“MUSIK
TERAPI DALAM SELAYANG PANDANG”
by:
Michael Gunadi Widjaja
Staccato,
October 2017
“Waaah
bro …hati-hati ini soal TERAPI lho?!”
“Kok
cuman selayang pandang sih?! Kalau salah bisa berabe“
“Ah
sudahlah, kalau masih namanya musik, salah juga nggak bikin mati“
Sepintas obrolan semacam itu terkesan lucu.
Padahal esensinya sangat mendalam. Satu pihak merasa, bahwa karena berhubungan
dengan terapi alias penyembuhan penyakit MANUSIA, maka harus “betul-betul,
sebetul-betulnya”. Satu pihak lagi menganggap bahwa, meskipun demikian, sejauh
masih melibatkan musik, nuansanya tidak lah seserius dunia kedokteran reguler.
Anggapan ini tentu berdasar pada keadaan yang
berkembang dalam masyarakat kita. Berupa STIGMA, bahwa musik, apapun dan
bagaimanapun lingkupnya, adalah seni hiburan dan ketrampilan luang waktu yang
berderajat rendah dibanding misalnya Matematika, Bahasa Inggris, dan Bahasa
Mandarin.
Dan memang dalam keadaan seperti itulah Music
Therapy berkembang dalam pemaknaannya. Ada yang menganggapnya sebagai bagian
dari dunia kedokteran, yang berarti tak sembarang orang asal bisa musik boleh
melakukannya. Ada pula yang menganggap bahwa music therapy hanya sekedar
membantu dokter, jadi bisa ditempuh melalui kursus saja ataupun seminar tiga
sampai empat jam dan workshop dua hari an.