Dalam keadaan begitu…di mobil yang kami kendarai saat itu
mengalun lagu SABOR A MI
Dari sebuah car mp3 player
In Kenny G sopran sax version
Spontaneous “someone
beside me” said with deep lovely voice
“ Can you play that music ?”
“ Sure…”
“ In strip and sexy way ?”
“ Sure……”
“ on your guitar ?”
Sabor A Mi adalah lagu yang ditulis dan dikarang oleh Álvaro
Carrillo Alarcón , seorang composer
Mexico,dan dipopulerkan oleh penyanyi Jepang, Yoshiro Hiroshi.
Liriknya berujar:
Tanto tiempo disfrutamos de este amor
For so long we have enjoyed this love Nuestras almas se acercaron tanto así
our souls got so close Que yo guardo tu sabor
that I keep your taste (1) pero tu llevas tambien
but you also carry sabor a mí
a taste of me
Si negaras mi presencia en tu vivir
If you would deny my presence in your life bastaría con abrazarte y conversar
it would suffice to embrace you and to talk (2) Tanta vida yo te di
so much (of my) live I gave to you que por fuerza tienes ya
that you cannot help but having sabor a mí
a taste of me
No pretendo ser tu dueño
I am not trying to be your owner No soy nada, yo no tengo vanidad
I am nothing, I have not vanity De mi vida, doy lo bueno
Of my life, I give the good (the best) Soy tan pobre que otra cosa puedo dar?
I am so poor, what else can I give?
Pasarán mas de mil años
A thousand years may pass muchos más
many more Yo no se si tenga amor la eternidad
I dont know whether love exist in eternity Pero alla tal como aquí
But there just as here en la boca llevaras
in the mouth you will carry sabor a mí
a taste of me
(1) sabor= taste, flavor. Here it is used in a poetic way, menaing "a
trace of you remains within me and you also have taken on a trace of me".
(2) to prove that I am still part of your life.
Piano digital sangat berbeda dengan piano
elektrik. Piano digital adalah sebuah imitasi dari piano akustik sejati dalam
sebuah sistem digital. Ada beberapa merek dan pabrik piano digital. Salah satu
yang sudah mendapatkan pengakuan kelas dunia adalah Kawai digital piano.
Beberapa waktu lalu, saya berkesempatan
melakukan Kawai Factory Tour atas
undangan pihak manajemen PT KAWAI
INDONESIA. Dalam Factory Tour ini
saya bersama dengan Jelia Megawati Heru,
M.Mus.Edu, seorang music educator
dan pianis alumnus Jerman. Selama tur, kami didampingi jajaran manajemen Kawai
Indonesia, yakni Bapak Suyono (Manager Quality Control) dan Bapak Oki Hermawan Anggawinata (Manager Marketing). Juga Bapak Gunawan dari jajaran manajemen
Kawai elektrik dan direktur utama Kawai Indonesia Mr. Hiroshi Ushio dan executive
directorMr. Ichiro Matsuda.
Pabrik Kawai digital piano adalah sebuah assembly industry yang terletak di
Cikampek. Nama resmi dari pabrikan piano digital ini adalah Kawai Electronic Musical Instrument,
dan berada dalam unit produksi Kawai Plant 3. Seluruh proses assembly
dikerjakan dengan sarana produksi canggih dan pengawasan kualitas yang prima.
Kawai mengeluarkan berbagai tipe dan seri piano
digital, dan terbagi dalam empat kategori:
Concert Performance
series(CP)
Concert Artist series (CA)
Portable Digital (ES & EP)
Custom series (CL & CN)
Tiap seri memiliki keunggulan dan fitur untuk
berbagai keperluan. Seri CP misalnya, adalah sebuah masterpiece dengan keakuratan bunyi sangat presisi mendekati bunyi Grand Acoustic Piano.
Yang menjadikan Kawai digital piano berbeda dan
unggul dibanding piano digital lainnya adalah bahwa Kawai digital piano
memiliki area sanpling yang luas, juga sampling
rate yang tinggi. Dan modus sampling ini diambil dari Shigeru Kawai, salah satu grand piano terbaik di dunia. Selain itu,
mekanisme touch dari Kawai digital
piano juga sangat luar biasa. Hammer
action menggunakan compound material,
yakni wooden dan bahan composit.
