
Peristiwa ini sekaligus merupakan keistimewaan musik Jazz dibanding genre
musik yang lain. Dalam ensembles dan orkestra Klasik, orang dapat bekerjasama
dan kooperatif satu sama lain. Namun apakah dalam saat yang bersamaan dia
mendapat kesempatan untuk memelihara dan mengolah jatidirinya? Jawabannya
adalah TIDAK. Warisan inilah yang menjadikan Jazz adalah sebuah genre musik
yang sangat mendidik. Seni bermain Jazz merupakan bekal bagi seni hidup itu
sendiri. Dalam kehidupan nyata, kita selalu dituntut untuk bisa beradaptasi
dengan lingkungan, baik lingkungan tempat tinggal maupun lingkungan pekerjaan.
Jika kita tidak mau menjadi kaum tergusur. Namun resikonya, kita bisa
kehilangan jati diri kita. Kita bisa menjadi manusia yang bukan diri kita lagi,
karena terlanjur larut dan lebur dalam lingkungan. Nah, Jazz melatih dan
memberi asupan pada karsa kita, bagaimana untuk dapat beradaptasi dengan
lingkungan tanpa harus tercerabut dari jati diri kita dan bahkan dasar budaya
kita. That’s Jazz.
KEBEBASAN BEREKSPRESI DALAM MUSIK JAZZ
Bicara Jazz, kebanyakan orang, termasuk yang
sok tahu dan ngaku-ngaku pemusik Jazz, selalu bicara soal kebebasan ekspresi. Istilah
kebebasan ekspresi bagi saya seperti tumpukan pakaian dalam bau yang sudah tiga
minggu tak dicuci. Basi dan bau serta menjijikkan. Kenyataannya banyak orang
yang berlindung dengan istilah kebebasan ekspresi untuk menutupi secara licik
dan curang akan ketidak mampuannya dalam memainkan instrumen. Dalam Jazz, kebebasan
ekspresi dimaknai sebagai bebas
bertanggung jawab. Dan ada satu hal unik sehubungan dengan bebas-bebas
ini. Saat bermain solo improvisasi, seorang pemusik Jazz tidak dalam keadaan
semata asyik dengan dirinya sendiri. Pemusik Jazz yang sedang ber solo improvisasi
bukan sedang bermasturbasi, melainkan dia dituntut untuk berbagi ORGASME dengan
pemusik lainnya. Solo impronya HARUS menjadi stimulant bagi pemusik lain saat
itu sekaligus memiliki andil bagi keseluruhan komposisi. Dalam cerminan
sosialnya, fenomena ini secara tidak langsung memberi pesan moral pada para
pemainnya agar senantiasa memberi andil dan inspirasi bagi sesama warga
masyarakat dan juga lingkungan. Sebuah aura pendidikan yang teorinya kencang
namun melempem pada prakteknya. Jazz dengan asupan estetisnya siap menjawab
tantangan semacam itu.
ESENSI TRADISI MUSIK JAZZ
Jazz yang mendidik dalam esensinya
sebetulnya bicara tentang sebuah genre musik yang akarnya adalah ketertindasan.
Jazz adalah musik orang-orang jujur dan lugu. Yang ditekan oleh dominasi
beralaskan keserakahan atas nama modal. Persoalannya adalah, sampai sejauh mana
tradisi kejujuran dan keluguan Jazz bisa terus dipelihara. Jika seorang guru
memberi materi Jazz, sebetulnya ada beban moral yang harus dipikul. Bahwa
siswanya sebetulnya sedang diperkenalkan kepada kejujuran dalam bentuknya yang
paling hakiki. Tabu dan sontoloyo jika dalam mengajarkan Jazz ada siswa yang
mencontek solo improvisasi orang lain kemudian mengaku-ngaku itu adalah ide
orisinilnya. Ada lagi persoalan seputar Jazz
literer. Dimana score solo improvisasinya sudah ditulis lengkap. Secara
bijak seorang guru yang mengajarkan Jazz semestinya memberi batasan tegas, bahwa
Jazz literer memang Jazz namun dibuat dengan susunan komposisi khusus, dengan
konsekuensi bahwa roh Jazz nya akan sedikit banyak menjadi terkikis.
Agaknya sedikit menarik untuk mengutip
pernyataan David Liebman, seorang
pemusik Jazz dan penulis aspek pendidikan Musik Jazz:
Playing jazz combines several
qualities: instinct, honesty, confidence, experience, trust, imagination and a
positive attitude. No matter what walk of life one enters in the future these
are qualities that will serve any human being well. The saying that “the pen is
mightier than the sword” is applicable to how I feel about teaching. To my
mind, though this may appear to be an extreme and categorical judgment, unless
an individual is an innovator who changes the history of an art form, one’s
influence as a teacher, be it formal or not is more powerful than the playing
of the music itself. It is important and noble work.
Kata akhirnya adalah:
Jika ingin merasa hidup ini lebih bermakna,
Jika ingin merasa hidup ini lebih bermakna,
tak ada salahnya jika kita
memberi sapaan lebih mesra pada JAZZ.
No comments:
Post a Comment
Note: only a member of this blog may post a comment.