Sehingga touch dari Kawai digital
piano bukan saja mendekati piano sejati, melainkan sudah sangat persis. Touch respond dan sensitivitasnya sangat
akurat, hammer action-nya juga
memungkinkan untuk mengeksplorasi tone
color.
Dalam pabrik, Miss Jelia sempat mencoba Kawai
digital piano seri CP. Dan ternyata seri CP ini sangat mampu mengakomodasi
kebutuhan pianis handal seperti Jelia, terutama ketika dilakukan tes dengan fast
repeated hammering technique. Mekanisme hammer Kawai sangat mampu
mengakomodasi teknik ini, yang di piano digital merek lain amatlah tidak
mungkin.
Piano Kawai termasuk salah satu produk piano
terbaik di dunia. Bersama Fazioli, Boessendorfer, dan Steinway & Sons. Nama
besar Kawai dan ketenarannya merupakan fusi dari kerja keras, visi yang tajam,
keterampilan, keuletan, dan yang terpenting penjiwaan slogan bahwa Kawai akan
menjadi “The Future of the Piano”
KAWAI DIGITAL PIANO
“Sounds like playing on
a real acoustic piano with responsive sensitive keys”
Tur dialokasikan pada Kawai piano factory plant 1, yakni unit perakitan untuk piano akustik dan
grand piano. Sesampainya di Kawai plant 1, rombongan disambut Mr. Hiroshi Ushio
(Presdir PT Kawai Indonesia) dan Mr. Ichiro Matsuda (Direktur pelaksana).
Sebelum melakukan kunjungan ke pabrik, dilakukan presentasi oleh Bapak Rudi
seputar Kawai Indonesia dan product
knowledge. Menjadi menarik manakala menelisik sejenak hal-hal penting dalam
presentasi tsb, agar setidaknya dapat dijadikan inspiratif tentang filosofi dan
etos kerja sebuah pabrik piano terbaik di dunia dalam kiprahnya di tanah air.
Kawai Corp. Didirikan oleh Koichi Kawai. Saat ia memasuki usia remaja, Koichi bekerja di
industri piano. Dia adalah anggota kunci tim penelitian dan pengembangan dimana
untuk pertama kalinya piano diperkenalkan ke Jepang. Seorang penemu berbakat,
Koichi Kawai adalah yang pertama kali merancang dan membangun sebuah aksi piano
di Jepang. Ia memegang banyak paten untuk penemuannya dan desain. Perbedaan
visi menjadikan seorang Koichi Kawai mendirikan sebuah perusahaan piano
sendiri. Pada tahun 1927, Koichi Kawai mendirikan laboratorium penelitian
instrumen musik Kawai, dan mempekerjakan tujuh orang kerabat lainnya. Sebagai
perusahaan muda, satu-satunya yang mendukung mereka adalah semangat untuk musik
dan keinginan untuk memproduksi piano unggul. Prinsip-prinsip dasar Koichi
dipusatkan pada kualitasm apresiasi musik, dan pencarian keunggulan.
Impian Koichi Kawai diwujudkan oleh Shigeru Kawai – the successor, anak Koichi Kawai – dalam memperluas fasilitas
produksi dan mendirikan sejumlah organisasi untuk mempromosikan nilai musik.
Pada 9 Agustus 1927 di Hanamatsu, Jepang, didirikanlah pabrik Kawai yang
pertama. Hirotaka Kawai, presiden
yang ditunjuk pada tahun 1989, tetap berkomitmen untuk menjalankan tradisi yang
ditanamkan oleh ayah dan kakeknya. Dalam menegaskan filsafat mereka, ia
menyatakan “At Kawai, th quest for perfection is not just an ideal, but a duty”.
Di bawah bimbingan Hirotaka, perusahaan memulai sebuah program yang
menginvestasikan puluhan juta dollar untuk mengintegrasikan teknologi robotika
ke dalam proses manufaktur. Dia juga memimpin pendirian fasilitas manufaktur
Kawai di seluruh dunia. Dengan demikian, tradisi kepemimpinan keluarga di Kawai
hidup dari generasi ke generasi.
Kawai Indonesia berdiri tahun 2001, memiliki
tiga unit produksi. Kawai plant 1 di Tangerang dan Kawai plant 2 & 3 di
Cikampek. Akan segera terealisasi Kawai plant 4. Jika Kawai plant 4
terealisasi, maka akan didapat produk piano yang memproduksi semua produk bahan
baku piano yang murni buatan Indonesia. Kegiatan utama unit produksi Kawai
adalah perakitan piano dengan jumlah produksi 1000 set per bulan untuk piano
akustik dan 6000 set per bulan untuk piano digital. Khusus untuk piano akustik,
40% kegiatan produksinya dikerjakan secara manual, sebagai komitmen Kawai akan hand crafted and precision untuk menghasilkan piano terbaik di dunia.
Master Piano Artisan (MPA)
Semua produksi Kawai ada dibawah pengawasan
sangat ketat dari Master Piano Artisan
(MPA). Tingkat tertinggi dari MPA ini baru dapat diperoleh setelah 20 tahun
mengenyam pendidikan dan tes, termasuk di Eropa.
ABS-CARBON
“The New Composit for
Piano Action Millenium”
Masterpiece piano akustik Kawai
adalah Shigeru Kawai grand piano. Menggunakan bahan komposit millenium serat
karbon yang disebut sebagai ABS-Carbon
(ABS: Acrylonitrile Butadiene Styrene).
ABS adalah salah satu bahan yang paling dikenal dari semua komposit modern
dalam semua aspek kehidupan, seperti telepon, komputer, peralatan rumah, mobil,
sepeda, mobil balap Formula One,
instrumen gesek, dan pesawat komersial.
ABS-Carbon merupakan bahan yang sangat kokoh dan
kaku, dipergunakan untuk membuat bagian-bagian piano action yang berkenaan dengan:
Kekuatan - Lima puluh kali lebih
kuat dari bahan kayu, sehingga memiliki daya tahan yang kuat dari perubahan
suhu/cuaca
Konsistensi dimensi - Secara signifikan lebih
konsisten dalam ukuran dan bentuk dari bahan kayu, sehingga memungkinkan
produksi nada yang lebih jernih dan presisi
Ketahanan terhadap pembengkakan - Tiga puluh kali lebih
tahan daripada bahan kayu, sehingga posisi sekrup pada piano action tetap ketat dan hammer
tidak mengalami perubahan, memungkinkan untuk melakukan sentuhan (touch), serta produksi kualitas tone yang konsisten
Daya tahan (longevity) dalam rentan waktu yang
panjang
Desain ringan membuat piano action millenium III
ini sangat cepat dan memudahkan pemainnya dalam melakukan pengulangan (repeated hammer action), dan respons
bunyi yang luar biasa. Infus serat karbon ke ABS meningkatkan kekuatan material
hingga 90%. Dengan ABS-Carbon, piano
action dibuat lebih cepat dan ringan. Sekitar 16% lebih cepat dari bahan
konvensional pada umumnya, dan tidak terpengaruh oleh kelembaban udara,
sehingga hammer mechanism tidak macet
seperti jika memakai bahan dari kayu. Dan pemain mempunyai kemampuan kontrol
jari yang tidak tertandingi untuk bermain pianissimo. Selain itu Kawai juga
dilengkapi dengan agraffes utillity
pada bridge agar posisi dawai tidak
mudah bergeser.
The piano is pretty much intimate instrument that work
fantastically for solo, group ensemble or orchestra. But not many know that
piano alone or a bunch of guitars can be an ensemble of its own and entertain
us with a rich range of melodies. A piano that is played by two people, three
people, or even four people could actually give you less monotone and a more
interactive performance to watch.
The importance of the solo pianist in the world of music is beyond
question, but the life of solo pianist can be lonely. The piano ensembles offers a unique
opportunity to make beautiful music with another person at the same instrument.
While the basic principles of solo performance also applied, playing piano
ensembles could be really challenging, for some of the pianists have found
themselves playing “duels” instead of “duets”.
One of the hallmarks of any fine musical group is its ensemble.
The music should sound as if played by one person. Not only the notes should
come precisely together, but in the terms of style and flexibility, allowing
the music to breathe...
Piano ensemble is the art of playing music together in the form of
1 piano 4 hands (two people at one piano), 1 piano 6 hands (three people at one
piano), 2 pianos (two peoples at two pianos), and 2 pianos 8 hands (four people
at two pianos).
The piano ensemble is, on the one hand, a genre or musical medium
that stands independently on its own merits, while on the other hand it can be
considered chamber music, like string quartet, where the players must be
prepared to change roles instantly, from soloist – shaping & projecting
melodic lines, to accompanist and back to soloist. Play with different character,
and almost limitless possibilities of its own to create a beautiful music.
This is fascinating and ongoing task because music is like a
kaleidoscope, constantly changing. That’s
why both verbal conversation in rehearsal and real musical dialogue are
essential. A different background, temperament, and preference of each person
will bring a colorful musical experience. Certainly, both partners must
submerge their egos for the good of the music itself.
The process of merging with another individual in a duo or larger
group of musicians, or with an audience, is the essence of communication. This
communication is made possible by the silent rhythm that connects everyone.
This is what allows for spontaneous magic to lift people into a perfect
synchrony where everyone can perform and experience the music as one.
One of the best reasons to play an instrument is to play with
others. Not only does it improve your playing. It’s great fun and a great way
to make connection with the others in all sorts of ways and locations.
“Never
shall I forget the time I spent with you.
Please
continue to be my friend, as you will always find me yours”
–
Ludwig van Beethoven –
WHY PIANO ENSEMBLES?
Nowadays music lovers often turn to recordings, television, and
youtube when they want to enjoy listening at home. In the late 18th & 19th centuries,
however, it was both a necessity and a great pleasure to make one's own music
at home, often in the form of piano duet. The need for 20 Fingers at the piano,
rather than 10 Fingers, was partially due to the desire of music lovers to play
piano transcriptions of orchestral pieces, chamber works, and even opera, this
being their only way of hearing such music at their own convenience, and
finding that two hands were quite inadequate for this task.
This "reading" of the scores led to a much deeper
understanding of the structure and the melodic, harmonic, rhythmic content of
the music than the merely passive listening in which we indulge today. The
piano ensembles provided the opportunity to hear and study music compositions,
and to enjoy a social interaction - making music with a friend, relative, or
colleague. The use of the piano ensembles as a means of re-hearing and
studying orchestral pieces was only the beginning; the best was yet to come.
Beside the joy that playing together brings, and the recital
potential of the young ones (pedagogical use), it also develops musicianship.
The ultimate goal for piano ensemble playing is to pay more attention, listen
to themselves, others, and hence, to the total sound. "Listening,"
in this context, compels players to stay together and balance their parts. The
art of piano ensembles playing incorporates the many aspects of beautiful,
effective solo performance (singing tone, balance, rubato where appropriate,
sensitive pedaling, etc.)
PROFILE
Jelia Megawati Heru,
M.Mus.Edu.
Music
Educator, Lecturer, Music Advisor, and Pianist
Jelia Megawati Heru started learning the piano at the age of 5.
She continued learning Classical Piano with different music teachers in
Jakarta, such as: Helen Gumanti, BA (USA) and Angelita Chandra, M.Mus.
(Belgian).
In 2001, studied piano with Jongky Goei, Master of Performing
Arts, Chairman and Stage Art Manager of Marcia Haydée Ballet in Stuttgart,
Germany.
Then in 2002, she started her study in Music Education for
Instrument (Instrumental Pädagogik) at Fachhochschule Osnabrück Konservatorium,
Institut für Musikpädagogik – Germany, majoring in Classical Piano with Prof.
Ljuba Dimowa-Florian (Hungaria), minor Vocal with Torsten Meyer, Dipl. Mus.
(Hochschule für Musik u. Theater Hannover, Germany) and Jazz Piano with
Wolfang Mechsner, Dipl. Mus. (Hochschule Vechta & Münster, Germany).
During her stay in Germany, besides actively performing and
teaching music, Jelia attended many seminars and forum, such as: Forum
Musikpädagogik I with Prof. Dr. Hans Günther Sebastian (Frankfurt am Main
University); studied Solmisation Technique and Kodàly Technique from Prof. Dr.
Malte Heygster (conductor of symphony orchestra Recklinghausen & Bielefeld,
head master of Bielefeld music school, chapel master of chamber orchestra Köln
and also an author for “Hand Book of Relative Solmisation” – Schott).
She became an active participant in various chamber music and
master class in Germany and other countries, such as: Chamber Music -
Prof. Gerard Chenuet (Nantes, France), Conducting for Ensemble and Choir
- Prof. Folker Schramm (UDK, Berlin), Contemporary Music – Prof. Imgard
Brockmann (Osnabrück, Germany), Choir Studio, Chamber Choir, Acapella and
Arrangement – Prof. Michael Schmoll (Dean of FH. Osnabrück Konservatorium,
lecturer, composer and conductor).
Then she received her Master Degree in Music Education (as Master
of Music Education – Dipl. Mus. Pedägogin) in 2005 from FH. Osnabrück
Konservatorium with cum laude. In the same year, became an active
performer for “Benefit Concert Tour for Aceh” in Hannover, Münster and
Braunschweig - Germany.
In 2006 Jelia went back for good to her homeland Indonesia, was a
keynote speaker in Universitas Negeri Jakarta (UNJ, Rawamangun) for Comparison
Study of Education System in Indonesia, active as an educator in Deutsche
Internationale Schule (DIS – German School, BSD Tangerang) and joined Institut
Musik Daya Indonesia since then as lecturer for subjects, such as: Music
Education, Music History, History of Music Instruments, Ear Training, Music
Theory and Major Piano.
In 2007, she was a Dean of Institut Musik Daya Indonesia (IMDI)
and Faculty of Music Pedagogy & Head of Piano Department.
In 2008, She's a member of the National Music Ministry of National
Education Consortium, which is tasked to develop music education curriculum for
music schools in Indonesia. In
cooperation with Tjut Nyak Deviana Daudsjah designed and developed Curriculum
of National Standarization for Music School in Indonesia (validation by the
Federal Government of National Education, known as DEPDIKNAS.
In 2009, to contribute for the development of music education in
Indonesia, she wrote books in cooperation with DEPDIKNAS “Piano Teaching’s
Guide: Note-Reading and Piano for Beginner” and “Basic Music Theory (for
all Instruments)” as guideline books for general music course in
Indonesia.
Now she is active as a music educator and academic
advisor/consultant in various music schools - for updating & upgrading
music school curriculum standard, conducting workshops to build & develop
music teachers competencies, and conduct teacher’s concert (chamber music and
piano ensembles).
Also active as seminator and keynote speaker in various cities in
Indonesia - Universitas Negeri Jakarta, Tegal Council of Arts, Sinfonia Music
Bandung, First Media Design School of Indonesia, Amazing Music Jogja Festival,
and many more...
Performer in collaboration for music education’s sake, director of
piano ensembles projects „Golden
Fingers“She created event that showcased the young teachers
that she developed to participated in her music program. The Golden Fingers is
not just an usual piano ensembles group, but a pilot project to implement the
concept of “Music from Passion”. Jelia believes that the piano ensemble is
not only about playing piano together, but it is an actual effort to liven up
the music. “Golden Fingers Piano Ensembles” was invited by the Tegal
Council of Arts on March 4th, 2012 at Taman Budaya Tegal, Central Java – as the
soft opening for the most representative cultural arena theater of the city
with capacity of 1000 seats, professional lighting, and stage.
Read Golden Fingers Piano
Ensembles Reportage
on Kawai Newsletter No. 29, 2012
(distributed all over the world):
Michael Gunadi Widjaja "Medley Indonesian Folksong"
Albert Lavignac "Gallop March"
Writer for STACCATO - the first classical music magazine in
Indonesia, and her blogs (www.jeliaedu.blogspot.com& www.piano-ensembles.blogspot.com) – to
shares thoughts and point of view about actualization & the importance of
music education to teachers, practitioners, musicians, music lovers, students,
and parents; so people could appreciate music more, feel the enjoyment of
music, and get inspired by the power of music… “Music from Passion &
Music for Life”
Perkembangan musik
Jazz di dunia, dapatlah dikatakan sangat pesat. Sedemikian pesatnya
perkembangan musik Jazz, dewasa ini agak sulit bagi orang awam ataupun pemusik
amatir untuk mengenali Jazz dalam kesejatiannya. Seorang penyanyi yang biasanya
membawakan musik Jazz, saat dia tak membawakan Jazz pun orang secara latah
menganggap bahwa si penyanyi tetaplah ber-Jazz. Demikian juga misalnya, ketika
seorang pemain gitar menyelipkan lick-lick
improvisasi pada permainan gitarnya. Orang secara latah berujar lantang bahwa
permainan gitar tersebut sangat Jazz. Masih bagus jika sebagian kalangan dapat
mengenali mana yang Jazz dan mana yang Jazzy.
Di satu sisi, keadaan
demikian bisa membuat kalangan Jazz berbesar hati. Karena ternyata Jazz sudah sedemikian
mencapai titik leburnya, hingga orang menjadi betul-betul lebur dan latah. Di
lain sisi, nampaknya perlu untuk kembali mengedepankan cita rasa Jazz yang
sejati.
Apa gunanya mengedepankan Jazz yang sejati..TIDAK ADA GUNANYA SAMA SEKALI.
Toh Jazz hanyalah musik. Yang apabila
salah kaprah dan latah pun tak menyebabkan nyawa melayang. Secara adab
semestinya masih tersisa sedikit rasa “tanggung jawab” terhadap seni. Tanggung
jawab untuk senantiasa menyemburatkan makna bahwa seni, tak terkecuali Jazz, senantiasa
memiliki jati dirinya.
Dari sekian
banyak periodisasi dalam napak tilas Jazz, yang paling menginspirasi adalah era
SWING. Swing sudah menjadi bagian utuh dari kesejatian musik Jazz. Malahan
banyak orang menyebut bahwa Swing adalah sebuah Mainstream Jazz. Pakem dari musik Jazz. Jika bukan Swing, itu bukan
Jazz sejati. Pendapat demikian tidak sepenuhnya betul. Sebab esensi dari Jazz
sebetulnya adalah keterbukaan yang egaliter, disamping tentu saja kebebasan dan
hal-hal yang sering dianggap “keliru”. Tentu keliru dalam sudut pandang akademia
musika yang konservatif.
Meskipun tak
luput pula dari kontroversi yang senantiasa mengiringinya, Swing harus diakui
memberikan andil sangat besar dalam napak tilas Jazz. Terlepas dari semua
kontroversi tersebut, Swing memang adalah Jazz. Istilah SWING itu sendiri, dalam
konteks musik Jazz, sulit untuk didefinisikan secara baku. Swing itu mengayun. Tetapi
persoalannya, apa yang diayun. Apakah sinkopasi ritmiknya, atau transienbeat-nya ataukah stroke up
and down beat-nya ataukah juga ornamentik dalam pola triplet saat
melantunkan improvisasi. Sejalan dengan esensi jiwa Jazz, semua definisi adalah
kurang signifikan dibanding musik Jazz itu sendiri. Tanpa pernah tahu apa
sebetulnya makna kata Swing dalam Jazz, orang tetap dapat ber-Jazz dengan
sangat baik. Inilah uniknya Jazz. Jazz tak pernah dapat dimengerti, namun tanpa
ngerti pun selalu ada ranah menikmati Jazz.
BENNY GOODMAN
Salah satu
fenomena yang menjadikan Swing disebut sebagai roh-nya Jazz adalah, bahwa era Swing,
dan Swing sebagai genre musikal, menyisakan banyak fenomena yang menjadi
pijakan awal perkembangan Jazz selanjutnya. Salah satu fenomena dalam era Swing
adalah ketika grup-grup band kulit putih merasa terkagum-kagum dan
terheran-heran dengan grup band kulit hitam, yang saat itu memainkan musik yang
“asing” tapi nikmat bagi kalangan kulit putih. Mulailah grup band kulit putih
mencoba menguak “rahasia” dibalik “musik aneh yang nikmat” yang disajikan grup
band kulit hitam. Leroy Jones dalam
tulisannya tentang Blues People, menengarai
demikian. Bahwa Benny Goodman lah
musisi kulit putih yang sangat terkesan dengan band kulit hitam. Bahkan Benny
Goodman sampai harus membeli aransemen-arasemen dari para arranger kulit hitam untuk bisa mengetahui dengan detil rahasia tone dan nuansa dibalik musik kulit
hitam saat itu. Di kemudian hari, Benny Goodman menjadi legenda. Orang kulit
putih pertama yang mampu menyuguhkan Jazz kulit hitam dengan idiom dan tata
gramatik serta pungtuasi musikal sebagaimana black people sejati.
DUKE ELLINGTON
Ketertarikan
orang kulit putih, terutama di Eropa terhadap Jazz mulai marak saat dunia
mengalami depresi ekonomi. Saat itu pemusik Jazz kulit hitam tak lagi dapat
hidup di Amerika. Louis Armstrong
dan Duke Ellington hijrah ke Eropa
untuk tetap bertahan hidup melalui musik. Di Eropa inilah Jazz menjadi terkenal
di kalangan akademisi musik Eropa dan mulailah sebuah fenomena penelitian Jazz
secara akademik. Pemusik Jazz kulit hitam yang kurang beruntung dan tetap
tinggal di Amerika, mengalami nasib buruk. Banyak dari mereka yang harus
terpaksa membuka usaha sampingan seperti menjadi tukang semir sepatu dan
penjahit.Dan karena depressi ekonomi, bar dan kedai minum mengurangi jatah
pertunjukan Jazz kulit hitam. Pemusik Jazz kulit hitam kemudian memanfaatkan
jalanan untuk terus berkarya dan memperdengarkan musiknya. Fenomena ini
kemudian melahirkan sebuah corak musik Jazz yang dikenal sebagai Jazz
Street Music ataupun Territory Jazz.
Keadaan tersebut
terus berlanjut hingga pada 1934 ada sebuah langkah cemerlang yang dilakukan Fletcher Henderson. Fletcher Henderson
sendiri adalah seorang pimpinan sebuah ensembel musik yang lengkap. Lengkap
dalam standar bermusik akademik seperti lazimnya orang Eropa. Fletcher
Henderson sangat terkesima dengan rasa bunyi trumpet Louis Armstrong. Obsesi
Henderson adalah mewujudkan nuansa Louis Armstrong namun dalam format ensemble
besar yang lengkap. Segera Henderson meminta Don Redman, seorang arranger top untuk mewujudkan obsesinya dan
saat itulah Swing digelar pertama kalinya dalam sebuah ensembel yang sangat
representatif sebagaimana musik klasik Eropa.
Sebetulnya
proyek Henderson telah dikerjakan pada 1931 namun hanya sebagian kecil
masyarakat yang mengetahuinya khususnya hanya daerah Harlem. Henderson kemudian
terus mengembangkan metode tata aransemen dari Redman, untuk mengibarkan grup Swing
dengan pemain dan kelengkapan peralatan yang mumpuni.
Obsesi Fletcher
Henderson tak berjalan mulus. Depresi ekonomi akhirnya menghancurkan
keuangannya dan tamatlah juga sebuah ensembel Swing yang representatif. Beruntunglah
ada music advisor dari sebuah perusahaan
rekaman, namanya John Hammond. John
Hammond memberi sebuah proyek musik kepada Fletcher Henderson. Proyek tersebut
adalah menjadi partner Benny Goodman. Benny Goodman saat itu masih sangat belia,
dan ia betul-betul pemusik yang terdidik secara sangat baik dalam musik klasik.
Pertemuan Henderson dan Benny Goodman melahirkan sebuah napas baru bagi
perkembangan Swing dan mulailah Swing diperkenalkan ke kampus-kampus perguruan
tinggi, terutama jurusan musik.
John Fordham
dalam artikelnya tentang Jazz, menorehkan kesaksian tentang debut Benny
Goodman. Saat itu Benny Goodman melakukan tour ke Los Angeles. Dan bermain di
hadapan para mahasiswa yang terkenal kritis. Benny Goodman mengikutsertakan
pemain terompet Benny Burrigan dan
drummer Gene Krupa. Mereka memainkan
komposisi yang biasa dimainkan kelompok Fletcher Henderson, yakni “JELLY ROLL MORTON KING PORTER STOMP”. Sajian
musiknya dilengkapi dengan dansa tradisional yang dimodifikasi. Hadirin tercengang
dan histeris terpesona. Sejak itu terkenal juga DANCE SWING dansa Swing yang
berayun-ayun dan mengayun-ayun, mencuatlah pula nomor legendaries “STOMPIN AT A SAVOY”,dan Swing mencapai
tataran sebagai musik seni dengan apresiasi penikmat yang menggetarkan.
Keadaan depresi
ekonomi pun berakhir dan keadaan ini langsung mendongkrak popularitas Swing dan
Benny Goodman. Berbagai konser digelar dan tidak tanggung-tanggung. Benny
Goodman dan kelompoknya main di Carnegie Hall. Saat itu Carnegie Hall masih
sebuah panggung konser untuk musik klasik Eropa dengan latar belakang
pendidikan akademisnya, ditambah dengan pemain-pemain dalam grupnya yang sangat
piawai dalam rasa Jazz, Benny Goodman mampu membawa Swing yang Jazz ke tatanan
masyarakat yang begitu mengagungkan musik klasik Eropa. Benny Goodman kemudian
oleh masyarakat internasional dinobatkan menjadi The King Of Swing.
Kesuksesan Benny
Goodman mendongkrak pula kesuksesan pemusik lainnya, salah satu diantaranya
adalah Glenn Miller. Dalam debut
Glenn Miller inilah Swing mendapat peran baru yakni sebagai musik program untuk
keperluan film dan teater. Jejak Glenn Miller langsung diikuti oleh Duke
Ellington yang secara mantap terus berkarya membuat komposisi Swing. Tak
terkecuali saat depresi ekonomi melanda Amerika. Salah satu musik program karya
Duke Ellington yang terkenal adalah “HARLEM
AIR SHAFT”.Sebuah komposisi yang dibuat dengan diilhami oleh udara di
distrik Harlem New York. Mungkin masih menarik untuk membaca kembali catatan
Duke Ellington seputar Harlem Air Shaft
karyanya:
You hear fights,
you smell dinner, you hear people making love
You hear the radio, you smell
coffee…
you hear people praying, fighting, snoring...
I tried to put all that
in HARLEM AIR SHAFT
Popularitas Swing
tak hanya melanda New York, di Kansas City pun orang terjangkiti demam Swing. Di
Kansas City, sepuluh tahun sebelumnya, musik Blues telah diolah dengan baik. Di
sana terdapat saxophonist hebat Benny
Webster dan pianis William Bassie
yang kemudian mendapat julukan count
atau sang pangeran dan lebih dikenal sebagai “Count” Bassie. Bersama grupnya, William
Count Bassie unjuk kebolehan di New York. Hadirin saat itu terkesima dengan Swing
yang dibawakan Count Basie. Swing yang dibawakannya memiliki napas baru,dan
tata gramatik serta idiom musik yang benar benar baru.
COUNT BASSIE
Dari cerita yang
panjang tersebut, memang tak ada gunanya bagi kita. Toh hanya sekedar cerita tentang perjalanan sebuah musik dan
tokoh-tokohnya. Bicara soal musik melalui paparan kata memang sangat tak
berguna. Musik adalah seni bunyi yang semestinya orang tak perlu bicara dan
menulis dengan kata-kata.namun setidaknya, dari yang tak ada gunanya tersebut, masih
tersisa beberapa hal yang tak ada ruginya untuk sedikit dicamkan.
Swing dengan
perjalanan yang panjang telah mengukuhkan diri sebagai akar utama musik Jazz. Dalam
Swing lah musik Jazz mendapat ranah baru yakni tatanan komposisi sebagaimana musik
sebagai sebuah bidang keilmuan dan jangan lupa, dalam Swing-lah terjadi persamaan yang benar-benar
egaliter. Hitam dan putih berbaur tanpa ada lagi rasisme dan hal tersebut
adalah salah satu passion dari musik…